Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Rabu, 18 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 9)



DOKTER tidak berhasil menyelamatkan nyawa Park Jung Min. Perutnya koyak ditoreh pisau belati. Darahnya membanjir. Ususnya terburai.

Bahkan air mata dan suara Kim Bum tidak dapat membangunkan sahabatnya. Padahal kapan Park Jung Min pernah tidak datang jika Kim Bum yang memanggilnya?

Ketika Kim Bum memeluknya setelah Park Jung Min terkapar berlumuran darah, hanya sebaris kalimat yang sempat diucapkannya.

"Bukan salahnya... dia sangat mencintaimu...." Tapi saat itu Kim Bum tak mampu mencernanya. Yang ada di depan matanya hanya sahabat karibnya yang sedang meregang nyawa. Sahabat yang mengorbankan diri untuk menolongnya.

"Kenapa kau lakukan itu, Park Jung Min?" ratap Kim Bum pilu.

Ya, kenapa Park Jung Min melakukannya? Kim Bum memang sudah Separuh mabuk Tapi dia masih bisa berkelit. Masih mampu membela diri! Mengapa Park Jung Min seolah-olah sengaja membuang dirinya ke depan pisau terhunus? Untuk menyelamatkan sahabatnya? Atau... dia sengaja... membunuh diri?

Tidak seorang pun yang tahu alasannya. Tidak juga Kim Bum. Dia tetap berpendapat Park Jung Min mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan sahabatnya. Untuk apa dia membunuh diri?

Park Jung Min mati karena Kim Bum! Karena dia telah menukar nyawanya dengan nyawa majikannya! Dan penyesalan itu terus menghantui Kim Bum seumur hidupnya.

Kalau dia tidak mabuk... kalau dia tidak main biliar… kalau Kim So Eun tidak mengusir Park Jung Min! Menyakiti hatinya. Mungkin malah menghina dia!

"Maafkan aku, Park Jung Min," bisik Kim Bum dengan air mata berlinang ketika dia sedang bersimpuh di sisi jenazah sahabatnya. "Seharusnya kudengarkan kata-katamu dulu... dia bukan gadis yang cocok untukku...."

Tapi apa lagi yang dapat kulakukan? Aku begitu mencintai Kim So Eun, seperti apa pun kejamnya dia!

* * *

Keesokan harinya Kim Bum langsung membawa jenazah Park Jung Min ke rumah orangtuanya. Ketika sedang terguncang-guncang di samping mayat sahabatnya di dalam mobil, air mata Kim Bum tak mau kering menggenangi matanya. Tetapi ketika mendengar ratapan ibunya, ketika mendengar desah lirih ayahnya, air mata Kim Bum meleleh tak tertahankan lagi.

"Ketika kau masuk universitas, Ayah kira kau akan jadi orang. Orang terpelajar. Orang pintar. Orang terhormat...."

Lelaki Separuh baya itu tersungkur di samping jenazah putranya. Sementara istrinya tak mau juga melepaskan jenazah Park Jung Min dari pelukannya. Dia melolong. Meratap. Menangis tersedu-sedu.

Tapi tidak seorang pun menyalahkan Kim Bum. Tidak seorang pun menyesali kepergian Park Jung Min untuk menyelamatkan majikannya.

Hari itu, Kim Bum melihat sesuatu yang selama ini tidak pernah dilihatnya. Sesuatu yang sejak dulu ada di depan matanya tetapi tak pernah tampak.

Pengabdian. Pengabdian orang-orang sederhana yang digaji ayahnya. Yang rela mengabdikan hidup dan mati mereka untuk majikan.

* * *

Ketika mendengar tewasnya Park Jung Min, Song Seung Hun sangat terperanjat. Tetapi ketika mengetahui apa penyebab kematiannya, dia tersentuh. Tergugah.

"Park Jung Min mati demi Kim Bum," desahnya gemetar. "Dia sudah menjalankan tugasnya. Dia mati terhormat."

Song Seung Hun memerlukan datang sendiri ke pemakaman. Padahal biasanya mana pernah dia menghadiri pemakaman pegawainya, berapa lama pun mereka sudah bekerja untuknya. Dia bahkan langsung berniat menghadiahkan sebuah rumah beserta isinya untuk ayah Park Jung Min.

Tentu saja bukan rumah sederhana di kompleks karyawan. Rumah yang akan dihadiahkannya sebuah rumah yang cukup besar walaupun tidak tergolong mewah. Letaknya juga bukan dalam kompleks pabrik rokoknya.

"Jangan anggap sebagai hadiah," katanya lirih kepada ayah yang berduka itu. "Anggaplah sebagai ucapan terima kasih."

Song Seung Hun mengatakannya segera sesudah pemakaman berakhir. Ketika semua pelayat telah meninggalkan tempat itu. Dan kesunyian kembali merebak.

Hanya tinggal keluarga Park Jung Min yang masih berkumpul di sana. Jumlahnya pun tidak banyak. Mereka masih berusaha menghibur ibu Park Jung Min.

Song Seung Hun menepuk bahu Kwon Sang Woo dengan lembut. Meskipun sedang berduka, sentuhan tangan majikannya, sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama ini, mampu mengurangi sedikit kesedihannya.

Lalu Song Seung Hun menghampiri putranya. Kim Bum masih tepekur di depan gundukan tanah merah. Matanya masih berlinang air mata. Dia tidak menoleh. Tidak menyapa.

Tanpa berkata apa-apa, Song Seung Hun meletakkan tangannya di bahu putranya.

Kim Bum menoleh. Ketika matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia seperti melihat dunianya yang lama. Dan untuk pertama kalinya dia menyadari, betapa damainya dunianya yang dulu. Dunia yang telah lenyap bersama masa lalunya.
Seperti mengerti perasaan putranya, Song Seung Hun memeluk Kim Bum. Pelukan itu seolah-olah berkata, jangan takut, anakku. Akan kukembalikan duniamu yang hilang. Akan kuberikan kebahagiaan yang selama ini menjadi milikmu. Karena sekarang kau sadar, hanya ayahmu yang dapat memberikannya!

* * *

Hari itu juga, Song Seung Hun membawa anaknya pulang. Kim Tae Hee yang sudah lama menunggu anaknya yang hilang itu, langsung memeluknya sambil menangis. Tangis itu bukan hanya tangis keharuan karena anaknya sudah kembali. Tetap juga ekspresi syukur karena dia bisa kembali dengan selamat.

Jung So Min bisa memaklumi perasaan orangtuanya. Dia mengucapkan selamat datang kembali kepada adiknya.

"Dulu aku sudah bilang, jangan takut berbuat salah. Karena kapan pun kau kembali, Ayah-Ibu pasti menerimamu."

Tetapi Yoon Eun Hye tidak dapat memaafkan adiknya.

"Dia harus belajar konsekuen," katanya dingin. "Jangan jadi anak-anak terus. Kalau setiap kali jatuh dia menangis, lalu Ibu datang menggendongnya, kapan dia bisa dewasa?"

Tetapi siapa yang peduli? Ayah-ibunya sedang sangat gembira. Kim Bum kembali dengan selamat ke rumah. Apa lagi kebahagiaan yang lebih besar dari itu? Jika dia tewas bersama Park Jung Min, apa lagi artinya harta yang mereka kumpulkan? Karena harta yang sebesar apa pun tak mampu lag, membangunkan yang sudah mati!

Kim Tae Hee berniat memberikan uang kepada Chae Rim sebagai ucapan terima kasih. Tetapi ibu Park Jung Min itu menolaknya.

"Sudah cukup rumah yang diberikan Tn. Song Seung Hun, Ny. Kim Tae Hee. Saya rasa Park Jung Min juga tidak ingin saya menerimanya. Ketika berumur lima belas tahun, Park Jung Min pernah bilang, dia rela mati untuk Kim Bum. Sekarang dia telah memenuhi janjinya. Dia mati demi melindungi majikannya."

"Kim Bum bukan cuma majikan," gumam Kim Tae Hee lirih. "Mereka bersahabat sejak kecil. Saya tahu mereka saling menyayangi. Kim Bum begitu kehilangan Park Jung Min. Sampai sekarang dia belum mau bicara."

* * *

Kim So Eun mendengar berita itu pertama kali dari Jung Yong Hwa. Saat dia memasuki kampus, Jung Yong Hwa tergopoh-gopoh menghampirinya. Parasnya tegang seperti dikejar penagih hutang. Kacamatanya melorot ke hidung. Untung yang melorot cuma kacamatanya.

"Sudah dengar?" tanyanya serius sekali.

"Dengar apa?" nada suara Kim So Eun skeptis seperti biasa. Kalau Jung Yong Hwa yang membawa informasi, biasanya beritanya tidak pernah bagus. Lagi pula suasana hatinya sedang tidak enak. Kim Bum tidak pulang. Dan Park Jung Min...

"Park Jung Min mati!"

Kim So Eun berhenti melangkah. Dia tertegun, terhenyak seperti tiba-tiba disihir jadi batu.

"Aku tidak bercanda!" sambung Jung Yong Hwa cepat-cepat ketika dilihatnya pancaran berbahaya keluar dari mata Kim So Eun.

"Jangan main-main!" bentak Kim So Eun gemetar. "Kau ini bicara apa, Jung Yong Hwa?"

"Park Jung Min mati! Ditikam anak geng di rumah biliar! Sekarang teman-teman sedang kesana! Mereka mau mengobrak-abrik tempat itu!"

Kepala Kim So Eun seperti diguyur seember air es. Dinginnya terasa sampai ke kaki.

"Kim Bum?" tak terasa nama itu terucap di bibirnya yang gemetar.

"Kim Bum sedang membawa pulang mayat Park Jung Min. Dia tidak pamit?" Kim Bum bahkan tidak pulang! Tidak memberi kabar sama sekali!

"Kim Bum tidak pulang?" desak Jung Yong Hwa dalam nada menyelidik.

Kim So Eun sedang berduka. Sedang shock. Tapi dia benci sekali melihat cara Jung Yong Hwa menatapnya. Dan dia tidak merasa perlu menjawab pertanyaannya.

Kim Bum memang tidak pulang. Tapi bukan itu saja. Park Jung Min... Ya Tuhan! Benarkah Park Jung Min... mati?

Tak sadar bayangan adegan mesra di rumahnya terlintas kembali di depan matanya. Park Jung Min begitu perkasa. Begitu menguasai. Cumbuannya begitu panas. Begitu membara.... Sekarang dia sudah mati? Sudah jadi mayat? Sudah terbujur kaku?

Kim So Eun masih dapat membayangkan kebahagiaan yang melumuri wajah Park Jung Min. Selama setahun lebih mengenalnya, Kim So Eun belum pernah melihat wajah Park Jung Min secerah itu. Biasanya tampangnya selalu dingin. Seram. Menakutkan.

Dan kebahagiaan itu ternyata kebahagiaan terakhir yang pernah diraihnya!

"Maafkan aku," itu kata-katanya yang terakhir sebelum meninggalkan rumah. Ketika kebahagiaannya berganti dengan rasa bersalah yang menyiksa. Ketika kesadaran atas apa yang telah mereka lakukan tiba-tiba muncul ke permukaan. "Tidak seharusnya aku merampas milik Kim Bum!"

"Kau bukan hanya merampas," sahut Kim So Eun gemetar. "Kau membunuhnya!"

Dan itu bukan salahmu seorang! Aku juga ikut bersalah. Karena aku ikut menikmatinya!

Jika Kim Bum sampai tahu... masih sanggupkah jiwanya yang belum dewasa itu menerimanya? Sahabat karib yang sangat disayanginya. Istri yang dicintainya dengan cinta sepanjang Sungai Barceloneta. Mereka berselingkuh! Tapi... berselingkuhkah namanya diperkosa?

Park Jung Min mengasarinya. Memaksanya menyerah! Park Jung Min yang setia. Sahabat Kim Bum yang terbaik.... Betapa terpukulnya Kim Bum dikhianati oleh orang kepercayaannya! Aku tidak sanggup mengatakannya, pikir Kim So Eun getir. Aku bahkan tidak berani membalas tatapannya!

Tapi jika aku tidak mengakui dosaku, bagaimana aku dapat melanjutkan hidupku sebagai istri Kim Bum?

* * *

Puluhan mahasiswa berbondong-bondong mendatangi rumah biliar itu. Siap meluluhlantakkan segalanya. Bahkan Lee Hong Ki dan teman-temannya ikut dalam rombongan yang marah itu. Sia-sia Rektor yang tergopoh-gopoh datang ke kampus mencoba menasihati mereka.

Kim Bum dan Park Jung Min memang sudah hampir setahun tidak kuliah. Tapi mereka masih terdaftar sebagai mahasiswa di sana. Dan berita kematian Park Jung Min menyebar dengan cepat ke seluruh kampus. Menimbulkan kegeraman yang luar biasa.

"Sudah lama tempat itu menjadi tempat maksiat!" cetus seorang mahasiswa bersemangat sekali. Di mana-mana memang selalu ada provokator. "Dan tempatnya terlalu dekat dengan kampus kita!"

"Kalau kalian merusak tempat itu, apa bedanya kalian dengan preman?" suara Rektor yang biasanya berwibawa kini tak ubahnya angin lalu. Hilang ditelan teriakan kemarahan. "Kasus ini sudah ditangani polisi. Jangan menimbulkan kerusuhan!"

Dan kerusuhan memang hampir terjadi ketika polisi yang sudah mencium aksi itu dan berjaga-jaga di sana, hampir saja bentrok dengan rombongan mahasiswa yang datang berbondong-bondong. Sebagian datang dengan berjalan kaki. Yang lain membawa belasan motor.

Begitu tiba mereka langsung mengamuk. Memecahkan kaca. Berteriak-teriak. Berorasi. Ketika mereka hendak bertindak lebih jauh lagi, mereka digebah pergi. Provokatornya ditangkap. Di bawah sorotan belasan kamera media massa, dia dijebloskan ke dalam mobil tahanan.

Peristiwa tragis itu memang mendapat liputan luas sekali. Tiba-tiba saja aksi heroik seorang mahasiswa yang mati membela temannya menjadi santapan publik.

Park Jung Min yang tak pernah mendapat respek selama hidupnya ternyata mendapat banyak sekali simpati ketika tewas. Semua sudah mendengar apa yang dilakukannya untuk membela Kim Bum.

“Kau anjing penjaga yang setia, Park Jung Min," Cetus Lee Hong Ki ketika mendengar berita itu. "Aku kagum padamu dan menyesal kita tidak bisa berkelahi lagi."

Pemakamannya bukan saja dihadiri oleh Purek Tiga sebagai wakil universitas. Juga dihadiri oleh puluhan mahasiswa dan wartawan yang menyesakkan area pemakaman yang sempit itu.

Karangan bunga datang dari mana-mana. Bertumpuk dan berdesakan karena tak mendapat tempat yang cukup.

Song Seung Hun ingin menyelenggarakan pemakaman yang lebih marak. Tapi ayah Park Jung Min menolaknya. Dia ingin putranya dimakamkan dengan sederhana. Karena dia yakin, jika Park Jung Min masih hidup, itu pula yang dimgjnkannya.

Selama hidupnya, Park Jung Min tidak pernah menonjol. Dia selalu bersembunyi di bawah bayang-bayang Kim Bum. Karena itu ayahnya yakin, Park Jung Min tidak ingin keramaian mengiringi perjalanannya yang terakhir.

Dia ingin tempat yang sepi untuk beristirahat. Karena kesepian memang sudah menjadi temannya seumur hidup.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...