Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 07 Mei 2011

Silent Road (Chapter 3)



Chapter 3
Earth Land

Kereta berderak-derak, mengalun seirama laju roda di atas rel kereta tak berujung. Rel besi itu membujur panjang, membelah sawah, melintas sungai, melewati tepian kampung, dan sesekali melintas di jalan raya. Rute terpanjang adalah lintasan di persawahan. Padi hijau, sebagian menguning, terhampar luas bagai permadani. Dilengkapi langit biru cerah serta bayangan gunung di kaki langit, merupakan lukisan alam yang begitu menakjubkan. Sama persis dengan yang ditemukan pada pelajaran menggambar semasa SD.

Dari balik kaca jendela kereta, areal persawahan melintas cepat, berkelebat menampakkan hamparan hijau berganti-ganti. Kim So Eun mengerjapkan mata, menikmati pemandangan yang menyentuh hati itu. Hijau segar, kuning menyejukkan.

Kim So Eun teringat sesuatu dan tersenyum. Dulu, pada masa kanak-kanak, bakat melukisnya pertama kali ditemukan Ibu melalui lukisan sawah yang dibuatnya.

“Coretan garismu tajam sekali, Kim So Eun,” gumam Ibu, meneliti buku gambarnya. “Kau mencontoh buku lain?”

Kim So Eun kecil tertawa sembari menunjuk kalender di dinding. Ibu tercengang. Di kalender dinding itu terdapat foto pemandangan. Kim So Eun kecil memindahkannya pada kertas gambar. Coretan khas anak-anak yang menggunakan pensil. Tapi, coretan itu begitu hidup, menunjukkan talenta khusus pembuatnya.

Tangisan seorang anak membuyarkan lamunan Kim So Eun. Refleks dicarinya sumber suara itu. Pada bangku di deret seberang seorang balita merengek di pangkuan ibunya. Barangkali, anak itu lapar atau haus. Tapi, rupanya ibunya hanya berbekal sebotol air mineral yang tidak memuaskan hatinya.

Kim So Eun membuka tas. Ada beberapa potong cokelat dan wafer dalam kotak bekalnya. Diulurkannya kotak bekal itu dan mempersilakan anak itu memilih.

Sang ibu bergerak akan menolak, tapi anaknya lebih sigap. Matanya seketika bercahaya ketika meraih cokelat.

“Terima kasih. Turun di mana?” tanya si ibu.

“Earth Land.”

“Stasiun kecil itu?”

Kim So Eun mengangguk.

“Tumben, tidak biasanya orang kota turun di sana. Berarti, kau harus turun dengan cepat. Kereta berhenti hanya beberapa menit,” kata si ibu, memberi saran.

Benar apa yang dikatakan ibu itu. Kereta berhenti sangat sebentar. Baru saja Kim So Eun selesai menurunkan tas perlengkapan lukisnya, kereta telah bergerak melanjutkan perjalanan. Untung saja seorang bapak sigap meraih tasnya.

“Terima kasih,” kata Kim So Eun.

“Nona Kim So Eun? Dari kota?” tanya bapak itu.

Kim So Eun terkejut. “Bagaimana anda tahu?”

“Nenek Seo Woo Rim mengutus saya untuk menjemput Nona. Ini musim panen. Jadi, banyak tukang Kereta Kuda pergi ke ladang. Nenek Seo Woo Rim khawatir, Nona Kim So Eun kesulitan mencari Kereta Kuda.“

Kim So Eun meneliti sekeliling. Stasiun Earth Land ini begitu kecil, hanya berupa bangunan tua yang sederhana. Bangunan tua yang kusam dan sunyi. Sesaat Kim So Eun tersadar, dia satu-satunya penumpang yang turun di stasiun itu. Dan, Kereta Kuda? Hanya ada satu Kereta Kuda yang parkir di halaman. Tentulah itu Kereta Kuda utusan Nenek Seo Woo Rim. Beruntung betul Nenek Seo Woo Rim mengutus Kereta Kuda itu. Bila tidak? Kim So Eun tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Memang benar ia mengharapkan petualangan baru. Tapi, bukan bermalam sendirian di stasiun terpencil nan sunyi.

“Ayo, Nona. Sebentar lagi sore. Kereta Kuda ini tidak berlampu. Kita harus melewati hutan karet sebelum petang,” Pengendara Kereta Kuda itu bergegas mengajaknya berangkat.

Kim So Eun mengikuti langkahnya.

Beruntung senja turun lebih lambat sehingga hutan karet terlewati dengan lancar. Kereta Kuda berhenti tepat di depan rumah Nenek Seo Woo Rim saat gelap menjelang. Di beranda rumah panggung Nenek Seo Woo Rim sudah menunggu.

“Bagaimana perjalanannya? Menyenangkan?” Nenek Seo Woo Rim menyambut salam Kim So Eun.

Kim So Eun mengangguk. “Mendebarkan. Hutan karet sangat rimbun. Jika terlambat sedikit saja, pasti kami harus berjalan dalam gelap.”

Nenek Seo Woo Rim tersenyum. “Ini malam purnama. Cahaya bulan akan menolong dan memberikan pemandangan malam yang indah.”

Kim So Eun bergidik. “Tapi, saya tidak cukup berani untuk itu. Gelap di kamar sendiri saja saya takut, apalagi malam gelap di hutan karet.”

Nenek tertawa. “Apakah kau memang benar-benar penakut?”

Kim So Eun mengangguk, menyimpan malu.

“Sayang sekali, rasa takut itu tidak mungkin kau manjakan di sini. Di sini segala sesuatunya serba terbatas. Tidak ada PLN atau PAM yang tersedia 24 jam sehari. Listrik menyala hanya sampai pukul 9 malam. Sesudah itu yang ada hanya lampu minyak. Kau harus belajar tidur dalam gelap karena Nenek tidak ingin lampu minyak menyala sewaktu tidur. Terlalu riskan. Rumah panggung kayu sangat sensitif terhadap api.”

Kim So Eun tertegun. Hal-hal semacam itu di luar perhitungannya. Ia terlalu terobsesi pada faktor petualangan baru sehingga melewatkan hal-hal sepele. Kim So Eun melirik ponsel di dalam tas. Tadi sudah ditelitinya, tidak ada sinyal! Barangkali, sudah terlambat untuk minta pertolongan Kim Bum atau siapa pun. Kaki sudah melangkah. Detik awal petualangan sudah dimulai. Malam sudah turun dan gelap menghadang di segala sudut. Dia tidak bisa lagi mengurungkan niat. Jadi, apa boleh buat? Langkah ini harus diteruskan hingga selesai, apa pun yang terjadi. Benar kata Nenek Seo Woo Rim. Ia harus belajar berhenti memanjakan rasa takut. Dimulai malam ini, dengan tidur dalam gelap.

Pagi hari, Kim So Eun dibangunkan oleh suara ayam berkokok. Astaga, suara kokok ayam itu, sudah berapa tahun tidak didengarnya? Suara yang sangat langka untuk wilayah perkotaan. Seingatnya, ia terbiasa mendengar suara itu ketika masa anak-anak dulu. Dulu sekali.

Suara kokok ayam jantan itu terus terdengar. Sesudah itu disusul oleh suara kotek ayam betina dan ciap-ciap anak ayam. Paduan suara yang riuh itu memecah keheningan pagi.

Kim So Eun membuka mata. Sesungguhnya, dia masih mengantuk. Pagi begitu dingin. Pasti nyaman melanjutkan tidur dalam balutan selimut hangat. Tapi, alam tidak pernah menunggu. Kokok ayam telah membangunkan segala sesuatu. Langit mulai terang. Kicau burung bersahutan di dahan. Paduan keindahan yang langka, yang selama ini hanya Kim So Eun temukan pada buku dongeng. Pada kehidupan nyata, yang membangunkannya setiap pagi adalah jam weker dan pekikan klakson, serta deru mobil lalu-lalang di seputar rumah.

Jadi, Kim So Eun tidak memiliki alasan yang signifikan untuk melanjutkan tidur. Pagi yang luar biasa telah hadir mengawali hari. Segera dibukanya selimut.

“Tidur nyenyak?” sambut Nenek Seo Woo Rim di ambang pintu.

“Sangat pulas,” kata Kim So Eun, tersipu.

“Tidak takut gelap?”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...