Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 21 Mei 2011
Romance Zero (Chapter 13)
JlKA sebelum prahara itu terjadi, rumah tangga mereka selalu panas laksana kawah gunung merapi yang akan meletus, maka sesudahnya, pernikahan mereka membeku seperti gletser pada musim dingin.
Kim Bum selalu menghindari pembicaraan yang tidak perlu. Dia tidak mau lagi tidur di kamar Kim So Eun. Dan memilih tidur di sofa. Padahal setiap kali melihat suaminya berbaring di sofa itu, Kim So Eun merasa hatinya terkoyak dicabik sejuta cambuk.
Adegan yang tidak ingin diingat-ingatnya kembali itu justru seperti potongan-potongan kilas balik yang melintas di depan matanya. Tetap terbayang meskipun dia sudah memejamkan matanya rapat-rapat. Terus menghantui biarpun sudah seribu kali diusir.
Kim Bum juga memilih lebih banyak berada di luar rumah. Dia hanya pulang kalau malam. Seolah-olah keberadaannya di rumah itu cuma untuk menjaga jangan sampai Kim So Eun punya kesempatan untuk menyingkirkan anaknya lagi.
Sia-sia Kim So Eun berusaha memperbaiki keadaan. Percuma dia berusaha mengubah sikapnya. Memperbaiki perlakuannya terhadap suaminya. Mencoba mengulang kembali paragraf pertama kisah cinta mereka.
Karena Kim Bum sudah berubah total. Tak ada lagi senyumnya yang kebocahan. Raut mukanya yang sepolos bayi enam bulan. Tatapannya yang jenaka dan selalu tersenyum.
Sikapnya yang penuh cinta pun sudah berubah Seolah-olah dia sudah bermetamorfosis menjadi pribadi yang lain.
Padahal Kim So Eun sendiri sudah berubah. Sikapnya tidak judes lagi. Dia tidak pernah marah-marah sepulangnya kerja.
Kalau Kim Bum kebetulan sudah pulang, dia berusaha bersikap manis. Menyapa suaminya dengan ramah. Tidak peduli ke mana pun Kim Bum membuang baju kotornya, Kim So Eun memungutnya tanpa mengomel.
Tetapi tanggapan Kim Bum sangat gersang. Kim So Eun jadi putus asa.
Rasanya segala macam cara telah dicobanya untuk memperbaiki keadaan. Tapi kalau cuma dia yang berusaha, percuma saja. Seperti main pingpong sendirian.
"Tidak dapatkah kita menjalani sisa umur pernikahan kita dengan lebih baik?" keluh Kim So Eun lirih ketika malam itu dia menunggu Kim Bum makan.
Kim So Eun sudah menyiapkan makan malam untuk suaminya. Tetapi Kim Bum menjawab dingin, sudah makan.
"Tidak ada lagi pernikahan," sahut Kim Bum tanpa menoleh. "Kita hanya dua orang asing yang kebetulan harus hidup di bawah satu atap."
"Apa pun pendapatmu, sebelum resmi bercerai, aku tetap istrimu, Kim Bum!" sergah Kim So Eun gemas.
"Bukan,"desis Kim Bum kering. "Aku tidak kenal siapa kau. Dulu kukira kau cuma gadis judes. Ternyata kau bukan cuma judes. Kau kejam! Bukan hanya pada Park Jung Min. Juga pada anakmu sendiri!"
Kim So Eun hampir tidak tahan lagi. Dia sudah ingin membuka rahasianya. Agar Kim Bum tahu siapa Park Jung Min. Siapa anak dalam perutnya ini!
Tetapi pada saat terakhir dia ragu. Percayakah Kim Bum? Haruskah mereka melakukan tes DNA nanti? Kalau tidak, mustahil dia percaya! Dia begitu memuja Park Jung Min!
Setiap kali berbaring di sofa itu, dia selalu termenung. Kadang-kadang matanya berkaca kaca.
Aku tidak pernah benar-benar menghargainya sampai aku kehilangan dia, desah Kim Bum setiap kali dia tengah merenung. Mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
"Jangan menikah dengannya, Kim Bum," berulang kali Park Jung Min memperingatkannya. "Dia bukan perempuan yang pantas untukmu!"
"Perempuan yang tidak ketahuan siapa Ayahnya?" terngiang kembali kata-kata ayahnya. "Ayah tidak sudi punya menantu yang tidak punya latar belakang keluarga yang baik!"
"Kalau mencari istri, harus tahu bobot, bibit, bebetnya, Kim Bum," gumam Ibu lirih. "Bukan sembarangan ambil perempuan dari pinggir jalan."
"Kau akan menyesal,"gerutu Yoon Eun Hye ketus.
"Pikirkan lagi baik-baik, Kim Bum," pinta Jung So Min. "Jangan sampai cinta membutakan matamu."
Mereka semua sudah memperingatkannya. Mereka semua meragukan Kim So Eun. Hanya dia yang nekat! Dia yang bodoh! Dia yang buta!
Kalau dia tidak datang tepat pada waktunya, anaknya sudah mati. Dibunuh dengan kejam oleh ibunya sendiri! Perempuan yang sangat dicintainya. Yang dibelanya mati-matian sampai mengorbankan segala-galanya! Ternyata perempuan itu cuma iblis berparas malaikat!
Aku benar-benar tidak dapat menilai orang! Aku buta walaupun bermata!
* * *
"Kim Bum sedang jalan dengan Park Ji Yeon, Kim So Eun!"cetus Jung Yong Hwa bombastis sekali. Matanya Separuh terbeliak. Napasnya kembang-kempis. "Dia kan baru putus dengan Lee Hong Ki! Masa sudah disambar Kim Bum!"
Tentu saja Kim So Eun sedih. Jengkel. Cemburu. Tapi dia mau apa lagi? Umur perenikahannya memang tinggal hitungan bulan! Boleh saja jika Kim Bum sudah mencuri start.
Tetapi di depan Jung Yong Hwa, Kim So Eun tetap berpura-pura acuh tak acuh.
"Kalau tidak mengurusi orang lain, kau tidak bisa tidur nyenyak, ya?"gerutu Kim So Eun dingin."Selesaikan saja skripsimu! Daripada ngoceh tidak karuan!"
"Aku serius, Kim So Eun! Mereka sekarang ada di kantin!"
"Biarkan saja."
"Biarkan saja?"belalak Jung Yong Hwa. Matanya terbeliak makin lebar. "Jelek-jelek kan dia masih suamimu!"
"Mereka kan cuma makan."
"Tapi seharusnya Kim Bum makan denganmu!"
"Apa salahnya makan dengan teman?"
"Kau mau makan denganku?"
"Boleh saja kalau bayar sendiri-sendiri ."
Kim So Eun memang selalu menerapkan hukum itu. Siapa pun yang mengajaknya makan, kecuali tentu saja suaminya, harus bayar sendiri-sendiri.
"Betul?" desak Jung Yong Hwa bersemangat." Kapan?"
"Pokoknya tidak sekarang. Aku belum lapar."
"Kapan kau pernah lapar kalau kuajak makan?"
"Kapan kau pernah mengajakku makan?"
"Bagaimana kalau sekarang?"
Tentu saja Kim So Eun mau. Bukan karena perutnya lapar. Tapi karena dia cemburu. Dia ingin metihat Kim Bum. Benarkah dia sedang makan dengan Park Ji Yeon? Benarkah itu pertanda dia sudah membuka halaman baru?
Tetapi dia tidak mau makan dengan Jung Yong Hwa. Tidak selama dia masih menjadi istri Kim Bum. Jadi ditolaknya ajakan Jung Yong Hwa dengan tegas.
"Lain kali."
"Kapan?"
"Pokoknya lain kali."
Dan sesudah Jung Yong Hwa pergi, dia cepat-cepat melangkah ke kantin. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat sakit hati.
Kim Bum sedang makan berdua dengan Park Ji Yeon. Dan untuk pertama kalinya setelah prahara itu melintas, dia melihat Kim Bum tersenyum.
0, betapa dia merindukan senyum itu! Dan Kim So Eun memkmatinya walaupun Kim Bum bukan tersenyum kepadanya!
"Benar kan dia sedang makan dengan Park Ji Yeon?" goda Jung Yong Hwa dari belakang tubuhnya. Entah bau apa yang dipancarkan tubuhnya sampai kucing ini terus membuntutinya."Digebuk Lee Hong Ki baru tahu rasa dia. Park Jung Min kan sudah tidak bisa lagi membelanya!"
Karena sudah telanjur kepergok, Kim So Eun terpaksa meneruskan langkahnya masuk ke kantin. Dia menuju ke lemari pendingin dan mengambil sebotol air mineral.
"Itu Kim So Eun!"cetus Park Ji Yeon dengan perasaan tidak enak. Bagaimanapun dia tahu Kim So Eun masih istri Kim Bum. Dia seperti ketahuan mencuri barang orang."Hai, Kim So Eun!"
"Hai," sahut Kim So Eun tawar. Dia hanya menoleh sekilas. Membawa botolnya ke kasir. Dan membayarnya.
"Sedang ribut?"tanya Park Ji Yeon heran kepada Kim Bum. "Kenapa Kim So Eun seperti tidak mengenali suaminya sendiri?"
"Biarkan saja,"sahut Kim Bum acuh tak acuh. "Bagaimana? Jadi nonton nanti sore? Kujemput di rumah?"
Sekarang Park Ji Yeon menoleh ke arah Kim So Eun dengan bingung. Dia sedang melewati meja mereka. Dan Kim Bum seperti sengaja mengeraskan suaranya. Tetapi Kim So Eun lebih mengherankan lagi. Dia terus saja melangkah seperti orang tuli. Tidak peduli suaminya sedang mengajak perempuan lain nonton.
"Kau tidak sedang memperalat aku untuk memancing kecemburuan istrimu, kan?" desak Park Ji Yeon curiga.
"Kami sudah hampir bercerai."
Terus terang, Kim Bum kelepasan. Dia tidak mau orang lain tahu masalah keluarganya. Termasuk Park Ji Yeon.
Tetapi ketika melihat Kim So Eun berhenti melangkah, ketika melihat tatapan matanya yang getir, entah mengapa Kim Bum jadi tidak menyesal. Malah tergugah untuk menikam lagi. Padahal kata siapa hanya hati Kim So Eun yang sakit? Hatinya sendiri sudah berdarah-darah.
Park Ji Yeon melongo bingung.
"Bercerai?" dia menggagap antara kaget dan gembira. Jadi Kim Bum tidak main-main. Dia serius ingin mengencaninya karena sudah hampir bercerai!
"Hanya menunggu sampai anak kami lahir."
"Anak?" Park Ji Yeon terenyak. Tambah kalut. "Kim So Eun hamil? Dan kalian mau bercerai? Kenapa? Bayi ini bukan anakmu?"
"Anak siapa lagi?" geram Kim Bum gemas. "Ya anakku!"
"Lalu kenapa harus bercerai?"
"Sejak kapan kau jadi penasihat perkawinan?" tukasnya bosan. Dan berita itu menyebar cepat seperti wabah. Dalam hitungan jam saja sudah menulari telinga Jung Yong Hwa. Dia tergopoh-gopoh masuk ke warnet Kim So Eun.
“Tidak perlu bicara!" potong Kim So Eun dingin. "Beritamu sudah basi."
"Serius, Kim So Eun! Kau hamil?" Jadi karena itu Kim So Eun pergi ke klinik bersalin! Dia hamil!
Seluruh pelanggan yang sedang menyewa komputernya bersorak riuh.
"Happy hour!" cetus Yoona gembira. "Gratis satu jam ya, Kim So Eun?"
"Tidak ada yang gratis!"gerutu Kim So Eun kesal.
"Kenapa kau malah kesal?"
"Tidak lihat Kim Bum makan bakso bersama Park Ji Yeon?" bisik Siwon.
"Istrinya hamil dia malah kembali ke kebiasaan lamanya?" dumal Yoona gemas.
"Makanya jangan salah milih suami, Yoona! Pilihlah aku!"
"Ada pilihan lain?" Dian tersenyum menggoda.
"Kau punya pilihan?" desak Siwon agresif. Wah, bisa jadi cinta warnet kalau begitu.
"Aku ingin bicara, Kim So Eun," bisik Jung Yong Hwa serius. "Empat mata."
"Mana bisa? Kau kan pakai kacamata!"
"Jangan main-main. Kau pasti tidak mau aku baca siaran berita di sini!"
"Peduli apa? Kau bacakan di halaman kampus juga masa bodoh!"
"Benar kalian mau bercerai setelah anakmu lahir?"
* * *
Entah karena shock, entah karena kandungannya memang terganggu, sore itu Kim So Eun mengalami perdarahan. Jung Yong Hwa yang membawanya ke dokter. Lalu dengan gemas dia menelepon Kim Bum.
Saat itu Kim Bum sedang membawa Park Ji Yeon ke bioskop. Untung mereka masih duduk makan popcorn di ruang tunggu. Jadi ponsel Kim Bum belum dimatikan.
"Kim So Eun perdarahan!" dengus Jung Yong Hwa gemas. "Kau di mana?"
Yang terpikir pertama kali oleh Kim Bum, Kim So Eun sengaja melakukannya. Barangkali dia kesal. Panas. Marah. Dia mencoba membalas dengan menyakiti anaknya.
"Sialan!"geram Kim Bum sengit.
"Kenapa?" sergah Park Ji Yeon kaget. "Kau di sini saja. Nanti aku kembali."
"Nonton sendirian maksudmu?" belalak Park Ji Yeon gemas. "Ada apa, Kim Bum? Kau lupa janjimu? Ada kencan kedua?"
Kim Bum tidak menjawab. Dia sudah menghambur keluar. Dan Park Ji Yeon bergegas mengikutinya. Tentu saja dia tidak mau ditinggal sendiri. Bukan karena takut digigit kutu busuk sendirian. Tapi karena dia ingin tahu ke mana Kim Bum pergi.
Park Ji Yeon baru tenang ketika melihat Jung Yong Hwa sedang duduk di ruang tunggu dokter kandungan.
"Kim So Eun kenapa?" tanyanya seolah-olah Jung Yong Hwa yang paling tahu. "Keguguran?"
"Sudah setengah jam dia di dalam," sahut Jung Yong Hwa tegas. Mendadak dia bersikap seperti suami Kim So Eun. "Dokter sedang menolongnya. Perdarahan banyak juga. Untung aku cepat membawanya kemari. Suaminya sendiri lagi enak-enakan pacaran lagi!"
"Bukan salahku! Kata Kim Bum mereka sudah hampir bercerai!"
"Ah, kau terlalu lugu! Itu kan lagu basi lelaki yang sudah bosan dengan istrinya!"
"Mungkin anak di perut Kim So Eun bukan anak Kim Bum!"
"Kalau begitu, buat apa Kim Bum terbang kemari? Kau tidak lihat gugupnya dia!"
Kim Bum memang gugup sekali. Ketika dia masuk ke ruang praktek Dokter Lee Ji Hoon, benda apa saja yang menghalangi ditubruknya. Ketika dia duduk, barang berjatuhan dari atas meja tulis. Dokter Lee Ji Hoon sampai tergopoh-gopoh menangkapi barang-barangnya.
"Osteum uteri-nya (pembukaan jalan lahir) belum terbuka,'' kata Dokter Lee Ji Hoon cepat-cepat. Khawatir kamar prakteknya keburu runtuh. "Kandungannya masih dapat dipertahankan. Minum obat yang saya berikan. Dan suruh dia istirahat di tempat tidur."
"Anak saya tidak apa-apa, Dok?"desak Kim Bum cemas.
Dokter Lee Ji Hoon menunjuk gambar USG di monitor.
"Sampai sejauh ini, tidak tampak ada kelainan."
Kim Bum menatap foto anaknya dengan terharu. Ayah akan melindungimu, Sayang, bisiknya dalam hati. Jangan takut. Tidak seorang pun bisa mengusikmu. Tidak juga ibumu. Sejak pertama kali melihat gambar USG anaknya, naluri kebapakan Kim Bum timbul. Kini naluri itu tumbuh semakin kuat. Dia bertekad akan menjaga anaknya baik-baik. Melindunginya dari segenap marabahaya. Yang disengaja maupun tidak.
Dia membantu Kim So Eun turun dari tempat tidur. Dia membimbingnya keluar. Membantunya naik ke dalam taksi. Tapi bukan untuk menolong Kim So Eun. Hanya untuk melindungi anak-nya. Jika Kim So Eun mengira Kim Bum melakukannya untuk dirinya, dia keliru.
"Antarkan Park Ji Yeon, Jung Yong Hwa," kata Kim Bum seperti memerintah pegawainya.
"Eh, tunggu dulu!" protes Jung Yong Hwa penasaran. Enak saja! Memangnya dia siapa? "Antar ke mana?"
"Tanya saja dia," sahut Kim Bum seenak perutnya. "Dia kan punya mulut."
"Kim Bum!"sergah Park Ji Yeon gemas. Memangnya dia barang? Bisa diserahterimakan begitu saja?
"Sampai besok, Park Ji Yeon," kata Kim Bum sambil masuk ke taksi, "Bilang Jung Yong Hwa saja kau mau ke mana."
"Kurang ajar!" geram Park Ji Yeon dan Jung Yong Hwa berbarengan.
"Orang lain makan nangkanya, aku yang kena getahnya!" dumal Jung Yong Hwa gemas.
"Siapa bilang aku sudah dimakan?" belalak Park Ji Yeon sengit. "Kami baru sempat makan bakso!"
* * *
Kim So Eun terharu sekali melihat perhatian Kim Bum. Untuk pertama kalinya setelah prahara itu, Kim Bum masuk ke kamarnya. Membantunya naik ke tempat tidur. Dan membukakan sepatunya, Seolah-olah Kim So Eun pasien pasca bedah, yang tidak boleh banyak bergerak.
“Terima kasih," gumam Kim So Eun lirih.
Kim Bum tidak menjawab.
Ketika dia hampir melewati pintu, Kim So Eun memanggilnya. Kim Bum menoleh.
"Mau menolongku sekali lagi?"
Kim Bum tidak menjawab. Tapi dia menunggu.
“Tolong ambilkan baju ganti."
Kim Bum kembali masuk ke kamar. Membuka lemari pakaian. Dan tertegun sesaat ketika melihat foto berukuran 8R yang terpampang di daun pintu lemari.
Foto mereka di atas perahu di Delstres Dragons. Kim Bum yang menjepretnya. Kim Bum juga yang menempelkannya di sana.
Dia sedang tertawa lebar sambil memeluk Kim So Eun dengan mesra. Senyum Kim So Eun begitu manis. Begitu teduh. Tidak sangka di balik senyum itu tersembunyi sepotong hati yang kejam!
Dan emosi Kim Bum yang sedang melambung ketika teringat pada kemesraan bulan madu mereka di Hutan Barceloneta punah seketika.
Dia merenggut pakaian ganti Kim So Eun dengan sengit. Dan menaruhnya. Separuh melempar ke atas tempat tidur.
"Bantu aku mengganti baju, Kim Bum," pinta Kim So Eun.
Sengaja suaranya dibuat terdengar sangat lemah. Padahal dia sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Tapi Kim So Eun insaf, dia harus menggunakan segala cara untuk mempertahankan suaminya. Sah saja mempertahankan suami sendiri, kan? Apalagi di luar sana sudah menanti seekor kobra betina! Siap mematuk dan menyemprotkan racunnya!
Lalu kata siapa cuma perempuan yang dilahirkan untuk dibohongi? Ternyata lelaki pun gampang dikelabui!
Kim Bum melepaskan pakaian istrinya dengan hati-hati, seolah-olah Kim So Eun boneka kaca yang rapuh dan mudah pecah.
Kim So Eun memejamkan matanya ketika tangan suaminya menyentuh kulitnya. Darahnya mendesir. Bulu romanya meremang. Kerinduan menggelegak di hatinya. Tapi belum sempat dia menikmati sensasi itu lebih lama, bayangan perkosaan itu kembali menyeruak ke benaknya. Dan dia menggigil jijik.
Tentu saja Kim Bum juga merasakan apa yang mengharubirukan benak istrinya. Dia sendiri bukannya tidak terangsang. Kulit istrinya terasa halus dan hangat menyentuh tangannya. Payudaranya juga tampak lebih padat membeludak. Mungkin efek kehamilannya, pikir Kim Bum, susah payah menahan gairahnya.
Dia hampir melupakan kebenciannya. Dia sudah terdorong untuk memeluk istrinya dan melampiaskan hasratnya ketika tiba-tiba dia merasa Kim So Eun menggigil.
Dan entah dari mana Kim Bum tahu, dia sadar, Kim So Eun menggigil bukan karena menahan kerinduan. Dia menggigil karena merasa jijik! Dan kemarahan menyala lagi di hati Kim Bum.
Karena itukah Kim So Eun tega membunuh anaknya sendiri? Karena dia jijik pada suaminya? Tapi... mengapa? Apa salahnya? Karena dia tidak punya pekerjaan? Karena dia terlalu dekat dengan Park Jung Min? Karena dia selalu melindungi temannya? Apakah Kim So Eun mengira dia dan Park Jung Min... ah, jahat sekali dugaannya!
Ketika Kim Bum menyentakkan tubuhnya untuk berbalik, Kim So Eun memanggilnya lagi. "Tolong pakaian dalamnya juga, Kim Bum," pintanya gemetar. "Rasanya kotor. Dari ranjang pasien."
Tentu. Kim So Eun memang pintar. Pasti dia ingin mengganti seluruh bajunya. Dari luar sampai ke dalam. Tapi untuk sesaat Kim Bum ragu. Mampukah dia melakukannya?
"Kim Bum.,.." desah Kim So Eun lemah ketika dilihatnya suaminya tertegun.
Kim Bum tersentak. Masa dia tidak bisa mengekang nafsunya? Bayangkan saja hari ketika Kim So Eun hampir melakukan aborsi!
Dengan marah Kim Bum kembali ke lemari pakaian. Membukanya dengan kasar. Mengaduk-aduk pakaian dalam istrinya. Merenggutnya. Dan melemparkannya ke perut Kim So Eun.
Kim So Eun tidak minta tolong lagi. Tapi dia bertindak begitu rupa seolah-olah sulit sekali menggantinya seorang diri.
Dan marah kepada dirinya sendiri, Kim Bum menggeram. Dengan kasar dia mengoyak baju dalam istrinya. Maksudnya tentu saja supaya cepat. Dia tidak tahu perbuatannya itu malah mengingatkan Kim So Eun pada saat yang paling kelam dalam hidupnya.
Dia memekik tertahan.
"Jangan!" desahnya terengah. "Jangaaan...."
Sekejap Kim Bum tertegun. Sebelum kemarahan dan sakit hati berkobar di matanya.
"Kenapa?" geramnya sengit. Takut kuperkosa?"
Kalau tidak ingat keselamatan anaknya, saat itu juga Kim Bum ingin memperkosa istrinya! Biar dia tahu rasa!
Dan aneh. Kim So Eun tidak melawan seperti biasa. Tidak membentak dengan galak. Mencaci dengan judes. Dia malah menangis tersedu-sedu!
Kenapa dia jadi selembek ini, pikir Kim Bum heran. Reaksi wanita hamil? Dia jadi lebih perasa?
Tanpa berkata apa-apa Kim Bum membantu istrinya berpakaian. Dia sudah kehilangan gairahnya. Yang tertinggal di benaknya cuma sebuah tanda tanya. Dan seberkas kemarahan.
Kemarahan dan kebingungan yang selama ini membelenggu hatinya. Memenjarakan cintanya.
Siapa bilang dia sudah tidak mencintai Kim So Eun? Siapa bilang dia sudah tidak menghendaki istrinya lagi?
Cinta belum punah dari hatinya. Kim Bum hanya coba memusnahkannya karena dia marah. Kecewa. Sakit. Istrinya mencoba membunuh anak mereka. Dan Kim So Eun tidak pernah menjelaskan alasannya. Dia tetap membisu. Merahasiakan motif tindakan sadisnya.
Malam ini dia tambah mendera perasaan Kim Bum. Dia bersikap jijik ketika suaminya menyentuh tubuhnya!
Perempuan apa yang dinikahinya ini? Dia sakit apa? Punya kelainan apa?
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar