Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 16 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 5)



SETELAH menandatangani surat nikah, mereka pulang ke rumah. Tentu saja pulang ke rumah Kim So Eun. Ke mana lagi?

Dan seperti keinginan Kim So Eun, tidak ada pesta. Tidak ada makan bersama dengan teman-teman.

Kim Bum terpaksa setuju. Mau apa lagi? Untuk pertama kalinya keinginannya tidak terlaksana. Dia harus mengalah. Karena Kim So Eun juga mengalah. Bersedia menikah tamasya. Pergi ke Barcelona bersama Kim Bum. Tentu saja Kim Bum yang bayar. Dengan kelebihan uang penjualan mobilnya.

Untuk sementara, ada perdamaian di antara mereka. Tetapi masalah rupanya tidak bosan-bosannya menghampiri mereka. Kali ini datangnya dari Park Jung Min.

Sesudah menjadi saksi pernikahan Kim Bum, dia tetap membuntuti temannya pulang ke rumah. Dan tampaknya tidak ada tanda-tanda dia hendak menyingkir. Padahal Kim Bum sudah bersiap-siap melakukan pertempuran pertama.

“Pulanglah, Park Jung Min," pinta Kim Bum di depan pintu. “Terima kasih untuk segalanya."

"Aku harus pulang ke mana, Kim Bum?" balas Park Jung Min sedih.

Pulang ke mana? Kim Bum tertegun bengong. Ya ke rumahmu! Habis ke mana lagi?

Tapi Park Jung Min tidak mau pulang ke rumah orangtuanya. Dia tetap mengikuti Kim Bum. Tidak mau berpisah sehari pun.

"Aku tidak punya uang untuk bayar sewa kamar, Kim Bum. Boleh aku menumpang?"

Celaka. Tiba-tiba saja Kim Bum merasa kepalanya berdenyut Dia tidak tega mengusir teman baiknya. Sahabatnya yang setia. Tapi ini rumah Kim So Eun!

Celakanya lagi, uang sisa penjualan mobilnya sudah dibelikan cincin kawin. Tiket pesawat. Voucher hotel. Transport. Bahkan uang pembayar fiskal sudah dipegang Kim So Eun. Yang ada di kantongnya tinggal sebentuk cincin kawin! Apa lagi yang harus diberikannya kepada Park Jung Min?

"Sampai kapan?" desah Kim Bum lirih. Tidak sampai hati mengajukan pertanyaan sekejam itu. Tapi dia harus bagaimana lagi?

Sampai kapan? Park Jung Min merasa bingung. Sekaligus sakit hati. Itukah pertanyaan seorang sahabat?

"Sampai aku bekerja dan bisa bayar sewa kamar," sahut Park Jung Min pahit.

"Aku harus tanya Kim So Eun dulu," gumam Kim Bum bingung.

Rumah ini hanya punya satu kamar tidur! Park Jung Min harus tidur di mana? Masa sekamar bertiga?

"Aku bisa tidur di sofa," desis Park Jung Min lirih. Atau di lantai. Atau di mana pun! Asal tidak di kolong jembatan!

"Kim Bum," panggil Kim So Eun dari dalam kamar. Dia sudah siap tempur. Tapi kapal induk yang ditunggunya belum muncul juga.

"Kim Bum!" panggilnya lebih keras. Tentu saja dia tahu siapa yang sedang ditemui suaminya di pintu. Siapa lagi kalau bukan Park Jung Min! Mereka memang lengket seperti lem tikus. Tapi pada malam pengantin seperti ini, harusnya Kim Bum tahu dia harus melekat pada siapa!

“Ya, Sayang," sahut Kim Bum dari luar. "Tunggu sebentar!"

Tunggu sebentar? Berapa lama lagi dia harus menunggu?

"Ada apa?" desak Kim So Eun tidak sabar ketika Kim Bum akhirnya muncul di kamar. Wajahnya melukiskan kebingungan seperti wajib pajak yang ketahuan menilap pajaknya.

"Park Jung Min minta tolong."

"Uang?"

"Minta izin menumpang di sini."

"Di mana?" sergah Kim So Eun kaget.

"Di ruang tamu. Tidur di sofa juga dia mau."

"Kim Bum!" bentak Kim So Eun kesal.

"Aku tahu!" potong Kim Bum serba salah. "Tapi aku harus bagaimana? Park Jung Min sahabatku. Dan dia tidak punya tempat tinggal!"

"Aku masih punya sedikit uang," Kim So Eun menghela napas menahan kekesalannya. "Dia bisa menyewa kamar di belakang."

"Sampai berapa lama?" keluh Kim Bum putus asa. Ternyata uang sangat penting. Dan selama ini dia tidak menyadarinya!

"Sampai berapa lama?" ulang Kim So Eun pedas.

"Sampai berapa lama dia mau jadi parasitmu?"

"Park Jung Min bukan parasit!" bantah Kim Bum tersinggung. "Dia temanku yang setia."

"Dan pengawalmu yang hebat! Tapi kau harus sadar, sekarang kau tidak butuh pengawal! Kau tidak mampu menggajinya!"

"Park Jung Min tidak perlu digaji! Dia bukan pengawalku lagi!"

"Kalau begitu, buat apa dia menempelimu terus?"

“Dia tidak tega meninggalkanku!"

"Kenapa? Kau tinggal dengan istri, bukan kuntilanak! Tidak ada yang akan mencekikmu!"

"Dia ingin membagi penderitaanku."

"Kata siapa kau menderita?" Kim So Eun melotot gusar. Tersinggung sekali dia. "Kau menikah, Kim Bum. Bukan masuk penjara!"

"Pokoknya dia ingin menemaniku, di mana pun aku berada."

"Kalau begitu, jangan menyusahkan!"

Hampir meledak kemarahan Kim Bum. Dia tersinggung. Terhina. Sedih. Tapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Hatinya sakit sekali. Begini rasanya jadi orang miskin!

Kim Bum belum sempat memuntahkan kemarahannya ketika pintu kamarnya diketuk perlahan. Kim Bum membuka pintu. Dan melihat Park Jung Min tegak di hadapannya. Wajahnya sama muramnya dengan paras Kim Bum.

"Sudahlah, Kim Bum, aku mengerti," katanya lesu. "Aku pergi saja."

"Tapi kau mau ke mana?" sergah Kim Bum antara bingung dan iba.

"Sudah malam begini. Kau tidak tahu harus berteduh di mana!"

"Jangan pikirkan aku."

"Malam ini kau tidur di sofa saja," sela Kim So Eun datar. Terpaksa. Kalau mereka masih berkutat begini terus, sampai kapan gong berbunyi? "Besok baru kau cari tempat tinggal."

Tetapi besoknya pun Park Jung Min belum pergi juga. Karena dia tidak punya tempat tinggal. Karena tempat tinggal tidak mungkin diperoleh tanpa uang!

Terpaksa Kim So Eun menerima Park Jung Min. Karena dia tidak bisa mengusirnya. Karena tidak mungkin mengusir Park Jung Min tanpa bertengkar dengan Kim Bum!

Kim So Eun harus menahan perasaannya. Bukan saja karena beban hidupnya menjadi lebih berat. Biaya rumah tangganya bertambah. Tapi juga karena dia tidak bisa memekik melampiaskan emosinya ketika sedang bermesraan dengan suaminya. Karena mendesah pun pasti terdengar sampai ke ruang makan!

Dia harus mengatupkan mulutnya rapat-rapat setiap kali suaminya menerbangkannya ke awang-awang. Karena dinding kamarnya yang terbuat dari tripleks tipis sama sekali tidak kedap suara. Padahal di puncak swargaloka, apa lagi yang lebih nikmat selain mendesahkan erangan bebas ke seluruh penjuru mayapada? Tanpa perlu takut ada musafir kehausan yang sedang menguping di kaki bukit sana!

Memang dari awal hidup pernikahan mereka tidak semulus yang dibayangkan Kim Bum. Sejak merencanakan pernikahan saja mereka sudah rebut.

Kim Bum ingin mengadakan pesta pernikahan. Tidak usah besar-besaran. Tidak usah di hotel mewah. Cukup mengundang teman-temannya saja. Tetapi Kim So Eun menolak. Baginya, pesta berarti menghamburkan uang. Untuk apa memberi makan orang lain, teman sekalipun?

"Uang kita terbatas. Untuk apa dibuang-buang begitu?"

"Bukan dibuang. Kita kan merayakan pernikahan kita!"

"Tidak perlu dengan memberi makan orang lain!"

"Mereka teman-temanku! Bukan orang lain! Kalau kau tidak punya teman, bukan berarti aku juga tidak boleh punya teman, kan?"

"Kau boleh punya seribu teman. Tapi tidak perlu mengundang mereka makan!"

"Jadi bagaimana maumu?" keluh Kim Bum kesal. "Kita menikah tamasya saja? Kau mau pergi ke mana?"

"Ke mana lagi? Ya pulang ke rumah!"

"Tidak pergi bulan madu?" belalak Kim Bum kaget. Wah, dia menikahi kepiting batu!

"Bulan madu di rumah saja. Yang penting kan kemesraan yang kita raih berdua. Bukan tempatnya."

"Tapi tempat penting, Kim So Eun! Tempat yang indah, suasana yang romantis, membuat bulan madu kita makin bergairah!"

"Bagiku sama saja. Di mana pun tempatnya kita bisa menciptakan suasana yang romantis. Itu kan tergantung perasaan kita sendiri."

Tetapi karena Kim Bum berkeras hendak berbulan madu, Kim So Eun terpaksa menurut. Itu pun setelah mereka ribut besar.

Bayangkan saja. Kim So Eun tidak bisa mengerti mengapa mereka harus disuntik, padahal tidak sakit. Sakit saja dia paling takut disuntik!

“Ini bukan suntikan, cuma vaksinasi!" gerutu Kim Bum, hampir kewalahan menggiring Kim So Eun ke depan jarum suntik. "Kita harus divaksinasi Yellow Fever (Virus ini ditularkan oleh gigitan nyamuk “Aedes aegypti, dan spesies lainnya”)!"

"Apa bedanya?" dumal Kim So Eun kesal. "Pokoknya kita ditusuk jarum, apa pun namanya!"

"Masa dengan jarum saja takut? Katanya nekat, berani menikahi Kim Bum!"

"Menikahimu tidak sama dengan disuntik!" Memang mau dibandingkan dengan jarum suntik?

"Tapi Ayahku lebih seram dari jarum suntik! Kenapa kau tidak takut?"

Akhirnya Kim So Eun mengalah. Dia menyerahkan lengannya untuk ditusuk. Padahal kalau ada vaksinasi di sekolah, biasanya dia yang paling dulu kabur.

Tetapi bukan itu saja. Sebelum berangkat, dia harus menelan tablet antimalaria. Dan tablet itu harus diminum tiap minggu selama berada di sana! Benar-benar celaka! Orang sehat harus minum obat, hanya karena ingin menikah dengan orang aneh ini!

Tapi cinta memang aneh. Akibatnya, mencintai orang aneh tidak terasa aneh lagi. Nah, pusing, kan?

"Biarkan Park Jung Min tinggal di rumah kita dua minggu lagi," pinta Kim Bum pada malam sebelum mereka pergi berbulan madu. "Dia bisa jaga rumah selama kita pergi."

"Apa yang mau dijaga?" sahut Kim So Eun ketus. Biasanya juga tidak pernah dijaga! Tidak ada yang bisa diambil kan!

"Sekalian dia menjagai warnetmu."

Wah, kancil ini memang licik!

"Supaya kau bisa tenang meninggalkan warnetmu. Tidak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi. Ada Park Jung Min yang menjaga rumah dan warnetmu. Urusan jaga-menjaga, dia memang pakarnya! Taruhan, tidak seekor kecoak pun bisa masuk!"

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...