Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 21 Mei 2011
Romance Zero (Chapter 16)
Ketika dipanggil ke ruang dokter, Lee Min Ho sudah punya firasat jelek. Hasil pemeriksaannya pasti tidak menggembirakan.
Dia tidak mengerti sama sekali foto-foto scanning yang terpampang di hadapannya. Tapi dia mengerti apa yang terlukis di wajah dokternya.
"Sudah metastasis *) ke hati," Dokter Gerard Butler menghela napas berat. "Saat ini rasanya tidak ada lagi yang dapat kita lakukan."
*) Perpindahan penyakit dari bagian tubuh yang satu ke bagian tubuh yang lain.
Lee Min Ho merasa kepalanya seperti dihantam sebongkah batu karang. Jadi operasi usus besarnya tujuh tahun yang lalu tidak berhasil mengalahkan kanker sialan itu. Penyakit terkutuk itu hanya bersembunyi. Menunggu saat yang tepat untuk menyerang lagi. Mengobrak-abrik tubuh korbannya.
"Tidak ada pengobatan lain, Dokter?" tanya Lee Min Ho gemetar menahan rasa takut yang bercampur rasa nyeri di hatinya.
"Kemoterapi yang dapat diberikan saat ini. hanya terapi paliatif. Mengurangi gejala. Memperpanjang umur. Tapi tidak menyembuhkan."
Lee Min Ho tercenung sesaat. Pengobatan apa itu? Memperpanjang umur tapi tidak menyembuhkan! Berapa lama umurnya bisa ditambal? Satu minggu? Satu bulan? Satu tahun? Dan selama kemoterapi dia harus mengalami penderitaan yang luar biasa. Ah, dia benar-benar bingung. Panik. Putus asa.
"Apa yang harus saya lakukan, Dokter?" desah Lee Min Ho getir.
Dokter Gerard Butler menggelengkan kepalanya.
"Carilah saat yang tepat untuk mengatakannya kepada istrimu. Sampai sekarang dia belum tahu, kan?"
Aku tidak sampai hati mengatakannya, keluh Lee Min Ho dalam hati. Dari mana aku harus mulai? Bukankah karena tidak tega mengatakannya, aku menolak anjuran Dokter Gerard Butler untuk kemoterapi? Saat itu, hampir setahun yang lalu, CEA-nya mendadak melonjak seratus kali lipat dari angka normal.
CEA adalah angka penanda tumor yang diperoleh dari hasil pemeriksaan darah di laboratorium. Ketika melihat hasil lab itu, Dokter Gerard Butler sudah khawatir.
Tujuh tahun yang lalu, Lee Min Ho didiagnosis mengidap kanker usus besar stadium 2B. Dia menjalani operasi dan kemoterapi. Dokter Gerard Butler curiga, sel kanker dari usus besarnya belum punah seluruhnya dan kini bermetastasis. Karena itu dia menganjurkan kemoterapi secepatnya.
Tetapi Lee Min Ho menolak. Tujuh tahun yang lalu, dia masih seorang diri. Tetapi kini dia memiliki seorang istri dan seorang anak.
Istrinya tidak tahu tentang penyakitnya. Lee Min Ho tidak pernah menceritakannya. Sekarang pun dia tidak ingin mengatakannya. Tidak ingin merusak kebahagiaan rumah tangga mereka.
Lagi pula apa gunanya lagi kemoterapi? Kalau operasi saja tidak mampu mengenyahkan penyakit terkutuk itu, apa lagi yang dapat dilakukan?
Dan inilah risiko yang harus diterimanya. Tidak sampai setahun kemudian, sel-sel kanker telah merusak hatinya. Begitu parahnya kerusakan itu sampai tak ada lagi pengobatan yang dapat dianjurkan dokter.
Sekarang hanya tinggal satu pertanyaan lagi.
"Berapa lama lagi, Dokter?" gumam Lee Min Ho lesu. Dia merasa matanya panas. Tetapi ditahannya butir-butir air matanya agar tidak menggenangi matanya.
Tangis itu bukan untuk dirinya. Tapi untuk istrinya. Untuk anaknya. Karena mereka akan segera kehilangan orang yang mereka cintai.
Dokter Gerard Butler tidak mau menjawab pertanyaannya.
Nikmati saja sisa hidupmu, katanya bijaksana. Bahagiakan istri dan anakmu selama mereka masih dapat menikmatinya bersamamu.
Banyak yang harus kulakukan, pikir Lee Min Ho murung dalam perjalanan pulang. Dia melangkah masuk ke dalam bus yang berhenti di depannya. Antrean yang mengekor panjang di belakangnya mengikutinya masuk ke dalam bus berwarna kuning itu dengan tertib.
Lee Min Ho memasukkan karcis berlangganannya ke dalam mesin di samping sopir. Dia merasa kakinya lemas, karena itu dia tidak mau berjalan jauh ke belakang. Dia ingin buru-buru duduk.
Lee Min Ho memilih bangku di baris kedua dari depan. Karena bangku di deretan paling depan diperuntukkan bagi orang tua dan penyandang cacat. Dia mengenakan kacamata hitam untuk menyembunyikan matanya yang memerah. lalu dia melemparkan pandangannya ke luar jendela bus.
Saat itu bus mereka melewati St.Ponds Place. Kenangan Lee Min Ho kembali pada saat pertama kali dia melihat istrinya melintas di sana. Dan matanya langsung berkaca-kaca.
* * *
Barang-barang belanjaan berjatuhan dari tangannya. Dengan susah payah dia berjongkok. Memunguti barang-barang yang berserakan di kaki lima dengan sebelah tangan. Sementara tangannya yang lain memeluk seorang bayi.
Lee Min Ho yang baru melangkah keluar dari kantornya buru-buru menghampiri.
"Boleh saya bantu?" tanyanya sopan. Tentu saja dalam bahasa Inggris. Karena meskipun dia tahu perempuan ini berasal dari ras Asia, saat itu dia tidak yakin mereka datang dari negeri yang sama.
Perempuan itu menatapnya sekilas sebelum mengangguk. Lee Min Ho langsung berjongkok di dekatnya dan memunguti barang-barang yang berserakan. Ada makanan bayi. Pampers. Tisu. Kapas. Bahkan obat penurun panas.
"Terima kasih," suaranya perlahan dan agak bergetar. Padahal saat itu musim panas. Cuaca sangat bersahabat. Angin tidak bertiup. Mengapa suaranya seperti meredam kebekuan?
Tetapi bagi Lee Min Ho, itulah suara termerdu yang pernah didengarnya sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu.
"Boleh saya antar ke mobil?" tanya Lee Min Ho ramah ketika dilihatnya betapa repotnya menggendong bayi dan barang belanjaan sekaligus.
Perempuan itu menggeleng. Matanya menatap resah.
"Tidak bawa mobil?" Atau tidak punya? Kau masih muda sekali. Sudah punya bayi. Pasti berat sekali beban hidupmu. "Naik bus?"
Pasti repot sekali. Lee Min Ho punya mobil. Tapi karena kantornya terletak di La Defense, pusat kota dan pusat bisnis yang ramai, dia memilih naik bus. Parkir bukan hanya sulit, sekaligus mahal. Sementara bus di sini murah dan cukup menyenangkan. Bersih. Tidak perlu berdesakan. Dan hampir selalu tepat waktu.
Tetapi membawa belanjaan sebanyak itu dan seorang bayi? Nanti dulu. Bus pasti pilihan yang sulit.
Jadi sekali lagi Lee Min Ho menawarkan bantuan. Wajahnya yang simpatik. Penampilannya yang matang. Sikapnya yang ramah. Apa lagi yang diperlukan seorang wanita muda untuk menerima bantuan dari seorang pria tak dikenal?
Lebih-lebih ketika mereka tahu mereka berasal dari negara yang sama.
"Dari Seoul?" Lee Min Ho tertawa lepas. "Saya juga dari sana! Grey Avenue! Kau dari mana?"
Purple Street. Tapi ada berapa ratus Purple Street di Seoul?
Tapi di mana pun wanita ini tinggal, peduli apa? Yang penting bukan di kuburan. Jadi dia bukan keponakan kuntilanak. Dan yang lebih penting lagi, belum pernah Lee Min Ho segembira hari ini.
Sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang lalu, Lee Min Ho tetap menduda. Banyak teman. Tapi tidak punya pacar. Dia memilih hidup sendiri. Menikah dengan pekerjaannya.
Baru hari ini dia tiba-tiba ingin punya teman intim lagi. Bukan karena wanita yang baru dikenalnya ini memiliki wajah lumayan cantik. Tapi juga karena bayi dalam gendongannya. Bayi yang sudah tidak punya ayah lagi.
Katanya ayahnya meninggal. Lama sebelum dia lahir.
Kasihan sekali. Pasti berat hidup sendiri. Apalagi punya anak.
“Istri saya juga meninggal. Sepuluh tahun yang lalu. Kecelakaan mobil."
"Aduh," desah wanita itu antara kaget dan iba. "Punya anak?"
"Di mobil yang sama," suara Lee Min Ho berubah getir. "Mobil yang menabrak mobil istri saya tidak berhenti. Belakangan polisi berhasil menangkap bajingan itu. Dia mabuk."
"Aduh."
"Saat itu saya baru tahu, sebotol vodka bukan cuma mampu memabukkan, tapi mampu membunuh, sekaligus mampu merampas sisa hidup saya."
Dan sekarang, kankerlah yang merampas sisa hidupku, keluh Lee Min Ho menahan tangis. Justru pada saat aku sudah berhasil menemukan hidupku kembali.
Dua bulan setelah pertemuan mereka, Lee Min Ho sadar, dia sudah jatuh cinta pada Angela Kim. Sekaligus pada bayi mungilnya yang sangat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan seorang ayah.
Tetapi Lee Min Ho tidak bisa menikahi Angel. Karena dia datang ke Perancis sebagai turis. Dan visanya sudah lama habis masa berlakunya.
Sekarang status Angela Kim dan putranya adalah pendatang gelap. Setiap saat mereka dapat ditangkap dan dikembalikan ke negeri asalnya.
Jika Lee Min Ho tetap ingin menikahinya, Angel dan anaknya harus pulang dulu ke Korea. Dari sana dia baru mengajukan permohonan untuk menikah dengan Lee Min Ho yang sudah menjadi penduduk tetap di Perancis. Dan permohonan itu bukan hanya memerlukan waktu. Juga belum tentu dikabulkan.
Tetapi yang lebih sulit lagi adalah memaksa Angel pulang. Karena tampaknya dia tidak ingin kembali ke Korea.
* * *
"Ada apa, Lee Min Ho? Kau muram sekali. Banyak kerjaan?"
Begitu tiba di rumah, anak-istrinya sudah menyambutnya di ambang pintu. Angel tampak segar walau hanya mengenakan T-shirt dan short santai. Sementara si kecil Wang Suk Hyun sudah melonjak-lonjak lucu minta digendong.
Wang Suk Hyun memasukkan sebutir permen ke mulut ayahnya. Kebiasaan yang selalu dilakukannya setiap kali ayahnya pulang kerja. Lee Min Ho akan membuka mulutnya lebar-lebar. Menerima permen dengan lidahnya. Dan pura-pura menciut-ciutt kepedasan.
Wang Suk Hyun akan tertawa geli. Lucu melihat ayahnya berdesah sedemikian rupa. Lalu dia akan menyodorkan pipinya yang montok. Dan Lee Min Ho mengecupnya dengan gemas.
Setelah itu dia akan mencium bibir istrinya yang memerah delima. Dan berbisik lembut, I love you.
Hari ini semua ritual itu tetap dilakukannya. Tapi dengan paras mendung dan mata merah yang membuat Angel bergumam heran. Sekali lihat saja dia tahu ada yang tidak beres. Sikap Lee Min Ho tidak seperti biasa. Ada yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang coba disembunyikannya.
"Kenapa, Lee Min Ho?" desak Angel sekali lagi. Ditatapnya suaminya yang tengah menggendong anaknya dengan tajam. "Katakan ada apa."
Apa yang harus kukatakan, keluh Lee Min Ho dalam hati. Umurku hanya tinggal hitungan bulan, bahkan mungkin hitungan minggu? Sebentar lagi aku harus meninggalkanmu, meninggalkan anak kita, meninggalkan semua yang kucintai?
"Tidak ada apa-apa," sahut Lee Min Ho dengan suara seringan mungkin. Berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Aku hanya capek saja."
"Mau dipijat?"
"Wah, tawaran yang susah ditolak!" Lee Min Ho tertawa dibuat-buat. "Minta tip apa?"
"Boleh minta tip?" Suara yang manja menggemaskan itu, yang biasanya membuat hati Lee Min Ho berdebar hangat, kini justru menyayat pedih.
"Apa saja," sahut Lee Min Ho tersendat. Apa yang kau minta, Sayang. Apa saja. Akan kuberikan apa pun yang kau inginkan. Mumpung aku masih punya waktu untuk mencarinya.
"Apa saja?" Senyum yang manis menggoda menggeliat di bibirnya.
"Apa saja," sahut Lee Min Ho menahan tangis. Disembunyikannya wajahnya di balik tubuh montok Wang Suk Hyun.
"Tapi kenapa kau sedih sekali kelihatannya? Tidak usah takut. Tipnya bukan berlian dua karat!" gurau Angel sambil mengambil Wang Suk Hyun dari pelukan suaminya. Diturunkannya anak itu. Ditepuknya pantatnya dengan lembut. "Main sana! Ayah capek."
Tapi kelakarnya justru membuat Lee Min Ho semakin terpukul.
Berlian dua karat. Kapan aku baru dapat memberikannya?
Berlian adalah sahabat terbaik wanita. Wanita mana yang tidak menggandrungi berlian?
Selama ini aku belum pernah memberikannya. Jangankan yang dua karat. Seperempat karat saja belum!
Selama menjadi istrinya, Angel tidak pernah minta apa-apa. Seolah-olah mendapat seorang suami, walaupun tanpa surat nikah, sudah merupakan anugerah baginya.
Bukan itu saja. Ada lagi nilai Lee Min Ho yang tak tergantikan.
"Terima kasih mau menjadi ayah Wang Suk Hyun, Lee Min Ho. Sejak lahir, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah."
"Aku juga berterima kasih kau mau memberikan kesempatan kedua padaku untuk menjadi seorang ayah, Angel."
Bagi Lee Min Ho, Wang Suk Hyun memang sudah menjadi pengganti anak kandungnya. Dia menyayangi Wang Suk Hyun seperti menyayangi Park Ji Bin.
Justru itulah alasan utama Kim So Eun menerima lamaran Lee Min Ho.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar