Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 07 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 2)



“Penjaga warnet?" telinga Song Seung Hun bergerak cepat.

Itu memang salah satu kelebihannya yang lain selain pandai melanjutkan usaha orangtua-nya. Kalau sedang waspada, daun telinganya bisa berkibas seperti si Doggie. Daun telinganya memang panjang dan besar. Kata ibunya, itu pertanda umurnya akan panjang. Tentu saja dia sendiri ragu kalau punya anak seperti Kim Bum.

Kim Bum satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya. Anak kebanggaannya. Permata hati ibunya. Putra mahkota yang sejak lahir sudah ditetapkan sebagai calon penggantinya. Penerus bisnis keluarga.

Meskipun sebenarnya kedua kakak perempuannya jauh lebih ulet dan lebih rajin. Mereka mewarisi bakat ayahnya sebagai pemimpin perusahaan yang tegas. Teguh memegang prinsip. Kadang-kadang tampil bengis. Tuntutan profesi. Pemimpin tidak boleh terlalu lembek, kan?

Tetapi justru Kim Bum-lah yang dipilih sebagai pengganti ayahnya. Padahal dia tidak pernah serius. Hidupnya selalu berfoya-foya. Dugem dan mobil balap lebih dikenalnya daripada rokok dan tembakau.

Hatinya juga terlalu lembut untuk menjadi pemimpin yang disegani. Dan dia lebih suka jadi pembalap daripada direktur.

"Kenapa bukan Yoon Eun Hye Nunna saja yang dipilih menggantikan Ayah?" protes Kim Bum ketika dia dicalonkan menggantikan ayahnya kelak setelah lulus menjadi sarjana ekonomi.

Yoon Eun Hye adalah putri Song Seung Hun yang sulung Lulusan commerce dari universitas terkenal di Sydney. Mengambil S2 di London.

Begitu terjun di perusahaan ayahnya, dia langsung membuktikan, uang kuliahnya tidak terbuang percuma. Dia punya otak seperti komputer. Dan tidak punya hati. Ayahnya boleh bangga punya penerus seperti dia. Sayangnya dia perempuan. Dan kursi direktur di perusahaan keluarganya selalu berjenis kelamin laki laki.

Adiknya Jung So Min, lulusan fakultas ekonomi jurusan akuntasi dengan IPK 3,91. Nilai tertinggi untuk angkatannya. Tapi dia pun tidak bisa menjadi orang nomor satu di perusahaan rokok keluarganya.

Mereka harus puas dengan menjadi orang nomor dua bagaimanapun andalnya mereka dan bagaimanapun sia-sianya adik bungsu mereka.

Karena terlalu dimanja oleh ibunya, Kim Bum tumbuh menjadi anak mama. Lembek. Tidak serius. Tidak tahan banting.

Dan karena dia putra kebanggaan ayahnya, sejak kecil, semua yang diinginkannya pasti diperolehnya. Tidak ada permintaan yang ditolak. Tidak ada keinginan yang sia-sia.

Waktu kecil, kamarnya penuh dengan mobil-mobilan. Setelah besar, mobil sport berdesakan di garasinya.

Ketika kecil, ibunya sendiri yang memandikannya. Setelah masuk sekolah dasar, ibunya pula yang membantunya memakai seragam. Kim Bum hanya tinggal tegak sambil merentangkan tangan. Dan baju masuk sendiri ke tubuhnya.

Waktu masih anak-anak, ibunya yang menyuapinya makan. Kim Bum hanya tinggal membuka mulutnya lebar-lebar. Setelah remaja, bergantian gadis yang rela menyuapinya makan. Asal bisa menjadi kekasihnya. Biarpun cuma untuk seumur jagung.

Tidak heran kalau Kim Bum jadi Pria favorit. Tampangnya yang imut-imut senyumnya yang inosen, mobilnya yang kinclong, merupakan daya tarik tersendiri.

Hidup nyaman Kim Bum baru tersendat ketika dia dikeluarkan dari universitas negeri tempatnya kuliah. Saat itu dia baru menginjak semester enam fakultas ekonomi jurusan manajemen. Dia terlibat balapan maut yang mencabut nyawa seorang teman kuliahnya. Dan balapan liar itu hampir menjebloskannya ke penjara kalau ayahnya bukan Song Seung Hun pemilik Shinhwa Group.

Akhirnya setelah kasusnya berhasil ditutup, Kim Bum dipindahkan ke Seoul. Melanjutkan kuliahnya yang setengah tahun terbengkalai di fakultas ekonomi sebuah universitas swasta. Kebetulan ayahnya dulu pernah jadi donatur di sana. Jadi tidak sulit memasukkan Kim Bum. Bahkan Park Jung Min, teman dan pengawalnya yang setia, ikut pindah.

Park Jung Min memang hampir tidak pernah lepas dari sisi Kim Bum. Kalau tidak disuruh pergi, tentu saja oleh Kim Bum, dia akan melekat terus seperti prangko.

Tetapi justru karena itu Song Seung Hun percaya penuh padanya. Tanpa kehadirannya di samping Kim Bum, barangkali Song Seung Hun dan istrinya tidak bisa tidur sepeninggal putra kesayangan mereka.

Ayah Kim Bum membelikan anaknya sebuah rumah mewah di Seoul. Terletak di kawasan elite. Punya sarana lengkap. Tentu saja ayah Kim Bum tidak mau putra kesayangannya itu terlantar.

Ayahnya juga melengkapi rumah itu dengan peralatan mahal dan canggih. Menyediakan dua orang satpam, tiga orang pembantu, seorang koki, seorang tukang kebun, dan seorang sopir. Pendeknya, Kim Bum tidak akan telantar di sana. Dan tidak akan lolos dari intaian ayahnya.

Dua puluh empat jam setelah Kim So Eun muncul di rumah Kim Bum, ayahnya sudah mendapat laporan khusus tentang dirinya. Lengkap dengan riwayat hidup dan sejarah masa lalu keluarganya.

"Apa tidak ada anak konglomerat, anggota DPR atau jenderal di sana, sampai segala macam tukang warnet diundang ke rumah?" geram ayah Kim Bum jengkel.

"Tenang saja, Ayah," hibur Jung So Min santai. "Paling-paling yang ini juga cuma koleksi pacar seratus harinya Kim Bum Oppa!"

* * *

Tadinya Kim So Eun sudah berbalik ingin masuk kembali ke dalam bajajnya. Ternyata alamat yang diberikan Kim Bum bukan alamat sebuah resto atau kafe, melainkan alamat sebuah rumah super mewah. Tetapi Kim Bum keburu keluar dan memanggilnya.

“Kenapa tidak jadi?" tanya Kim Bum sambil tersenyum. Geli melihat paras Kim So Eun yang berbaur antara kaget dan kesal. "Menyerah?"

"Ini tempatnya?"

“Ini tempatnya," sahut Kim Bum bangga. "Kau belum pernah kemari, kan?"

"Kau kira aku sales? Datang ke rumahmu menawarkan barang?"

"Jadi aku yang menang!"

"Karena kau curang.'" sergah Kim So Eun gondok.

"Curang katamu?" ini kan rumah, bukan restoran!”

"Siapa yang bilang aku akan membawamu ke restoran?"

"Di mana biasanya kau membawa kekasihmu makan?" "Tergantung siapa gadis itu.

"Dan kau berani bertaruh makanan di rumahmu lebih enak dan bergengsi? Gombal!"

"Eh, lihat dulu baru mencela! Cicipi dulu baru komentar!"

"Tidak mau! Aku tidak mau berurusan dengan tukang bohong! Tukang tipu! Curang!"

Kim So Eun sudah berbalik. Hendak masuk kembali ke taksinya. Tetapi taksi itu sudah pergi. Yang tegak di depannya Park Jung Min. Bukan taksi. Dia menghadang di sana dengan kedua lengan terlipat di dada. Kakinya terkangkang. Sikapnya menantang. Dan yang paling membuat Kim So Eun dongkol, dia masih memakai kacamata hitamnya. Tidak peduli sudah malam.

"Minggir!" bentaknya muak. Katanya Mahasiswa tapi lagaknya seperti bodyguard!

Tetapi Park Jung Min tetap saja tegak mematung di sana. Cuma perintah Kim Bum yang bisa menggerakkannya.

Kalau Kim So Eun berani menerjangnya, akan diangkatnya tubuhnya yang ramping itu. Dan digendongnya masuk ke dalam rumah.

Tampaknya harapannya tidak sia-sia. Kim So Eun memang akan menerjangnya. Dan Park Jung Min sudah menanti dengan harap-harap cemas. Tidak rugi menggendong seorang gadis manis, kan? Apalagi kalau dia galak dan selalu membentaknya sejak pertama kali bertemu!

Sayangnya, Kim Bum keburu menghalangi. Dan membuyarkan harapan Park Jung Min.

"Tunggu!" serunya sambil menahan tawa. Makin lama dia makin menyukai gadis galak ini. Dia selalu penuh semangat. Penuh tantangan. Penuh perlawanan. Diraihnya lengan gadis itu.

"Kau tidak boleh pergi sebelum melihat ruang makanku! Belum mencicipi makanannya!"

"Kau biasa memaksa orang?" desis Kim So Eun gemas.

"Tergantung siapa yang kupaksa!"

"Aku tidak bisa dipaksa!"

"Bisa karena kau masih terikat taruhan!”

“Taruhannya batal!” Kim So Eun mengempaskan tangan Kim Bum yang mencengkeram lengannya dengan sengit. "Karena kau curang!"

“Siapa bilang aku curang? Lihat dulu ruang makannya! Kalau kurang bergengsi, besok kubongkar!"

Dan melihat ruang makan yang lebih mewah dari semua restoran yang pernah disinggahinya, Kim So Eun menyumpah-nyumpah dalam hati.

Dengan hanya menekan berbagai tombol di remote control yang digenggamnya, Kim Bum bisa menurunkan tirai jendela. Menyalakan lampu. Bahkan menghidupkan home theatre. TV dan stereo set langsung keluar dari tempatnya bersembunyi. Musik disko yang berdentam-dentam mengiringi gambar pasangan yang sedang asyik bergoyang di layar televisi lima puluh dua inci. Membuat dahi Kim So Eun berkerut meredam sakit kepala.

"Bagaimana?" tantang Kim Bum sambil menyeringai bangga. Tidak suka musik disko? Lebih suka klasik? Biar ikannya berenang santai ke perut? Tidak meloncat-loncat menerkam usus?"

Sekali tekan tombol, Nessun Dorma-nya Pavarotti*) mengalun mengisi ruang makan. Gambar si gemuk berjenggot lebat itu muncul di layar.

*) Luciano Pavarotti, lahir di Modena, 12 Oktober 1935 – meninggal 6 September 2007 pada umur 71 tahun adalah seorang tenor berkebangsaan Italia. Dia memulai kariernya di musik pada tahun 1961 di Reggio Emilia. Pada tahun 2006 Pavarotti menyanyikan lagu Nessun Dorma di Olimpiade Musim Dingin 2006.

"Puas?"

"Sialan," desah Kim So Eun, terengah menahan napas.

Mendadak dia jadi ingin ke belakang. Maksudnya tentu saja ingin ke WC. Bukan ke belakang rumah. Entah mengapa disebut ke belakang. Kan tidak semua rumah punya WC di belakang? Kecuali kalau ada sungai di sana.

"Itu kata lain dari kau menyerah kalah, kan?"

Harus bilang apa lagi? Ruang makan ini sangat bagus. Mewah. Canggih. Luar biasa! Tidak ada komentar yang lebih pas selain... gila! Rasanya Kim So Eun hanya pernah melihatnya dalam film!

"Untuk apa membuat ruang makan semewah ini?"

"Untuk membuatmu kagum," sahut Kim Bum seenaknya.

"Untuk apa buang-buang uang seperti ini?" desis Kim So Eun penasaran.

"Yang dibuang kan uang sendiri. Bukan uang rakyat. Dan bukan hasil korupsi."

Kim So Eun belum sempat menjawab ketika dua orang pembantu membawa beberapa jenis makanan yang segera disajikan di atas meja. Melihat makanan sebanyak itu, Kim So Eun langsung merasa perutnya kenyang. Sekaligus mulas

"Aku harus ke belakang dulu," gumamnya malu. Wajahnya memerah. Tapi dia harus bagaimana lagi? Rasanya sudah hampir...

"Mau cari apa di belakang? Kerapu? Kodok? Keong? Kalau cuma seafood, tukang masakku bisa membuat. Tapi kalau siput, dia harus di kirim ke Prancis dulu!"

"Jangan bercanda! Antarkan aku ke WC!"

“Kan belum diisi kenapa sudah dibuang?"

"Kau punya WC tidak?" bentak Kim So Eun tidak sabar. Menghalangi orang ke WC melanggar hak asasi manusia!

“Yang paling canggih yang pernah kau lihat!"

Persetan yang paling canggih atau paling tradisional sekalipun! Yang penting ada lubangnya! Aduh. Kurang ajar sekali. Mengapa penghuni perutnya harus minta keluar sekarang juga? Mengapa tidak bisa memilih waktu yang lebih tepat?

Dan pemuda itu! Kenapa dia malah tersenyum-senyum? Jalannya juga santai sekali seperti tidak mengerti ada bom waktu yang hampir meledak...

Tetapi sesampainya di sana, Kim So Eun sadar, kali ini pun Kim Bum tidak berdusta, Kamar mandi merangkap WC itu lebih luas dari kamar tidur Kim So Eun. Begitu Kim So Eun tiba di depan pintunya, pintu itu langsung terbuka sebelum disentuh. Dan begitu dia masuk sambil meraba-raba dinding mencari tombol lampu, kamar mandi itu sudah terang benderang seperti ruang pesta. Karena lampunya sudah menyala begitu Kim So Eun melangkah masuk.

Sialan, maki Kim So Eun sambil menahan napas.

Dia menoleh sekejap ke cermin lebar di hadapannya. Dan tidak pernah terpikir olehnya, cermin itu merupakan kaca dua arah. Kim Bum dan Park Jung Min ada di baliknya. Menonton sambil tertawa-tawa geli.

"Noraknya!" cetus Park Jung Min untuk menutupi gejolak gairahnya. Sebentar lagi Kim So Eun akan membuka jinsnya dan menurunkan cd-nya....

Dan harapannya punah ketika tangan Kim Bum memijat tombol di dekatnya. Serentak kaca itu tertutup tirai baja tipis. Lenyaplah pemandangan yang sangat ditunggu-tunggu!

"Kenapa?!" cetus Park Jung Min kecewa.

"Bukan tontonan!" jawab Kim Bum tegas.

"Kenapa begitu?"

"Kalau mau nonton orang Buang Air Besar, sana pergi ke Sungai!"

"Tapi yang kualitas super seperti ini kan tidak ada!"

"Makanya dia bukan tontonan!"

* * *

Ketika Kim So Eun bangkit setelah membayar lunas utangnya, air langsung menyembur tanpa di flush. Dan yang membuat dia tambah kagum begitu dia bangkit, penutup kloset yang baru di dudukinya langsung berputar. Digantikan penutup yang baru.

Gila, dengus Kim So Eun kagum. Bukan main canggihnya. Rasanya tinggal semalam saja di sini dia benar-benar bisa gila.

Dia melangkah ke wastafel untuk mencuci tangan. Tidak ada keran yang bisa diputar. tapi ketika dia meletakkan tangannya di bawah keran, air mengalir dengan sendirinya.

Begitu air berhenti mengalir, mesin pengering tangan di sampingnya menderu. Kim So Eun hanya tinggal meletakkan tangannya seperti tadi. Dia merasa tangannya hangat. Tapi kaki nya dingin.

Manusia super macam apa yang mengundangnya makan ini? Rumahnya saja begini istimewa! Lebih baik cepat-cepat menjauh sebelum terbelit sensasi yang lebih gila lagi!

Seperti tadi juga, pintu langsung terbuka begitu Kim So Eun tegak di depannya. Dan lampu segera padam ketika dia melangkah ke luar.

"Penghematan listrik," seloroh Kim Bum yang sudah menunggunya di depan kamar mandi. "Bagaimana? Buang Air Besar sudah lunas?"

"Rasanya aku tidak bisa makan," sahut Kim So Eun lesu.

"Pasti. Mulai besok kau rugi besar. Ada orang yang akan pakai komputermu tiga jam gratis!"

"Siapa bilang kau sudah menang?"

"Eh, belum menyerah juga?"

"Belum tentu makananmu lebih enak dari makanan di kantin!"

Kim Bum tertawa terbahak-bahak. Matanya menatap Kim So Eun dengan tatapan melecehkan.

"Kau tahu siapa kokinya?" Kim Bum menyebutkan nama sebuah restoran terkenal. "Ayahku yang membayarnya! Kalau dalam sebulan berat badanku turun dua kilo, dia langsung dipecat!"

Dan sekali lagi Kim So Eun harus percaya, Kim Bum tidak bohong. Karena semua makanan yang disajikan benar-benar membangkitkan selera.

Park Jung Min sudah langsung duduk tanpa diundang. Dia sudah lapar sekali. Tetapi Kim Bum segera mengusirnya.

"Makan di dapur," katanya tegas.

"Kenapa begitu?" protes Park Jung Min kecewa. "Makanan sebanyak ini...."

“Tiga terlalu banyak," sahut Kim Bum tanpa dapat dibantah lagi.

Terpaksa Park Jung Min bangkit dari kursinya. Sebelum meninggalkan ruang makan, dia masih sempat melirik dongkol pada Kim So Eun.

Kim So Eun membalas lirikannya dengan judes. Mulutnya yang sudah separo terbuka untuk mencegah Park Jung Min pergi dikatupkannya kembali. Padahal sekejap tadi, dia merasa kasihan kalau pemuda itu harus makan di dapur.

"Kita mulai?" ajak Kim Bum sambil tersenyum. "Atau kau mau patroli ke WC lagi?"

Kim So Eun tidak menjawab. Dia memang sudah kehilangan separuh nafsunya untuk bicara, apa lagi setelah mencicipi makanan yang disajikan. Semua hidangan itu benar-benar lezat!

"Enak?" Kim Bum tersenyum bangga setelah Kim So Eun tidak sanggup lagi menyuap.

Kim So Eun memang sudah tidak mampu lagi melanjutkan makan malamnya. Belum pernah dia makan sebanyak ini. Rasanya perutnya sampi sakit.

Barangkali perutnya juga kaget. Belum pernah ususnya disuruh bekerja sekeras ini. Biasanya lebih banyak menganggurnya.

“Tiga jam gratis," sahut Kim So Eun tulus. "Kalau warnetku sedang sepi."

"Kenapa?!" Kim Bum tertawa gelak-gelak. "Kenapa ada syarat tambahannya?"

"Cuma bercanda,” sahut Kim So Eun lunak. "Kau boleh datang kapan saja."

"Itu baru benar." Kim Bum menyentuh tangan gadis itu dengan lembut. "Aku janji akan datang setiap hari."

“Tapi yang gratis cuma kalau sedang sepi,” Kim So Eun membalas tatapan pemuda itu dengan sama lembutnya.

Kim Bum begitu tergila-gila ditatap seperti itu. Heran. Mengapa dia keranjingan sekali melihat tatapan selembut itu bersinar di mata yang biasanya selalu bersorot judes?

"Boleh tukar hadiahnya?" tanyanya lunak.

"Enak saja! Hadiah yang sudah diambil tidak bisa dikembalikan!"

“Tapi hadiahnya belum diambil, kan? Gratisnya saja baru besok!"

“Tukar minggu depan? Boleh empat jam!"

"Curang!" Kim Bum menahan tawa. "Minggu depan libur semester! Warnetmu sepi!"

"Jadi kau mau tukar dengan apa?"

"Boleh mengajakmu nonton?"

"Kau yang bayar?"

"Biasanya pacarmu yang minta dibelikan karcis?"

"Aku belum punya pacar."

"Tidak heran," dengus Kim Bum lega. "Siapa yang berani mendekati gadis galak?"

"Kau sudah punya pacar?"

"Di setiap belahan dunia."

“Tidak heran. Mereka pasti melihat lembaran uang di wajahmu."

"Kalau kau sendiri? Apa yang kau Iihat?"

"Masa Depan Suram."

"Masa depanku suram kalau semua orang sudah tidak merokok lagi!"

“Takut hidung mereka berubah jadi cerobong asap?"

"Takut kena kanker paru!"

"Masa depanmu suram karena kau tidak pernah serius! Hidupmu cuma berfoya-foya."

"Tahu dari mana? Kenal saja baru dua hari!"

"Sebut saja namamu. Infonya lebih banyak dari Pangeran Charles."

"Aku memang bukan dia," Kim Bum menahan senyumnya. "Mana mau aku pacaran dengan nenek-nenek! Harus back-street, pula!"

"Jadi wanita seperti apa yang menjadi tipemu? ABG? Atau Tante Girang?"

"Yang sepertimu! Galak seperti Dobermann. Menggemaskan seperti chihuahual"

"Kurang ajar," geram Kim So Eun gemas. Tetapi entah mengapa sejak malam itu, dia sudah jatuh hati pada pemuda ini. Bukan karena dia Kim Bum pewaris tahta Shinhwa Group. Tetapi karena semua yang berada dalam dirinya. Mau nya yang selalu bercanda. Senyumnya yang kebocahan. Wajahnya yang imut-imut. Pandangan hidupnya yang selalu optimis dan serta menggampangkan. Bahkan sifatnya yang seenaknya sendiri dan tidak serius kini ikut menjadi daya tariknya!

Inikah cinta? Cinta yang membuat manusia jadi bodoh dan tidak dapat berpikir rasional?

"Seandainya kau bukan anak Song Seung Hun - pemilik Shinhwa Group," keluh Kim So Eun setiap malam. Ketika dia menyadari hatinya semakin hari semakin sulit dikendalikan oleh nalarnya. "Seandainya kau cuma Kim Bum Putra pemilik kedai Mi Ayam di depan kampus! Atau Kim Bum anak Satpam kampus!"

Tapi Kim Bum tetap Kim Bum. Siapa pun dia. Kim So Eun sudah jatuh cinta padanya.

Dulu hidupnya serba rutin. Datar. Monoton. Hanya diisi oleh belajar dan bekerja. Kini dia punya kesibukan baru. Karena setiap sore, Kim Bum menjemputnya. Begitu Kim So Eun menutup warnet-nya, Kim Bum sudah menunggu di depan. Pengawalnya yang pakai kacamata gelap itu juga ada di sana.

"Kenapa tidak masuk?" tanya Kim So Eun sambil mengunci pintu.

"Bosan. Tidak ada yang dilihat kecuali komputer. Enakan di sini. Banyak kupu-kupu lewat." Kim Bum menyeringai jenaka.

"Pulang?"

"Mau panggil Sutdon dulu. Ada yang rusak."

"Sutdon?"

"Teknisi yang biasa memperbaiki komputerku."

"Namanya keren. Tampan?”

"Lihat saja sendiri.”

"Orang apa? Blasteran?"

"Korea tulen."

Kim So Eun tersenyum. Dia melangkah keluar kampus. Kim Bum menjajarinya. Park Jung Min berjalan beberapa meter di belakang.

"Aku yang menjulukmya Sutdon. Itu ucapannya kalau dia menyuruhku mematikan komputer." Kim Bum tertawa geli.

"Orangnya pasti lucu."

"Dan baik sekali. Aku menyukainya."

"Jangan terlalu suka. Nanti ada yang cemburu."

"Siapa?"

“Yang jalan di sampingmu."

Kim So Eun merasa pipinya panas. Tapi dia pura-pura tidak dengar.

"Aku telepon dulu ya."

"Pakai saja ponselku."

“Tidak usah. Terima kasih! Pulasku masih cukup untuk menelponnya.”

"Setelah menelpon, kau kerumahku ya? Ada makanan istimewa malam ini."

"Seafood lagi?" keluh Kim So Eun segan. "Aku sudah bosan minum CTM."

"Makanan favoritmu."

"Tumis kangkung?"

"Sambal goreng pete!"

Sekali lagi Kim So Eun merasa wajahnya panas. Dari mana Kim Bum tahu dia suka pete?

"Kenapa harus malu?" goda Kim Bum sambil merangkul bahu Kim So Eun. "Pete makanan sehat!"

"Dan bau."

"Peduli apa? Sebau apa pun kau, aku tetap menyukaimu!"

“Tapi aku tidak suka mulutku bau kalau sedang mengobrol."

"Siapa yang suruh mengobrol? Kita bisa saling pandang sambil bertukar senyum saja sepanjang malam!"

"Siapa bilang aku mau menghabiskan malam di rumahmu?"

"Kenapa tidak?"

"Karena aku tidak mudah dibohongi!"

"Maksudmu," Kim Bum membuka pintu mobilnya untuk Kim So Eun. "Kau takut dibius dan..."

Kim So Eun membungkam mulut Kim Bum dengan tangannya. Kim Bum meraih tangan Kim So Eun dan mengecupnya dengan hangat.

Di pintu gerbang kampus, Park Jung Min mengawasi mereka dengan dahi berkerut.

Apakah Kim Bum sudah menemukan mainan baru? Mainan untuk seratus hari ke depan?

Tapi kenapa kali ini Park Jung Min punya firasat tidak enak? Kim So Eun bukan seperti gadis-gadis Kim Bum yang lain. Dia berbeda.

Rasanya sulit bagi Kim Bum melepaskan diri kalau sudah terjerat...

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...