Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 21 Mei 2011

Romance Zero (Chapter 18)



"JlKA aku bersumpah akan melakukan apa pun kehendakmu, jika aku mencium kakimu memohon ampun," desah Kim So Eun sambil menggigit bibir menahan tangis, "masih adakah harapan untuk membatalkan perceraian kita?"

Kim Bum hampir tidak dapat menahan air matanya ketika melangkah keluar dari kamar Kim So Eun. Kata-kata istrinya tak mau hilang dari telinganya.

Kim So Eun begitu sedih. Begitu putus asa. Begitu memohon.

Dia rela melakukan apa saja. Asal bisa membatalkan perceraian mereka. Asal diizinkan tetap menjadi istrinya. Tetap menjadi ibu bayi mereka.

Tetapi masalahnya bukan permohonan ampun. Karena sebenarnya sudah lama Kim Bum memaafkannya.

Kim Bum sendiri tidak menginginkan perceraian. Semakin lama dia semakin yakin, dia masih mencintai Kim So Eun. Masih menginginkannya menjadi istrinya. Apalagi sekarang. Setelah mereka punya anak. Ibu mana lagi yang lebih baik bagi anaknya selain ibunya sendiri?

Ketika melihat untuk pertama kalinya Kim So Eun menyusui bayinya, Kim Bum tidak mampu menahan keharuannya. Rasanya tidak ada pemandangan yang lebih indah dari pemandangan seorang ibu yang sedang menyusui bayinya. Dan dia tidak tega memisahkan mereka. Mencegah anaknya mengisap air kehidupan yang mengalir dari buah dada ibu kandungnya.

Jadi untuk apa bercerai? Untuk apa membuat bayinya merana? Untuk apa memisahkan Kim So Eun dari anak dan suaminya?

Tetapi bagaimana mengatakannya pada Ayah? Dia sudah berjanji akan membawa bayinya dan surat cerai.

Ayah pasti marah sekali. Tapi peduli apa? Bukankah selama ini dia memang selalu membuat ayahnya kesal?

Penikahannya dengan Kim So Eun sudah membuat ayahnya marah. Jadi apa bedanya kalau sekarang dia membuat Ayah marah sekali lagi?

Perceraian bukan masalah kecil. Masa depannya, masa depan Kim So Eun, bahkan masa depan anaknya, tergantung pada keputusannya saat ini.

Dalam keadaan bingung, malam itu Kim Bum kembali ke rumah sakit. Jam kunjungan sudah lewat. Tetapi Kim Bum tahu sekali cara untuk masuk ke bangsal bayi. Lama dia melekatkan wajahnya di kaca. Kaca yang memisahkan dirinya dari ruang bayi.

Lama dia memandang ke dalam. Ke bayi yang tergolek lelap di boksnya.

Itulah anaknya. Darah dagingnya. Buah hatinya. Setiap hari sejak dia lahir Kim Bum seperti tidak bosan-bosannya memandanginya. Setiap jam kunjungan dia melekatkan wajahnya di kaca itu. Berbicara dengan anaknya. Dan seperti masih belum percaya, makhluk mungil itu adalah darah dagingnya. Sebagian dirinya ada dalam diri bayi itu.

Dia menangis. Dia bernapas. Jantungnya berdenyut. Dia hidup!

Padahal suatu saat dulu dia hampir dibinasakan. Dilenyapkan. Kehadirannya hampir tidak diinginkan oleh ibunya sendiri.

Ayah yang menyelamatkanmu, Sayang, bisik Kim Bum lembut. Karena Ayah sangat menyayangimu.

Suatu saat dulu Ibu memang tidak menginginkanmu. Tapi sekarang dia sudah menyesal. Bagaimana kalau kita beri dia kesempatan kedua? Kau juga tidak keberatan kan, Sayang? Kau lebih suka susu ibumu daripada susu sapi, kan?

Kim Bum tersenyum sendiri. Dan perawat yang tegak di dekatnya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar Ayah muda. Baru punya anak. Jadi agak norak.

Coba dengar apa katanya tadi waktu minta izin melihat anaknya.

"Sebentar saja, Suster. Supaya malam ini saya bisa tidur. Lebih baik saya diizinkan melihat anak saya lima menit daripada minum lima butir obat tidur, kan?"

Tetapi sekarang sudah lewat lima belas menit. Waktunya sudah habis. Dan dia masih melekatkan wajahnya di sana seperti siput menempel di kaca!

"Besok lagi saja, Tuan," kata perawat itu sabar. "Kalau Tuan masih di situ juga, nanti bayinya bangun."

"Kenapa dia bangun, Suster? Saya kan tidak ribut."

"Bayi tahu kalau orang yang menyayanginya ada di dekatnya. Dia kan punya insting. Nanti dia bangun. Menangis. Kasihan, kan? Besok saja Tuan datang lagi. Besok anak Tuan dan ibunya sudah boleh pulang, kan? Nah, di rumah tuan bisa ajak bicara dia sepuas-puasnya.” Sampai pagi juga aku tidak peduli!

Besok Ayah datang lagi, Sayang, bisik Kim Bum sambil menatap bayinya dengan penuh kasih sayang. Kita akan bilang pada Ibu, kita sudah memaafkannya. Lalu kita akan pulang bersama. Dan tidak seorang pun bisa memisahkan kita.

Tidak seorang pun bisa memisahkan kita. Tidak juga Ayah.

Itu tekad Kim Bum ketika dia keluar dari rumah sakit. Dia hampir tidak sabar menunggu matahari terbit. Esok dia akan menemui Kim So Eun.

"Kita tidak akan berpisah. Kami sudah memaafkanmu."

Entah bagaimana reaksi Kim So Eun ketika mendengar kata-kata Kim Bum. Barangkali dia akan menangis. Perempuan selalu menangis, kan? Dalam senang dan susah. Seperti film India.

Tapi yang pasti, dia sangat bahagia. Sangat berterima kasih. Bersyukur karena diampuni dan diberi kesempatan kedua.

Cinta memang seperti itu. Selalu memaafkan. Tidak memendam dendam.

Barangkali Ayah juga begitu. Marah. Tapi tidak mendendam. Dan suatu hari, Ayah pasti memaafkannya. Suatu hari Ayah mengerti mengapa Kim Bum melakukannya.

Jadi malam itu juga, hampir tengah malam Kim Bum menelepon ayahnya.

"Aku berubah pikiran, Ayah. Kami tidak jadi bercerai. Ayah juga tidak tega anak-ku jadi anak piatu, kan?"

Kim Bum tidak mendengar jawaban ayahnya. Hanya mendengar suara telepon ditutup. Bukan ditutup. Dibanting. Dihempaskan dengan kasar.

Ayahnya pasti marah sekali. Tetapi Kim Bum tidak menyesal. Keputusannya sudah bulat. Esok pagi dia akan pergi ke rumah sakit. Membawa anak-istrinya pulang. Lalu dia akan mengajak mereka mengunjungi ayah-ibunya.

Mustahil mereka tidak jatuh hati pada anaknya. Dia lucu sekali. Mungkin perlu waktu lama untuk menyukai Kim So Eun. Tapi menyukai anaknya? Paling-paling butuh beberapa hari! Anaknya memang tidak cakap. Tapi dia lucu! Sangat menggemaskan!

Jadi pagi itu keputusan Kim Bum sudah bulat. Dia akan membawa istri dan anaknya pulang. Mereka tidak akan berpisah.

"Kami sudah memaafkanmu, Kim So Eun," itu kata-kata pertama yang akan diucapkannya begitu bertemu dengan istrinya. Lalu dia akan menyodorkan sebungkus tisu. Atau Kim So Eun lebih memilih dada suaminya? Di sana dia akan menumpahkan tangisnya?

Tetapi ketika Kim Bum tiba di Bagian persalinan pagi itu, Kim So Eun sudah tidak ada. Bayinya juga ikut lenyap.

"Mereka sudah pulang," kata perawat yang tadi malam menemaninya. Dia mengawasi Kim Bum dengan heran. "Masa Tuan tidak tahu?"

Aku memberi mereka waktu tiga bulan, pikir Kim Bum bingung. Karena itukah Kim So Eun pergi tanpa menungguku lagi? Bukankah dia tidak tahu aku sudah memaafkannya?

Bergegas Kim Bum menyusul Kim So Eun ke rumahnya. Tetapi rumah itu kosong.

Sudah dijual, kata tetangganya.

"Rumah sudah kujual untuk membayar biaya operasi." Itu kata-kata Kim So Eun kemarin.

Kim So Eun memang sudah melunasi semua tagihan rumah sakit. Barangkali dia enggan memakai uang ayah Kim Bum. Itu memang sifat Kim So Eun. Tetapi... ke mana dia pergi? Dia tidak punya keluarga. Di mana dia harus menumpang? Apalagi sekarang dia membawa seorang bayi!

Namun Kim Bum belum sempat mencari anak-istrinya. Karena saat itu juga dia mendapat telepon dari kakaknya.

"Lekas pulang, Kim Bum," suara Jung So Min terdengar sangat serius. "Tadi malam Ayah masuk rumah sakit. Stroke."

* * *

Tiga bulan Kim Bum menunggu kabar. Tetapi Kim So Eun tidak mengirim kabar sama sekali. Dia menghilang begitu saja. Lenyap bersama bayinya.

“Tidak tahu," kata Jung Yong Hwa sama bingungnya. "Dia tidak pernah kembali. Warnetnya ditinggal begitu saja."

Kim Bum merasa Jung Yong Hwa tidak bohong. Dia sama tidak tahunya dengan dirinya. Kim So Eun memang sengaja tidak memberitahu siapa pun. Supaya Kim Bum tidak dapat melacaknya. Dia kabur bersama bayinya. Menghilang entah ke mana.

Kim Bum merasa dibohongi. Hatinya sakit sekali. Lebih-lebih akibat teleponnya tengah malam buta itu, ayahnya mendapat serangan stroke. Mungkin Ayah marah sekali. Dan pembuluh darah otaknya pecah.

Ayah memang sudah lama mengidap tekanan darah tinggi. Tetapi Kim Bum tidak dapat menyingkirkan perasaan bersalah yang membebani hatinya. Ayahnya lumpuh gara-gara perbuatannya. Menyalahi janji yang sudah dibuatnya sendiri. Hanya demi Kim So Eun. Demi perempuan yang tidak dapat memegang janjinya. Perempuan yang telah mengkhianati kebaikannya.

"Semua gara-gara kau, Kim Bum." Seperti belum cukup perasaan bersalah yang menggayuti hatinya, Jung So Min masih menambahinya dengan beban yang lebih berat lagi. "Ketika kau menelepon, Ayah marah sekali."

Semua memang salahku, desah Kim Bum getir.

Tak terasa air mata menggenangi matanya ketika dia melihat ayahnya terbaring lemah di atas tempat tidur.

Ayah yang selalu tampil kokoh. Kuat. Garang. Berwibawa.

Kini dia terbaring tak berdaya bagaikan mayat. Mukanya pucat. Tak kuasa menggerakkan Separuh tubuhnya. Tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Di mana Song Seung Hun yang gagah perkasa? Yang menguasai hidup-mati ratusan karyawan di pabrik rokoknya?

"Ampuni aku, Ayah," bisik Kim Bum di tepi pembaringan ayahnya. Dia berlutut sambil mencium tangan ayahnya dengan air mata berlinang. "Suatu hari Ayah pasti mengerti mengapa aku melakukannya." Bibirnya bergetar ketika mengucapkan kata-kata itu. "Aku menyayangi anak kami seperti Ayah menyayangiku. Aku tidak mau dia kehilangan ibunya. Aku janji akan membawa mereka menemui Ayah. Kami akan berlutut memohon ampun. Tapi tolong, Ayah, tolong jangan biarkan kami berpisah. Kami ingin membina keluarga yang bahagia. Seperti keluarga kita."

Ayahnya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya pun tetap terpejam. Tapi dalam diamnya, Kim Bum percaya, Ayah dapat mendengar kata-katanya. Dapat memahami permohonannya. Mungkinkah kini Ayah mau mengabulkan permintaannya?

Kim Bum sudah berjanji akan membawa anak-istrinya untuk memohon ampun.

Tetapi kali ini pun Kim Bum tidak dapat memenuhi janjinya. Dia tidak dapat membawa mereka memohon ampun di depan orangtuanya. Karena Kim So Eun telah menghilang.

Sia-sia Kim Bum menunggu di depan bekas rumah mereka. Karena rumah itu telah dijual. Dan pembelinya tidak tahu ke mana Kim So Eun pergi.

"Seharusnya dari dulu kau sadar, perempuan itu cuma sampah.'" geram Yoon Eun Hye sengit

Dia kesal sekali ketika untuk kesekian kalinya Kim Bum tidak dapat memenuhi janjinya di depan ayah mereka. Gara-gara perempuan murahan itu Ayah lumpuh!

Yoon Eun Hye tidak pernah menyukai ayahnya. Seumur hidupnya dia selalu merasa diperlakukan tidak adil. Ayah lebih menyayangi adik bungsunya. Lebih memanjakan Kim Bum. Semuanya seolah-olah hanya untuk putra kesayangannya. Satu-satunya anak laki-Iakinya. Putra Mahkota Kerajaan Rokok-nya.

Tetapi tidak menyukai bukan berarti tidak menyayangi. Jauh di dalam hatinya, Yoon Eun Hye tetap mencintai ayahnya. Dan dia baru menyadarinya pada saat Ayah kehilangan kegarangannya. Kekuatannya. Kekuasaannya.

Justru pada saat ayahnya sudah menjadi manusia invalid, Yoon Eun Hye sadar, dia menyayanginya. Karena itu dia marah sekali pada adiknya. Karena itu pula dia mengabulkan permintaan ibunya untuk menikah. Padahal selama ini, mana pernah dia memikirkan laki-laki?

Jung Il Woo, satu-satunya pria yang dikaguminya, sudah meninggalkannya.

"Aku tidak tahan lagi, Yoon Eun Hye," katanya sebagai salam perpisahan. "Di sampingmu, aku selalu merasa bodoh. Merasa tak berharga. Tak berguna. Menghadapimu aku seperti berhadapan dengan komputer. Bukan calon istri."

Omong kosong, geram Yoon Eun Hye gemas. Itu cuma alasan basi! Alasan yang dicari-cari. Bilang saja terus terang, kau sudah bosan! Kau sudah menemukan gadis yang lebih muda. Lebih cantik. Lebih dungu! Lebih gampang dibohongi! Dasar laki- laki!

"Kabulkanlah permintaan ayahmu, Yoon Eun Hye," pinta ibunya untuk kesekian kalinya ketika ayahnya divonis lumpuh sebelah. "Permintaan yang tak pernah diucapkannya di depanmu. Dia ingin melihatmu menikah. Kabulkanlah keinginannya yang terakhir. Mumpung masih sempat."

"Tapi di mana aku harus mencari suami, Bu?” keluh Yoon Eun Hye kesal. "Aku kan tidak bisa membelinya di toko komputer atau di showroom mobil!"

"Kau tidak keberatan kalau Ibu yang cari?" Dicarikan suami? Aduh! Yoon Eun Hye tersinggung berat!

Dicarikan suami seperti Perawan tidak laku?

Bagaimana cara Ibu mencarikan suami untuk anaknya? Pasang iklan? Promosi dari mulut ke mulut? Menggunakan jasa mak comblang?

"Tidak usah," sergah Yoon Eun Hye gemas. "Aku bisa cari sendiri!"

Tapi mencari suami untuk wanita karier yang sukses berumur tiga puluh lima tahun tidak semudah mencari pekerjaan yang menantang. Atau mencari mitra kerja yang cocok. Atau karyawan yang bonafide.

Yoon Eun Hye sudah hampir putus asa ketika suatu hari dia bertemu dengan seorang pria yang pada pandangan pertama sama sekali tidak masuk nominasi.

Bae Soo Bin sudah berumur Empat puluh satu tahun ketika berjumpa dengan Yoon Eun Hye dalam sebuah seminar. Tidak ada yang membuat Yoon Eun Hye tertarik secara fisik. Tetapi pria itu teman diskusi yang sepadan. Mereka sama-sama sarjana ekonomi. Punya minat yang sama di bidang industri makanan dan minuman. Punya hobi yang sama pula di lapangan golf.

Ada satu hal lagi yang membuat Yoon Eun Hye tiba-tiba merasa tertarik kepada pria yang satu ini. Dia memiliki perusahaan air mineral dalam botol yang hampir bangkrut. Dan semangat Yoon Eun Hye tergugah untuk membangkitkannya kembali.

Lalu dia ingat permintaan ibunya. Dan semuanya berlangsung singkat. Mereka tidak perlu waktu lama untuk mengekalkan hubungan mereka dalam sebuah pernikahan. Karena Bae Soo Bin sangat mengagumi Yoon Eun Hye. Bukan fisiknya. Tapi kecerdasannya.

Lagi pula saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Jantungnya lemah. Ginjalnya bermasalah. Bae Soo Bin ingin secepatnya menikah. Supaya ayahnya masih sempat melihat istrinya.

Jadi Bae Soo Bin memberanikan diri melamar Yoon Eun Hye. Dan mereka menikah hanya tiga bulan sebelum ayah Bae Soo Bin meninggal.

Jung So Min menikah enam bulan setelah kakaknya. Tetapi dia menolak rencana suaminya untuk pindah ke Incheon. Dia ingin mendampingi adiknya memimpin perusahaan yang ditinggalkan ayahnya.

Memang sejak ayah mereka sakit, Kim Bum yang menggantikannya memimpin perusahaan. Dan dia sangat membutuhkan bantuan Jung So Min.

Setelah ayah mereka meninggal, Kim Bum juga mengajak kakak sulungnya untuk bersama-sama memimpin perusahaan mereka. Tetapi Yoon Eun Hye lebih tertarik mengelola perusahaan suaminya. Perusahaan yang sudah berjalan lancar tidak menarik minatnya lagi.
Tetapi perusahaan yang hampir bangkrut justru membangkitkan semangatnya. Seperti ada tantangan baru menghadang di depan mata.

Karena itu Yoon Eun Hye memilih mendampingi suaminya memimpin perusahaan mereka sambil tetap menjabat CEO di perusahaan minyak goreng. Dia menetap di Seoul. Jarang pulang karena kesibukannya.

Tetapi suatu hari tiba-tiba dia pulang ke rumah. Dia membawa selembar foto. Foto yang membangunkan Kim Bum dari mimpi buruknya.

* * *

Empat tahun Kim Bum memendam sakit hati. Dendam. Sekaligus rasa malu.

Dia merasa ditipu. Dibohongi. Dikelabui. Oleh wanita yang dicintainya. Orang yang sangat dipercayainya.

Memang hanya Yoon Eun Hye yang berani terang-terangan mengejek kebodohannya. Tetapi Kim Bum tidak dapat menyingkirkan perasaan itu dari hatinya. Semua orang mencemooh kebodohannya.

Ditipu perempuan. Dikelabui istri. Dasar lelaki bodoh! Lelaki lemah!

Lihat bagaimana cara pembeli rumah Kim So Eun menatapnya. Dia bukan hanya bingung karena Kim Bum datang mencari anak-istrinya. Dia tidak mengerti mengapa ada suami sedungu itu!

Ingat pula bagaimana sikap Jung Yong Hwa ketika Kim Bum mencari Kim So Eun ke kampus. Mula-mula dia memang ikut bingung. Tapi belakangan dia mencemooh.

"Memang dia tidak bilang mau pergi? Wah, suami macam apa kau ini!"

"Jadi lelaki harus tegas!" gerutu ibunya kesal. "Supaya tidak dilecehkan istri!"

Kalau ayahnya masih bisa bicara, entah cacian apa lagi yang diterimanya. Hanya Jung So Min yang tidak ikut memaki. Tetapi Kim Bum yakin, dalam hatinya kakaknya menyesalinya juga. Kau terlalu lemah sebagai lelaki! Makanya dikurang-ajari perempuan!

Siang hari Kim Bum menenggelamkan rasa malunya di balik kekerasannya sebagai pemimpin perusahaan. Dia tampil tegar. Garang. Sulit diajak kompromi.

Karyawan yang malas dipindahtugaskan. Yang tidak berprestasi di-PHK. Yang terlalu santai diberi peringatan keras.

Kim Bum semakin berubah tatkala tiga tahun kemudian ayahnya kena serangan stroke yang kedua. Kali ini dokter tidak berhasil menyelamatkan jiwanya. Song Seung Hun meninggal dalam pelukan istrinya. Di tengah-tengah anak-menantunya.

Ketika menyadari ayahnya sudah pergi, Kim Bum semakin didera perasaan bersalah. Ayah tak akan pernah sempat lagi melihat anaknya. Tak sempat lagi melihat Kim Bum menepati janjinya. Ayah sudah keburu pergi.

Sekarang apa pun yang dilakukan Kim Bum tak ada artinya lagi bagi ayahnya. Karena Ayah sudah tidak membutuhkan apa-apa lagi. Perceraian Kim Bum sekalipun tak dapat lagi membuatnya bahagia.

Jadi tak ada lagi yang dapat kulakukan untuk ayahku, sesal Kim Bum setiap saat. Kecuali melanjutkan kariernya sebagai pemimpin perusahaan. Memajukan pabrik rokok yang sudah menjadi Separuh hidupnya!

Karena itu Kim Bum menempa dirinya menjadi pengganti ayahnya. Dan untuk menggantikan ayahnya, dia harus mengubah sikapnya. Mengubah penampilannya. Mengubah sifatnya.

Tetapi jika orang-orang mengira perubahan sifatnya adalah titisan sukma ayahnya yang sudah meninggal, mereka keliru. Kim Bum berubah drastis sebagai reaksi pembelaan diri. Karena tanpa membungkus dirinya dengan tameng itu, dia sudah lama hancur.

"Dia sudah berubah," desis Jung So Min antara kagum dan heran kalau dia sedang menyaksikan adiknya memimpin rapat. "Dia berubah sangat cepat!"

Hanya Kim Bum yang tahu, kalau malam dia menjelma kembali menjadi Kim Bum yang emosional. Kim Bum yang memimpikan anaknya. Mendendam kepada istrinya. Sekaligus merindukannya.

Empat tahun dia memendam perasaan itu sampai suatu hari Yoon Eun Hye melemparkan sehelai foto ke atas meja tulisnya.

"Masih mengenali bidadarimu?" sindirnya sarkastis sekali. "Atau aku yang sudah harus ganti kacamata?"

Memang Yoon Eun Hye belum pernah melihat Kim So Eun. Tetapi dia sering melihat fotonya di kamar Kim Bum. Dan Yoon Eun Hye wanita yang sangat cerdas. Daya ingatnya kuat. Apalagi perempuan itu belum banyak berubah.

Rupanya hidupnya bahagia, gerutu Yoon Eun Hye sengit. Menipu sana menipu sini. Mengelabui setiap pria bodoh yang lewat di depannya! Makanya dia awet muda! Tampangnya hemat!

Bersambung…

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...