Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 17 Januari 2011

Tanah Warisan (Chapter 9)


Kim Bum menggeleng. "Tidak selalu ibu. Aku tahu, bahwa orang-orang yang memiliki ilmu tata bela diri, sering menyalahgunakan ilmunya. Orang-orang yang demikian itulah yang akan tersesat dalam kegelapan dan bahkan malapetaka.

Perempuan itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdiri dan melangkah mendekati anaknya yang duduk terpekur. "Kim Bum, apakah kau menyimpan dendam dihatimu atas kematian ayahmu?"

Kim Bum terperanjat. Diangkatnya wajahnya dan ditatapnya mata ibunya yang sayu. Kemudian dengan suara yang mantap ia berkata, "Tidak ibu. Aku tidak menyimpan dendam didalam hati. Apapun yang telah terjadi atas ayah, biarlah itu terjadi. Aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Ini bukan berarti aku tidak berbakti kepada orang tuaku. Tetapi tidak dengan cara itu aku akan menjunjung nama ayah dan keluargaku.

Seleret cahaya memancar dari sepasang mata yang tua itu. Tiba-tiba perempuan tua itu sekali lagi memeluk anaknya dan mencium keningnya. "Kau anak baik Kim Bum. Kau benar. Bukan begitu cara yang sebaik-baiknya untuk berbakti kepada orang tua. Dendam tidak akan menumbuhkan ketentraman didalam hati dan di dalam keseluruhan hidup ini.

"Ya ibu, begitu jugalah pesan orang tua yang memungutku menjadi anaknya dan sekaligus muridnya."

"Apa pesannya?"

"Aku harus berbuat sebaik-baiknya. Aku harus mengembalikan kewibawaan ayah dengan cara yang baik. Aku harus bekerja keras, memberikan suasana yang demikian, akan terhapuslah nama yang kurang baik dari ayah dan keluargaku. Seandainya ayah memang pernah berbuat salah, maka aku harus menebus kesalahan itu."

"Oh," ibu yang tua itu membelai rambut anaknya. "Kau adalah anak yang baik, nak. Kau adalah anak yang terlampau baik. Dengan demikian akan hilanglah coreng moreng dikening kita.

"Mudah-mudahan aku berhasil ibu."

"Mudah-mudahan," dan ibu yang tua itu kemudian melepaskan anaknya, sambil menghapus air matanya yang meleleh di pipinya yang sudah mulai berkeriput. Katanya sejenak kemudian, "Baristirahatlah nak. Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan seharian ini."

"Ya, aku memang lelah. Tetapi aku belum ingin tidur."

"O," ibunya menyahut. "Kalau begitu, aku harus merebus air lagi. Kita duduk-duduk sambil berbicara apapun. Namun kita harus menyediakan minum."

"Ibulah yang nanti menjadi lelah. Bukan aku. Karena itu, biarlah. Aku tidak terlalu haus."

"Ah," desis ibunya. "Biarlah aku merebuskannya untukmu. Untuk kedatanganmu."

Tetapi ketika perempuan tua itu berdiri, maka langkahnya menjadi urung. Bahkan dadanya menjadi berdebar-debar karena ia mendengar langkah kaki memasuki halaman dan naik ke pendapa rumahnya. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang.

Kim Bum pun telah mendengarnya pula. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah bertanya kepada ibunya, "Siapa mereka?"

Tetapi ibunya masih berdiri diam mematung.

Sejenak kemudian terdengarlah pintu rumah itu diketuk orang. Sekali, dua kali, kemudian berkali-kali dan semakin lama semakin keras.

Ny. Kim Sun Ah, bukalah pintu rumahmu," terdengar seseorang berteriak di luar pintu.

"Siapakah kalian?" tanya Ny. Kim Sun Ah.

"Bukalah pintu, kau akan mengenal siapa kami."

Ny. Kim Sun Ah menjadi ragu-ragu. Baru siang tadi orang-orang berkuda memasuki Desa Gwangju itu.

"Cepat Ny. Kim Sun Ah, supaya kami tidak usah merusak pintu rumahmu yang hampir roboh ini."

Dalam keragu-raguan Ny. Kim Sun AH memandangi wajah anaknya. Seolah-olah ia minta pertimbangannya, apakah yang sebaiknya dilakukannya.

Sejenak Kim Bum menjadi ragu-ragu. Namun kemudian dianggukkannya kepalanya.

Tetapi ibunya tidak melangkah menuju ke pintu rumahnya, tetapi ia meraih kepala anaknya sekali lagi sambil berbisik, "Jangan Kim Bum. Jangan berbuat apa-apa pada mereka. Aku kira mereka bukan orang-orang jahat yang siang tadi memasuki desa ini. Tetapi mereka adalah tetangga-tetangga kita yang baik, apapun yang akan dilakukannya."

"Aku tidak akan berbuat apa-apa ibu. Sudah aku katakan, aku tidak menyimpan dendam di dalam hatiku.

Ny. Kim Sun Ah melepaskan kepala anaknya. Kemudian melangkah perlahan-lahan menunju ke pintu. Perlahan-lahan pula tangannya yang lemah meraih gagang pintu dan membukanya kembali.

Begitu pintu rumah itu terbuka, maka beberapa orang laki-laki yang tegap dan beberapa orang anak-anak muda berloncatan masuk. Bahkan beberapa orang di antara mereka membawa senjata ditangannya.

"Ny. Kim Sun AH," kata salah seorang dari mereka, "Aku dengar, anakmu pulang kembali ke rumah ini."

Ny. Kim Sun Ah mengerutkan keningnya. Tanpa sadar ia berpaling ke arah Kim Bum yang masih duduk ditempatnya.

"O," orang itu menyambungnya. "Itukah anakmu yang bernama Kim Bum? Ia sudah cukup dewasa. Tubuhnya kekar dan utuh. Ia sudah pantas mewakili ayahnya untuk melepaskan dendamnya kepada kami."

Ny. Kim Sun Ah terperanjat mendengar kata-kata itu. Kim Bum pun tidak kalah terperanjat pula. Tetapi segera ia menekan perasaan itu. Sehingga ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...