Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 17 Januari 2011

Tanah Warisan (Chapter 10)


“Kalian salah,” Ny. Kim Sun Ah hampir berteriak. “Anakku sama sekali tidak membawa dendam. Ia pulang oleh kerinduannya kepada ibunya, kepada rumah dan halamannya dan kepada tanah kelahiran. Ia pulang karena ia mencintai semuanya itu. Sama sekali bukan diseret oleh perasaan dendam.”. Seorang anak muda melangkah maju sambil tertawa. Dipandanginya wajah Kim Bum yang kemerah-merahan oleh sinar lampu minyak yang redup. Kau banyak berubah Kim Bum. Tetapi aku masih tetap mengenalimu. Tetapi bukan saja kau yang tumbuh menjadi besar, tetapi anak-anak yang sebaya dengan kau, kawan-kawanmu bermain di Desa ini pun telah tumbuh pula sebesar kau.”

Kim Bum berpaling. Dilihatnya wajah anak muda itu sekilas. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri sambil menjawab, “Ya, kalian telah menjadi besar pula. Bahkan lebih besar dari aku.”

“Dan orang-orang tua kami disini sudah menjadi bertambah tua. Tetapi jangan kau sangka bahwa kau akan dapat membalas dendam kepada mereka. Sebab pada umumnya mereka pun mempunyai anak laki-laki seperti ayahmu mempunyai anak laki-laki.”

“Maksudmu, kalau aku ingin membalas dendam, maka aku akan berhadapan dengan anak-anak muda kawanku bermain dahulu?”

“Ya.”

“Kau keliru. Ibuku sudah mengatakan, bahwa aku sama sekali tidak pulang karena didorong oleh perasaan dendam. Apa yang dapat aku lakukan atas kalian disini. Aku hanya seorang diri. Bahkan seperti katamu, bahwa anak-anak muda disinipun telah tumbuh pula menjadi dewasa.

Apakah yang dapat aku lakukan? Pembalasan dendam bukan suatu penyelesaian bagiku. Aku tidak ingin hidup dalam kegelisahan seperti ayah. Aku ingin hidup tenteram bersama ibuku yang telah tua. Aku ingin berbuat sesuatu yang baik bagiku, bagi keluargaku dan apabila mungkin bagi Desa ini.

Tiba-tiba anak muda itu tertawa. Katanya, “Setiap anak yang menyadari dirinya, ingin berbakti kepada orang tuanya. Apakah kau tidak akan berbuat demikian? Apakah kau tidak ingin membuat ayahmu tenteram di alam baka dengan melepaskan sakit hatinya?”

“Aku tidak berpendirian demikian. Aku berpendapat bahwa arwah ayahku tidak akan dapat disucikan dengan darah. Tidak. Darah hanya akan menambah bebannya di alam baka. Karena itu, aku tidak akan berbuat bakti dengan cara demikian.

“Ada dua kemungkinan,” tiba-tiba sesorang berkata, “Kim Bum seorang anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada orang tuanya, atau ia mencoba menipu kami. Ia akan mencari kesempatan supaya kami menjadi lengah. Dalam kelengahan itulah ia akan dapat berbuat menurut kehendaknya.”

“Yang kedualah yang paling mungkin,” sahut suara yang lain. “Kalau ia benar-benar anak durhaka, yang tidak merasa perlu berbakti kepada ayahnya, ia tidak akan datang kembali ke Desa ini. Ia akan tetap tinggal di rantau, apapun yang akan terjadi.”

Kim Bum menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mencoba menjelaskan, “Aku mencintai ibuku. Aku mencintai kampung halaman. Karena itu aku kembali.”

“Ah,” seseorang yang bertubuh tinggi berkata, “Kita tidak perlu mendengarkan kicauannya. Kita mendapat tugas menangkapnya. Melawan atau tidak melawan. Kita bawa saja anak ini menghadap Kepala Desa. Terserah, apa yang akan dilakukannya atas anak ini.”

“Ya, itulah yang terbaik,” kata yang lain.

“Marilah, kita tangkap anak ini.”

Orang yang bertubuh tinggi itu maju mendekati Kim Bum sambil berkata. “Kita harus menangkapmu nak. Apakah kau akan melawan?”

Kim Bum memandang orang yang tinggi itu dengan sorot mata yang aneh. Bagi Kim Bum orang yang tinggi ini memang aneh. Sikapnya agak lain dengan kawan-kawannya, meskipun pada dasarnya, ia akan menangkapnya pula.

Sejenak Kim Bum tidak dapat menjawab. Namun kemudian terasa tangan ibunya meraba pundaknya, “Bukankah kau tidak mendendam?”

Kim Bum mengangguk, “Ya, aku memang tidak mendendam,” Kemudian kepada orang yang tinggi itu ia berkata, “Aku tidak akan melawan. Aku sama sekali tidak akan mampu melawan kalian.”

Belum lagi Kim Bum selesai bicara, seorang anak muda yang berkulit kekuning-kuningan, bermata tajam dan berwajah tampan menarik tangannya kemudian mendorongnya, "Ayo, kita pergi ke Kepala Desa."

Kim Bum terdorong beberapa langkah ke depan. Ketika ia berpaling, maka terdengar ia berdesis. "Kau Jang Geun Suk."

"Hem," anak muda itu menggeram, "kau masih ingat kepadaku."

"Tentu. Aku dapat mengingat hampir setiap anak disini."

"Kau ingat peristiwa yang telah terjadi?"

"Ya."

"Nah, karena itulah, maka kami akan menangkapmu. Jangan mencoba melawan. Ayo, berjalanlah sendiri tanpa kami dorong-dorong. Bukankah kau masih ingat jalan Desa ini?"

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...