Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 23 September 2010

Mendung Di Suatu Senja (Part 1)


Part 1
”Kisah Hidup Park Shin Hye”


Seraut wajah Oval muncul dari balik pintu. Park Shin Hye. Aku melempar senyum sembari meletakkan pulpen ke meja kecil di samping tempat tidurku.

”Ada apa, kau sakit Park Shin Hye?” Tanyaku menghampirinya. Park Shin Hye tidak menjawab. Didorongnya daun pintu hingga terbuka lebar, lalu duduk di pinggir tempat tidur. Keruh sekali wajahnya. Bibirnya yang tipis terkatup rapat. Sepasang mata beningnya dengan alis hitam lebat nampak muram. Entah problem apa lagi yang mengusiknya.

”Ada apa? Ditanya kok, diam?” Aku duduk di sampingnya. Hening. Park Shin Hye menunduk. Ada yang bergulir di kedua belah pipinya. Aku menghapus mutiara cair itu.

”Bebanmu tidak akan berkurang, kalau kau hanya menangis saja.” Kataku.

”Ayo, ceritakan saja. Aku siap mendengarkanmu.” Lanjutku.

Kembali hening, kembali ada yang bergulir pelan-pelan di pipi mulusnya tapi makin lama makin deras. Tangis tanpa suara, tanpa isak. Itu memang ciri khas Park Shin Hye. Atau, mungkin ia sudah tak mampu lagi terisak. Sudah jenuh karena dukanya seperti tak kunjung reda, kendati hidup dalam alam kemewahan. Kedua orang tuanya yang tak pernah rukun, kakak-kakaknya yang sibuk berhura-hura senantiasa menancapkan kuku-kuku kepedihan di lubuk hatinya. Kisah klise memang, tapi itulah realita. Itulah hidup yang harus dijalani Park Shin Hye.

Dan, ia tak mungkin menolaknya kecuali berusaha merubahnya. Tetapi mungkinkah itu? Apa yang bisa dilakukannya? Si bungsu yang tak pernah mencicipi manisnya kasih sayang orang tua. Si bungsu yang tak dipedulikan kakak-kakaknya. Sendirian sibuk berjuang untuk tetap berjalan pada jalur yang lurus agar tidak terperosok dalam lubang gelap yang kerap menggerogoti remaja-remaja dari keluarga broken home. Pasrah. Hanya itu yang bisa dilakukan Park Shin Hye.

Dan, bila segala duka tak sanggup lagi ia pendam, dicurahkannya padaku, sahabat satu-satunya yang dipercaya. Setelah tumpah ruah kerikil yang mengganjal hatinya, ia pun merasa lega... tenang. Selalu begitu. Sore ini, kehadirannya pasti seperti hari-hari lalu. Membawa cerita sedih untuk kusimak baik-baik.

”Rasanya aku ingin mati.” Kata pembukaan yang mengejutkan, Memecah kebisuan. Aku diam, memasang telinga lebar-lebar.

”Aku sudah tidak tahan lagi.” Park Shin Hye menyapu pipinya yang basah dengan tissue.

”Mereka mau bercerai. Mereka sudah gila...” Lirih suaranya hampir tak terdengar.

”Semalam Papaku pulang pagi lagi.” Lanjut Park Shin Hye masih dengan suara yang lirih.

”Mamaku yang sedang tidur, terbangun oleh suara pintu pagar yang dibuka Papa. Mama menegur Papa dengan kasar.” Park Shin Hye mulai dapat berkata lancar. Volume suaranya kini agak keras.

”Awalnya Papa pura-pura tidak mendengar tapi Mama mengomel terus. Papa jadi keael lalu menampar Mama dan...” Kembali Park Shin Hye berkata lirih.

”Mama minta cerai. Dan... Papa juga setuju. Yoon Eun Hye, kenapa aku harus dilahirkan oleh orang tua seperti mereka? Orang tua yang tidak pernah mau mengerti kebutuhan anaknya. Orang tua egois yang hanya bisa menunjukkan pertengkaran demi pertengkaran di hadapan anak-anaknya.” Sudut mata Park Shin Hye mulai basah lagi, mencurahkan aliran bening untuk yang ke sekian kalinya.

”Jangan bicara seperti itu, Park Shin Hye.” Kataku sambil membelai rambut hitamnya.

”Sebelum kita lahir, Tuhan sudah menentukan siapa yang akan menjadi orang tua kita. Jadi, kita harus menerima mereka apa adanya. Bagaimanapun juga mereka tetap orang tuamu, Park Shin Hye.” Lanjutku.

”Tapi mereka egois, Yoon Eun Hye!” Sela Park Shin Hye dengan suara keras.

”Mereka tidak pernah mencintaiku!” Teriaknya lagi.

”Siapa bilang?” Sergahku cepat.

”Semua orang tua pasti mencintai anaknya. Aku kan udah bilang itu berulang kali.” Lanjutku.

”Kalau mereka mencintaiku, kenapa harus bercerai?” Park Shin Hye menatapku sedih.

”Belum cukup mereka menyiksa batinku? 17 tahun hidup tanpa kasih sayang dan perhatian, Sekarang mereka malah berpisah hanya untuk memuaskan amarah. Tanpa peduli pada kita, anak-anaknya. Hah! Orang tua macam apa itu?” Kepala mungil Park Shin Hye merunduk.

Aku menghela nafas panjang. Tak tahu apa yang harus kukatakan untuk meringankan beban Park Shin Hye. Rasanya sudah terlalu sering aku menasehatinya, menghiburnya dan 1001 ’me’ lainnya. Tapi problem yang dihadapinya memang pelik. Papa dan Mamanya adalah korban kawin paksa. Mereka dijodohkan orang tua masing-masing. Padahal, mereka sudah memiliki pujaan hati. Tetapi, rasa cinta dan hormat pada orang tua, memaksa mereka untuk menikah dengan pilihan orang tua. Akibatnya, sepanjang usia perkawinan mereka selalu diwarnai pertengkaran. Begitu cerita Park Shin Hye padaku. Park Shin Hye tahu semua kisah orang tuanya dari diary mamanya yang tak sengaja ditemukannya.

”Park Shin Hye, kau harus tabah ya?” Kataku kemudian.

”Anggap saja semua itu kerikil kecil yang menghalangi jalan kehidupanmu. Lanjutku.

”Aku capek, Park Shin Hye.” Jawab Park Shin Hye pelan. Disandarkannya kepalanya di bahuku. Aku membelai rambutnya.

”Untung saja ada kau yang selalu mendengarkanku. Kalau tidak, mungkin sekarang aku sudah minum racun, Yoon Eun Hye.”

”Jangan Park Shin Hye...” Aku mendorong tubuh Park Shin Hye pelan.

”Aku akan membencimu seumur hidupku, Jika kau melakukan itu.”

”Tenang saja, aku tak sedepresi itu.” Jawab Park Shin Hye sambil tersenyum. Aku pun ikut tersenyum lega.

”Syukurlah!” Kataku.

”Sekarang sudah jam 8 malam. Kau belum makan kan, Park Shin Hye? Makan bersamaku saja yuk!”

”Kebetulan, aku sudah lapar sekali.” Park Shin Hye menepuk perutnya. Mendung di wajahnya sirna entah kemana. Dia memang sangat senang jika kuajak makan bersama dirumah karena di rumahnya suasana makan bersama tidak pernah terjadi. Ah, Seandainya mendung itu benar-benar berlalu... Tapi kapan???

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...