Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 30 April 2011

Surat Balasan Salah Alamat (Prolog)



Prolog

Tugas-tugas rutin pagi hari itu belum lagi selesai dikerjakan, ketika tiba-tiba nada panggil dari interkom memecah keheningan ruang kerja Lee Joon Ki. Suara yang terdengar sangat tidak merdu, cenderung kasar, apalagi keluar lewat speaker dari alat yang terhitung kuno. Suara Lee Joon Hyuk, bos besar dan satu-satunya di kantor itu.

“Lee Joon Ki! Kau di situ? Cepat naik!”

“Ya, Paman.”

Lee Joon Ki beranjak dari meja kerjanya dengan langkah cekatan, layaknya bawahan pada umumnya. Setengah berlari ia menaiki tangga menuju ke ruang atas. Ruangan besar berukuran 10 x 8 m yang selalu tampak rapi itu merupakan tempat bekerja dan disebut kantor oleh Lee Joon Hyuk. Wajah si bos dilihatnya sudah tidak sedap dipandang mata.

“Lee Joon Ki, kenapa ini bisa sampai di mejaku?” kata Lee Joon Hyuk sambil melemparkan secarik kertas ke hadapan Lee Joon Ki.

“Kenapa saya harus diganggu dengan persoalan-persoalan seperti ini?”

Secarik kertas putih bergaris itu adalah surat dari salah seorang penggemar Lee Joon Hyuk.

Sebagai pengarang cerita-cerita kriminal, Lee Joon Hyuk mendapat bermacam-macam surat dari pembacanya, meski jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun, Lee Joon Hyuk cuma membaca surat-surat yang berisi pujian-pujian saja dan salah satu tugas Lee Joon Ki adalah menyingkirkan surat yang isinya tidak mengenakkan. Kali ini Lee Joon Ki lalai memisahkan surat yang satu ini.

Sedikit kasar, Lee Joon Hyuk menaruh penanya di meja.

“Kalau saya tidak bisa mempercayaimu, saya harus memecatmu. Masa’ mengurus surat-surat begini saja tidak becus. Apa kau masih bisa dipercaya?”

“Tentu saja, Paman. Sa... saya hanya membalas surat-surat dengan pernyataan-pernyataan biasa. Saya juga tidak tahu mengapa ada yang bernada negatif,” kata Lee Joon Ki tergagap. Ia benar-benar menyesali keteledorannya sehingga harus menikmati “sarapan pagi” dampratan bosnya. Benar-benar ceroboh, pikirnya.

“Seseorang yang bernama Rain Bi, sepertinya yakin ada konspirasi dari gerakan komunis tertentu, atau apalah namanya, yang aku tidak mengerti,” kata Lee Joon Hyuk sambil memandangi puluhan surat yang bertumpuk di hadapannya. “Sepertinya, ia mengira aku sama dengan karakter yang aku ciptakan. Sampai-sampai ia mengajak makan malam segala. Benar-benar aneh.”

Tak ada reaksi. Pada situasi seperti itu Lee Joon Ki hanya bisa berdiri mematung dan menunggu kalimat berikutnya dari Lee Joon Hyuk. Sifat orang itu memang tidak suka dibantah atau dipotong kalimatnya saat berbicara.

“Apakah aku sering menerima surat-surat seperti ini?” Mata Lee Joon Hyuk tiba-tiba mendelik. “Ada satu atau dua, Paman. Tidak banyak.”

“Aku tidak mau melihat surat-surat seperti ini lagi. Aku juga tidak mau bertemu dengan penulisnya. Kirim saja balasannya dengan sopan. Ingat! Harus dengan sopan, tetapi juga harus berupa balasan pribadi.”

“Baik, akan saya kerjakan, Paman. Ini tidak akan terjadi lagi.”

“Bagus.”

Lee Joon Ki mengangguk meminta diri. Masih setengah tertunduk, ia melangkah kembali ke ruangannya, di kantor yang terasa begitu hening. Pada saat-saat seperti itu, kadang Lee Joon Ki merenungi nasibnya yang harus mengabdi kepada Lee Joon Hyuk, yang tak lain adalah pamannya sendiri.

Hubungan kekeluargaan itu kerap jadi beban, di samping rutinitas kerja selama bertahun-tahun, serta tekanan-tekanan karena menjadi pekerja satu-satunya. Sejauh ini, hanya kesabaranlah yang membuatnya tetap bertahan.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...