Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 28 April 2011

Luka Hati (Chapter 4)




“Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti, karena tiap kali diajak konseling Lee Hong Ki selalu diam. Kalaupun bicara, dia sering tidak terarah pada pertanyaan yang diajukan. Baru kali ini aku mendapat cukup banyak informasi darimu, dan itu sangat membantu. Aku menduga kalau Lee Hong Ki mengalami dualisme. Di satu sisi ia begitu menyayangi ibunya yang cantik, mendambakan kasih dan belaian yang sedari kecil belum pernah ia dapatkan, dan berharap ibunya mau memaafkan dan menerima kehadirannya. Di satu sisi yang lain, ia membenci ibunya amat sangat, karena sudah mencampakkan, menolak, dan berkhianat pada keluarga. Melihat sendiri adegan perselingkuhan ibunya, sangat membuat Lee Hong Ki terguncang. Walaupun neneknya bercerita tidak ada keganjilan pada Lee Hong Ki, guncangan itu pasti ada,” tutur Wang Ji Hye sambil memandangku lekat.

“Tentang pemukulan Park Shin Hye itu, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Kalau aku tidak salah tangkap mendengar ceritamu, sepertinya Lee Hong Ki itu sedang memasuki usia puber. Jangan lupa, dia sudah 17 tahun, dan mulai menyenangi lawan jenis. Kali ini gadis pilihannya jatuh pada Park Shin Hye. Di benaknya, Park Shin Hye yang cantik itu mirip dengan sang ibu. Ia ingin bisa lebih dekat dengan Park Shin Hye, sama seperti ia ingin lebih dekat dengan ibunya sendiri. Karena itu bisa dimaklumi kalau ia sangat marah melihat gadis pujaannya dekat dengan lelaki lain, di depan matanya. Bayangan perselingkuhan ibunya lima tahun yang lalu, begitu kuat mencengkeram sehingga ia sukar membedakan apa, siapa, dan kenapa. Secara refleks Lee Hong Ki bertindak, dan memukul Park Shin Hye. Bentuk pelampiasan kemarahannya pada sang ibu ditujukan pada gadis itu, tapi itu tidak berani ia lakukan pada ibunya sendiri.”

“Jadi sebetulnya, dia itu cinta sekaligus benci pada ibunya?”

Wang Ji Hye mengangguk,”Kurang lebih begitu.”

“Aneh.”

“Hubungan Lee Hong Ki dengan orang rumah lainnya, bagaimana?” tanya Wang Ji Hye.

“Ayahnya? Tahu sendirilah. Tipe ayah yang tidak mau tahu perkembangan anaknya, sibuk cari uang dari pagi sampai malam. Tidak heran kalau Lee Hong Ki sangat kacau dalam pelajaran. Di rumahnya tidak ada yang menolong dia belajar. Neneknya sama juga. Kasar, pemarah, dan juga tidak bisa mengawasi cucu-cucunya setiap hari. Paling dia hanya mampir untuk memasak makanan, selebihnya urusan pembantu.”

“Produk keluarga masa kini,” cetus Wang Ji Hye lalu kembali menyendok makaroni di piring. “Tambah lagi! Masih banyak di dapur,” katanya. Hm…tawaran yang sulit ditolak. Aku beringsut maju dan mengambil lagi sepotong.

“Pulang dari sini, siap-siap jalan kaki untuk membakar kalori dari makaroni yang kau makan,” seloroh Wang Ji Hye yang tahu aku paling ribut kalau perutku maju.

“Kemarin waktu aku tanya, apa yang dia sukai di sekolah ini jawabnya karena dia suka dengan teman-teman. Kalau memang dia suka, kenapa dia selalu membuat keributan, ya? Itu kan malah membuat semua orang kesal padanya.”

“Mungkin karena dia ingin cari perhatian. Dia ingin punya banyak teman, tapi tidak tahu caranya. Jadi dipakailah cara-cara yang konyol seperti itu, membuat sesuatu yang dia pikir sangat lucu, tapi buat orang lain sangat menjengkelkan.”

“Lee Hong Ki itu idiot ya?” Tanyaku pada Wang Ji Hye.

“Bukan idiot, tapi kurang cerdas. Kalau anak biasa sanggup mengerjakan soal 5 menit, dia harus diberi waktu beberapa kali lipat.”

“Soal bicara dan gaya jalannya yang seperti banci itu….”

“Perlu lebih banyak observasi lagi,” tukas Wang Ji Hye lalu menoleh ke dinding.

“Mau pergi, ya?”

“Ada janji makan siang dengan teman,” Wang Ji Hye meraih sisir dan menyisir rambut pendeknya.

“Wah, kemajuan sekarang. Biasanya kalau hari Minggu begini, acaramu cuma baca buku dan memasak,” usikku sambil turun dari ranjang.

“Jangan cerewet! Bawa pulang semua, makaroninya!”

“Wang Ji Hye, aku minta tolong sekali lagi.”

“Apa?”

“Soal keluarnya Lee Hong Ki dari sekolah. Rapat guru Senin besok akan memutuskannya.”

“Lalu?” Wang Ji Hye asyik mematut diri di depan cermin.

“Biasanya Mr. Bae Yong Jun paling suka mendengar saranmu. Bisakah kau memintanya untuk….ehm, maksudku begini. Terus terang, aku tidak tega melihat Lee Hong Ki dikeluarkan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya. Aku melihat kegembiraan yang besar waktu aku membohonginya kemarin.”

Alis Wang Ji Hye terangkat,”Maksudmu?”

“Aku belum menyerahkan surat dari Mr. Bae Yong Jun kemarin. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, masa aku harus menyerahkan surat sepenting itu pada neneknya yang tidak simpatik? Mestinya kau lihat sikap Lee Hong Ki kemarin, Wang Ji Hye. Dia begitu gembira waktu aku meyakinkan bahwa dia tidak dikeluarkan. Dia melompat, dia memegang tanganku, dia berlari dan berteriak! Begitu gembiranya. Aku tahu bahwa sekolah mempunyai nilai yang besar untuk Lee Hong Ki, dia senang tetap sekolah lagi. Dan aku pikir, kau dan aku bisa membuat keinginannya itu tercapai. Kau tadi bilang kalau jiwanya terguncang, dan aku yakin soal tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah itu juga punya andil besar bagi keguncangan jiwanya. Apakah sekarang kita harus menambah lagi luka batinnya, setelah semua kepahitan yang dia alami? Apakah kita tega mengambil harapannya yang cuma sedikit itu, dan melihatnya kembali terpuruk?”

“Apa yang bisa kita lakukan, Jang Na Ra sayang? Bukan aku yang jadi penentu. Aku tahu dedikasimu, keloyalanmu, perhatianmu untuk murid, tapi… aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf,” Wang Ji Hye mendekatiku dan mengusap bahuku perlahan.

“Sebelum rapat Senin nanti, kita bisa menghadap Mr. Bae Yong Jun dan menceritakan apa yang kita tahu. Kau harus membantu Lee Hong Ki, Wang Ji Hye! Cuma omonganmu sebagai konselor sekolah yang mau didengar Mr. Bae Yong Jun. Setelah itu, kita minta supaya Lee Hong Ki diberi waktu beberapa bulan agar kita bisa mendekatinya. Syukur kalau kita bisa menolongnya agar kelakuannya berubah. Dia butuh pertolongan, Wang Ji Hye, itu yang dia butuhkan! Bukan surat pemecatan sekolah!”

“Aku tidak tahu apakah….”

“Ayolah, Wang Ji Hye! Kau tahu bagaimana rusaknya kondisi Lee Hong Ki, kau lebih tahu dari aku. Apakah kau bisa menyaksikan orang yang sudah jatuh tertimpa tangga pula? Keluar dari lubang singa masuk ke mulut harimau? Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan Lee Hong Ki di sekolah kita, Wang Ji Hye!”

Wang Ji Hye terdiam lalu meghela napas. “Kenapa kau ngotot sekali? Kenapa dia jadi begitu istimewa buatmu?”

Aku mengambil tas sambil menggelengkan kepala, aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin mimpi beberapa malam kemarin sangat membekas dan mempengaruhi penilaianku pada Lee Hong Ki. Lalu kuceritakan sekilas tentang mimpi itu.

“Bukan aku menjadikannya istimewa. Pertama kali aku juga bersikap seperti kebanyakan guru lain, jengkel dan muak. Tapi lalu aku sadar, itulah alasan kenapa aku ingin menjadi guru. Untuk menunjukkan kepada murid-muridku hal yang benar dan tidak, bukan cuma ilmu hitung atau baca tulis agar mereka jadi sarjana. Juga untuk memberikan bekal supaya mereka punya nilai lebih di masa depan. Bisakah kau bayangkan, nilai lebih apa yang bisa Lee Hong Ki raih kalau setiap kali ia harus dibuang oleh sekolah yang berlainan, karena orang beranggapan dia adalah sampah. Bagaimana dengan masa depannya, yang tanpa ia sendiri minta sudah terluka karena kondisi keluarganya? Alangkah berdosanya kita Wang Ji Hye, yang tahu sesuatu tapi tidak melakukan apa-apa untuk membantunya….” aku menatap Wang Ji Hye yang berdiri mematung.

“Kau memang guru yang baik, aku akui itu. Oke, temui aku di ruang konseling Senin nanti sebelum rapat mulai. Aku akan menemanimu menghadap Mr. Bae Yong Jun. Oke Nona manis, puas? Sekarang kau bisa membiarkan aku dandan dengan tenang, ‘kan?”

“Terima kasih, Wang Ji Hye! Kau memang bisa diandalkan!”

Dengan mengerahkan segenap kosakata yang dimilikinya, Wang Ji Hye membantuku berusaha meyakinkan Mr. Bae Yong Jun tentang kondisi Lee Hong Ki. Senin pagi itu, sekolah diliburkan karena ada rapat guru. Selain membahas materi kurikulum baru, salah satu agenda pentingnya adalah membicarakan tentang keputusan apakah Lee Hong Ki tetap berstatus sebagai murid SMA Shinhwa atau tidak.

Mr. Bae Yong Jun mendengarkan dengan tenang, sambil sesekali menyeling dengan pertanyaan. Raut mukanya tak bisa kubaca.

“Jadi yang kalian usulkan adalah....”

“Sekolah memberikan kesempatan beberapa waktu lagi kepada Lee Hong Ki untuk memperbaiki diri, mungkin dengan beberapa pendekatan kita bisa membantunya bersikap lebih baik,” aku langsung menyambar.

“Berapa lama? Kalian sendiri tadi mengatakan kalau luka kejiwaan yang dialaminya mungkin sudah mengendap bertahun-tahun dan cukup berat, dan tidak cukup waktu sebulan dua bulan untuk memulihkannya. Dan selama waktu itu pula, Lee Hong Ki tidak bisa diharapkan 100% tidak membuat keributan seperti yang sudah-sudah. Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensinya? Berarti masalah akan terus timbul, ‘kan? Bagaimana dengan murid-murid Anda, Mrs. Jang Na Ra? Mereka pasti terganggu dan akan telantar karena Anda harus bolak-balik mengurusi Lee Hong Ki. Bagaimana dengan guru-guru yang lain? Mereka juga membutuhkan suasana yang tenang untuk mengajar. Lagi pula kalau memang sudah kalian analisis masalahnya, tinggal beri tahu saja orang tuanya untuk membawa Lee Hong Ki periksa ke psikolog atau apalah itu. Bukan kita yang harus repot-repot, ‘kan?”

Aku dan Wang Ji Hye saling berpandangan, lalu aku berujar pelan, “Tapi di sekolah, Lee Hong Ki milik kita, Mr. Bae Young Jun. Kita yang harus merawat dan membesarkannya sebagai anak. Ehm, saya rasa, kita harus berani mencobanya, berani memberinya kesempatan. Anak itu sekarang butuh dorongan dan kepercayaan, bukan penghakiman seperti yang sudah diterimanya selama ini. Dan usaha untuk membantunya membutuhkan kerja sama di antara kita, karena ia murid yang dititipkan kepada kita.”

Mr. Bae Yong Jun membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna tawaran kami, lalu katanya, ”Tiga bulan saya pikir cukup sebagai bentuk toleransi sekolah. Setelah itu, saya akan mengevaluasinya berdasarkan laporan Anda sebagai guru kelasnya.”

Tak ada kegembiraan yang melebihi rasa gembiraku saat ini. Tanpa sadar aku berdiri lalu menyalami tangan Mr. Bae Yong Jun sampai berguncang-guncang sebagai tanda terima kasih. Akhirnya aku bisa memberitakan kabar baik itu kepada Lee Hong Ki hari ini.

Sepulang sekolah, kuhampiri Lee Hong Ki yang sedang menunggu di pelataran parkir.

“Hei Lee Hong Ki, tunggu dijemput, ya?” sapaku.

Lee Hong Ki tampak terkejut, kepalanya sedikit mengangguk.

“Hari ini kau pendiam sekali di kelas, kenapa? Sedang tidak enak badan?”

Lee Hong Ki hanya diam. Beberapa pertanyaan basa-basi kuajukan lagi, tapi jawabannya juga anggukan atau gelengan saja.

“Es krim yang kemarin itu enak sekali, ya? Saya jadi ingin membelinya lagi.”

“Memang enak, Makanya Mrs. Jang Na Ra main lagi saja ke rumah saya,” katanya dengan mimik berharap. Nah, ini dia, jawaban panjang yang akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Memangnya saya boleh sering-sering main?” tanyaku balik, sambil menawarkan cokelat. Diambilnya sepotong.

“Tentu saja, boleh! Nanti kita makan es krim lagi, sekarang es krim rasa vanilla! Kan kemarin es krim cokelat. Kapan, nanti sore, ya? Nanti saya kenalkan dengan Minho, adik saya.”

Aku tersenyum lalu menjabat tangannya tanda setuju. Lee Hong Ki melambaikan tangannya dengan bersemangat, lalu berseru sambil naik ke mobil, ”Betul ya, nanti sore!”

Aku harus mulai belajar mendekatkan diri dengan Lee Hong Ki, keputusan yang kuambil setelah mengonsultasikan masalah ini lebih lanjut dengan Mr. Bae Yong Jun dan Wang Ji Hye. Di luar dugaanku, Mr. Bae Yong Jun cukup tanggap dan mendorongku untuk lebih aktif masuk dalam kehidupan Lee Hong Ki. “Dia sudah percaya kepada Mrs. Jang Na Ra. Satu hal yang tidak bisa dia lakukan pada orang lain,” kata Mr. Bae Yong Jun tadi.

Yang kupikirkan, bagaimana aku menolongnya supaya beban jiwanya bisa diperingan. Aku bukan orang yang paham tentang ilmu jiwa, tapi menganjurkan ayah Lee Hong Ki untuk membawa anaknya berkonsultasi dengan psikolog tentu merupakan hal yang memalukan bagi keluarga itu. Maaf Tn. Song Seung Hun, sebaiknya Lee Hong Ki diperiksa oleh psikolog karena gangguan jiwa yang dideritanya. Sebuah pukulan telak. Jadi sementara ini satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah dengan mengambil posisi menjadi sahabat Lee Hong Ki yang bisa dipercaya. Wang Ji Hye juga sudah menjadwalkan pertemuan rutin dengan Lee Hong Ki dua kali seminggu, khusus untuk memantau perkembangannya.

Bulan-bulan berikutnya, ia sudah bisa lebih terbuka padaku. Mulai banyak bercerita tentang pelajaran, makanan kegemaran, adiknya, atau hobinya bermain komputer. Tapi tak ada satu pun cerita tentang Ibu dan Ayahnya. Kelakuannya agak berubah dan lebih bisa dikendalikan, walaupun begitu sebagian besar teman sekelasnya masih enggan untuk mendekat. Memang ia masih sering berbuat jail, tapi kadarnya sudah tidak separah dulu. Keluhan dari guru lain juga mulai berkurang.

Tak terasa waktu tiga bulan yang diberikan Mr. Bae Yong Jun sudah lewat beberapa hari. Ketika aku dan Wang Ji Hye melaporkan evaluasi terakhir kami, beliau tersenyum. “Usaha keras kalian membuahkan hasil. Sudah lama ia tidak membuat keributan lagi, kan?”

Suatu sore ketika kami sedang duduk di taman dekat rumah Lee Hong Ki, ia bertanya, ”Mrs. Jang Na Ra, kenapa anda mau menjadi teman saya? Padahal, di kelas saya tidak punya teman, tidak ada yang mau bicara dengan saya. Kenapa?”

Aku terpana, sama sekali tidak siap dengan pertanyaan itu dan lebih tidak siap lagi untuk memberikan jawabannya.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...