Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 28 April 2011

Luka Hati (Chapter 5)



Lee Hong Ki datang untuk memaafkan Ibunya, tapi demi melihat kelakuan buruk wanita itu, ia pun gelap mata.

Karena kau ternyata cukup menyenangkan untuk diajak berteman,” jawabku setelah bisa memunculkan kembali rasa tenang. Jawaban itu aku comot asal saja dari film televisi yang aku tonton semalam.

“Bohong! Anda bohong!” cetusnya sambil memandangku.

“Sungguh!”

“Tidak ada yang mau bicara dengan saya. Bukan cuma teman-teman di kelas, Ayah juga tidak mau bicara dengan saya. Pergi pagi, pulang malam.”

“Kau tidak pernah bertanya pada Ayahmu?”

“Takut Ayah marah. Kalau marah, Ayah biasanya main pukul,” jawabnya mengenaskan. Kini aku tahu dari mana bekas-bekas membiru di tubuhnya berasal.

“Kau harus mengerti, Lee Hong Ki. Ayahmu kan harus bekerja mencari uang untukmu dan adikmu. Jadi tidak punya banyak waktu untuk kumpul-kumpul di rumah. Tapi Hari Sabtu dan Minggu Ayahmu pasti tidak bekerja kan? Eh, ngomong-ngomong soal hari Sabtu, tanggal 16 ini Park Shin Hye ulang tahun kan. Kau datang ya?” ajakku.

“Saya kan tidak diundang. Hanya saya yang tidak diundang,” jawabnya datar. Tangannya sibuk mengorek rumput, entah mencari apa.

“Tidak apa-apa, Park Shin Hye kan temanmu. Datang saja, atau kita pergi sama-sama?”

“Malas! Apalagi ada Jang Geun Suk, huuu…”

“Kenapa malas? Pasti Park Shin Hye cantik sekali waktu ulangtahun besok, seperti Ibumu. Senang ya punya Ibu yang cantik?” aku mulai memancing reaksinya dengan berdebar. Lee Hong Ki berlagak seolah tak mendengar, padahal aku yakin suaraku cukup jelas.

“Ibumu cantik sekali, Lee Hong Ki. Ibu pernah lihat waktu ke rumahmu itu. Wah…kalau saya punya wajah secantik itu, mungkin banyak yang menawari jadi bintang film ya?”

Lee Hong Ki mengangkat bahu, katanya,”Percuma cantik kalau jadi perempuan murahan!”

Aku kaget mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. “Masa kau menyebut Ibu sendiri begitu? Kau tahu apa arti omonganmu barusan?” tegurku dengan kuping memerah. “Itu bukan kata-kata yang sopan untuk diucapkan anak sekolah!”

“Tahu! Perempuan murahan! Semua orang juga tahu kalau Ibu jadi perempuan seperti itu! Semua orang tahu!” serunya kalap sambil berdiri, membuatku makin terhenyak. Rasanya aku sudah salah melangkah sore ini.

“Mrs. Jang Na Ra jangan coba-coba membela Ibu! Perempuan murahan yang cuma bisa tidur dan makan. Seperti binatang! Perempuan kotor! Perempuan brengsek…” aku membiarkan Lee Hong Ki berkata-kata sepuasnya, caci maki dari anak yang merasa terbuang. Beberapa kali dia mengulang kata yang sama menghujat Ibunya. Aku bingung harus bagaimana, memarahinya atau mendengarkannya saja.

“Park Shin Hye dan Ibu sama saja,” desis Lee Hong Ki sambil berjalan mondar-mandir di depanku. “Park Shin Hye, wajahnya cantik seperti Ibu. Saya sayang Park Shin Hye, dari pertama saya melihatnya. Setiap hari saya ingat dia, ingin melihatnya terus. Saya pernah mencium wangi parfumnya, wangi sekali seperti parfum Ibu. Saya semakin menyukai Park Shin Hye. Saya sering memberinya coklat, memberinya boneka beruang yang lucu, tapi Park Shin Hye tidak pernah mengucapkan terimakasih. Saya lalu memberinya surat, Saya bilang kalau saya mau menjadi pacarnya. Saya sudah bilang surat itu jangan diberitahukan pada siapa-siapa, tapi…Park Shin Hye memperlihatkannya pada Moon Geun Young dan Jang Geun Suk, lalu suratnya dibuang. Diremas-remas di depan mata Saya! Surat itu saya buat dengan susah payah, dua hari saya tulis surat itu. Tapi disobek-sobek, dibuang begitu saja ke tempat sampah! Mereka tertawa, Menyebut saya si Banci. Sebalnya lagi, di depan mata saya, Park Shin Hye sengaja pegang-pegang tangan Jang Geun Suk, lalu berbisik-bisik. Park Shin Hye pacaran dengan Jang Geun Suk. Itu yang membuat saya kesal! Saya marah, tidak bisa terima! Tidak bisa terima!!!” teriaknya kencang.

Sorot matanya mengandung ancaman yang berbahaya, seperti bom yang siap meledak setiap saat. Bulu kudukku berdiri sementara otakku menyusun kata-kata dan mencari cara untuk menurunkan emosinya.

“Saya harus bunuh mereka semua! Perempuan murah, harus ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, tidak menyayangi saya! Saya mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!” dengan suara serak Lee Hong Ki berteriak, terus menyerukan keinginannya untuk membunuh. Airmatanya turun makin lama makin deras. Ia tersedu-sedu sambil menutup wajahnya.

Kedua kakiku mendadak lemas dan gemetar. Lidahku kelu, otakku buntu. Kalau saja Wang Ji Hye ada di sini, tentu dia tahu harus berbuat apa. Aku sibuk menyalahkan diri kenapa aku begitu lancang memancingnya dengan pertanyaan berbahaya, padahal aku tahu luka batin yang dialaminya tidak sembarangan. Aku takut Lee Hong Ki menjadi hilang kendali dan balik menyerangku. Tapi menyaksikan ia menangis begitu rupa sungguh membuatku tak tega. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk mendekatinya, padahal aku sendiri tengah dilanda ketakutan.

Perlahan dan ragu-ragu aku mengusap kepalanya lalu memeluk tubuhnya yang basah oleh keringat dan air mata. Lee Hong Ki makin mengencangkan tangisannya dan ya Tuhan, ia meraung seperti singa yang luka. Raungannya sangat memedihkan hatiku, membuatku tidak tahan dan guliran airmataku jatuh tanpa bisa kucegah. Kami bertangisan bersama entah untuk berapa lama. Sudah berapa lama anak ini tidak pernah dipeluk? Sudah berapa lama ia menunggu kata-kata sayang di telinganya? Sudah berapa lama ia terkurung dalam kesepian yang membuatnya sakit? Orangtua yang seharusnya melindungi dan menyayangi malah menciptakan neraka baginya Sudah berapa lama ia tersiksa oleh dendam dan kebencian? Punya Ayah yang senang memukul, punya Ibu tapi entah di mana dan tidak peduli lagi pada anak-anaknya. Lee Hong Ki, sudah berapa lama neraka itu ada?

Di sela-sela tangisku, aku berbisik,”Jangan takut, Lee Hong Ki. Ada Tuhan yang sayang padamu, Tuhan yang membuatmu lahir. Tuhan juga yang akan memeliharamu. Dia sayang sekali padamu lebih dari siapa pun. Tidak perduli kau bodoh atau pintar, bagus atau jelek, kaya atau miskin. Tuhan sayang padamu.”

Lee Hong Ki terguguk di bahuku dan makin mempererat pelukannya. Raungannya yang tidak dibuat-buat membuatku menghayati betapa anak ini miskin cinta dan perhatian. Sepertinya anak ini tak memiliki seorang pun yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.

Sambil membelai kepalanya dengan tulus, aku berkata hati-hati dengan suara gemetar,”Menangislah Lee Hong Ki, menangislah….supaya hatimu lapang. Saya tahu kau sakit hati dan sedih, pasti berat rasanya. Tapi Tuhan mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan mengasihi. Kau mau kan memaafkan Ayah dan Ibu? Mungkin mereka memang berbuat salah dan tidak sayang padamu, tapi pelan-pelan Lee Hong Ki harus belajar mengampuni Ayah, juga Ibu. Kau mau?”

Lee Hong Ki menggelengkan kepala keras-keras,”Tidak mau! Ibu sudah membuat malu Ayah! Ibu juga tidak pernah sayang pada saya dan Minho. Waktu saya sakit, dia malah pergi dengan Paman Lee Dong Gun ke Pulau Jeju. Waktu itu saya hampir mati di rumah sakit, tapi dia malah pergi!”

Aku mengangkat wajah Lee Hong Ki dan menghadapkannya ke mukaku. “Saya tahu, Lee Hong Ki. Ibumu memang sulit dimaafkan. Tapi dengarkan kata-kata saya…memaafkan orang baik itu gampang sekali Lee Hong Ki, tapi memaafkan orang yang jahat itu yang sulit. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau Kau bisa belajar untuk memaafkan Ibumu, berarti kau sangat hebat. Mengerti?”

Lee Hong Ki terdiam lama lalu perlahan menjauh dariku. Dia duduk di atas batu dan terus diam di situ sampai senja makin datang, menandakan kami harus beranjak pulang. Sepanjang jalan menuju rumahnya, Lee Hong Ki terus menunduk sesekali menendang batu kerikil di jalan dan tidak berbicara lagi padaku sampai kami tiba di depan pagar.

“Saya akan berdoa untukmu. Ingat pesan saya, berbuat baik kepada orang yang sudah berbuat jahat kepada kita, seperti menaruh bara di atas kepalanya. Berjanjilah untuk mencobanya, Lee Hong Ki. Ya, kau mau berjanji pada saya? Kalau kau ingin terbebas dari rasa sakit yang selama ini ada, sekarang saatnya. Waktu kau memaafkan Ibumu, hatimu akan bebas merdeka. Kalau kau butuh teman bicara, kau tahu harus mencari saya ke mana kan?” aku kembali memeluknya.

Ketika aku bersiap pulang, Lee Hong Ki bertanya dengan lirih, ”Kenapa Anda baik sekali, mau menjadi teman saya?”

“Karena kau cukup menyenangkan untuk dijadikan teman,” jawabku kali ini dengan suara bulat dan pasti. Tidak asal-asalan lagi. Lee Hong Ki tersenyum mendengar jawaban yang sama itu dan melihat senyumnya, membuatku percaya Lee Hong Ki akan belajar menepati janjinya.

Esok harinya berita buruk menghadangku. Kali ini serangan stroke Ibu menghantam tiada ampun. Sudah hampir lima tahun ia berbaring di ranjang, tak bisa lagi berkata-kata dan makan seperti biasa. Pagi itu, kakakku berteriak karena mendadak Ibu tidak sadarkan diri. Ketika dokter tiba, ia segera memutuskan Ibu harus masuk ruang operasi hari ini juga. Cairan di otaknya harus segera disedot dan itu berarti kepala Ibu harus dibedah.

Dengan perasaan kecut dan berat hati aku minta izin untuk cuti mengajar beberapa minggu. Tidak mungkin membiarkan Kakak seorang diri mengurus Ibu di rumah sakit.

Di akhir minggu ketiga cutiku, ketika suatu siang aku sedang mendapat giliran jaga, tiba-tiba ponselku berbunyi.

“Mrs. Jang Na Ra? Ini saya, Lee Hong Ki.”

“Oh hai, Lee Hong Ki! Ada apa?”

“Ibu anda sakit? Sudah sembuh?”

“Belum, sekarang masih dirawat dokter. Ada apa, Lee Hong Ki?” tanyaku lagi.

“Ehm…anu, tapi Anda jangan marah ya? Kalau ada yang ulangtahun, bagusnya diberi kado apa ya?”

“Siapa dulu yang ulangtahun? Perempuan atau laki-laki, masih kecil atau sudah tua?”

“Ehm…perempuan dan belum tua.”

“Yah kalau perempuan, biasanya paling suka diberi baju atau alat kecantikan. Siapa, kau membuat saya penasaran saja?”

Hening sejenak. “Lee Hong Ki, halo?”

“Ibu. Besok Ibu saya ulangtahun.”

Kini aku yang ganti terdiam sambil menahan napas. “Oh, Ibumu ya? Bagus sekali kau ingat ulangtahun Ibumu. Kau memang anak yang berbakti.”

“Bagusnya diberi apa ya? Kalau baju atau lipstik, Ibu sudah punya banyak sekali. Hadiah yang lain saja!” desak Lee Hong Ki bersemangat dan membuat aku berpikir lebih keras.

“Ah, saya tahu ada satu hadiah yang pasti kau suka.”

“Anda suka tidak?”

“Ouw pasti!”

“Apa?”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...