Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 28 April 2011

Luka Hati (Chapter 6-Tamat)



“Ehm…Lee Hong Ki ingat obrolan kita di sore hari waktu itu? saya pernah bilang kalau seorang anak yang baik harus bisa memaafkan kesalahan orang lain. Kau memaafkan Ibumu, berarti kau sudah memberikan kado ulangtahun yang paling bagus. Tidak dijual di toko mana pun, tapi harganya luar biasa mahal. Kau mengerti, Lee Hong Ki?”

“Jadi saya harus memaafkan Ibu, kalau ingin memberikan kado yang bagus?”

“Iya, saya jamin tak ada kado lain yang sebagus ini. Setuju?”

“Baiklah! Besok pagi-pagi, saya akan memberikan kado itu untuk ibu saya. Baiklah kalau begitu, Terimakasih Mrs. Jang Na Ra!” lalu pembicaraan ditutupnya.

Ah, anak itu! Sungguh manis kalau ia masih mengingat ulangtahun Ibunya, mengingat apa yang sudah dilakukan sang Ibu pada Lee Hong Ki.

Esok petangnya waktu aku terkantuk-kantuk menemani Ibu yang masih lelap di ranjang, ponselku berbunyi. Deringnya yang lumayan kencang nyaris membuatku jatuh dari kursi. Sebuah nomor yang belum aku kenal muncul di monitor.

“Mrs. Jang Na Ra? Tolong, tolong Lee Hong Ki! Tolong Lee Hong Ki!”

“Siapa ini?”

“Saya Nenek Lee Hong Ki. Tolong saya, Lee Hong Ki…dibawa ke kantor polisi! Tolong, cuma anda yang bisa menolong Lee Hong Ki!”

Aku tercekat tak bisa berkata beberapa detik. “Tenanglah Ny. Kim Sun Ah, tenang dulu. Saya tidak tahu ada masalah apa. Saya sedang cuti mengajar beberapa minggu, jadi saya tidak tahu tentang persoalan murid-murid. Nah, sekarang coba anda ceritakan apa yang terjadi,” aku mencoba tetap tenang sambil menyudut di koridor kamar rumah sakit. Isak tangis Ny. Kim Sun Ah membuatku bingung dan sulit menangkap kata-katanya.

“Lee Hong Ki…Lee Hong Ki…..dia ditangkap polisi…..”

Klik. Baterei ponselku habis dan hubungan pun terputus. Aku terbengong menatap ponsel di genggamanku. Lee Hong Ki, kenapa lagi kau? Kenapa harus bawa-bawa urusan polisi sekarang? Memukul orang? Menabrak pejalan kaki dengan sepedamu? Melempari rumah tetangga dengan batu? Mencuri uang? Berbagai tuduhan buruk bersliweran di kepalaku.

Ketika kakakku muncul menggantikan tugas jaga sore, aku langsung melarikan motorku secepat mungkin menemui Lee Hong Ki. Rumahnya sepi, tak ada yang membukakan pintu. Dari salah seorang tetangga, akhirnya aku mendapat alamat kantor polisi yang menahan Lee Hong Ki. Jadi ini memang tidak main-main.

Setelah sibuk mencari dan bertanya ke sana ke mari, akhirnya aku menemukan banyak orang bergerombol di salah satu ruangan di kantor polisi itu. Kulihat ayah dan Nenek Lee Hong Ki bersandar lemas di dinding, beberapa orang yang mungkin familinya tampak memeluk dan menghibur mereka. Ketika melihatku, Nenek Lee Hong Ki langsung menarik tanganku dan kembali menangis.

“Tolong Mrs. Jang Na Ra, hanya anda yang bisa menolong Lee Hong Ki. Dari tadi dia tidak mau bicara pada polisi. Dia bilang hanya mau bicara pada anda saja. Sudah lima jam dia ditahan, belum makan dan belum mandi. Kasihan Lee Hong Ki, tolong dia!”

“Iya, tapi kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?”

Ny. Kim Sun Ah hanya meratap dan menggeleng-gelengkan kepala. Melihat mataku yang bertanya-tanya, ayahnya yang berwajah kusut berkata berat,”Tuduhan berat.”

“Apa? Mencuri, memukul, berkelahi, tuduhan seberat apa?”

Ayah Lee Hong Ki berulang kali menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Pembunuhan.”

Aku tak bisa mencegah mulutku untuk berteriak. Jantungku terasa lepas dari tempatnya dan merosot ke bawah. Kedua lututku saling beradu, dan cepat aku berpegangan pada tiang kayu di dekatku, sebelum aku benar-benar jatuh.

“Tidak mungkin! Lee Hong Ki tidak mungkin mem…”

“Polisi sedang memeriksanya sekarang,” ayah Lee Hong Ki menuntun tanganku untuk duduk di bangku.

“Tapi bagaimana mungkin? Pembunuhan…ya ampun, siapa .… siapa korbannya?”

“Ibunya.”

“Apa?”

“Lee Hong Ki dituduh menganiaya Ibunya sendiri sampai tewas.”

Aku terkulai lemas. Tak percaya dengan pendengaranku. Tak percaya dengan penglihatanku. Kenapa bisa begini jadinya? Lantas aku teringat percakapan terakhir kami di sore itu, ketika Lee Hong Ki mengamuk. Masih terngiang ucapannya yang begitu marah, “Saya harus bunuh mereka semua! Perempuan murah, harus ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, tidak menyayangi saya! Saya mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!”

Selama beberapa waktu kami saling membisu, tak ada yang berniat membuka percakapan. Ayah Lee Hong Ki terus mengepulkan asap rokok sambil berjalan mondar-mandir, berulangkali ia meremas kepalanya. Aku menyeret kakiku yang terasa berat mendekat ke arahnya. “Bagaimana kejadiannya, Tuan?”

Bibirnya bergetar sedikit, lalu menggeleng. “Saya…saya tidak tahu persis. Pukul tujuh pagi saya sudah keluar rumah, anak-anak masih tidur. Tiba-tiba sore tadi saya ditelepon untuk kabar buruk ini.”

Sepanjang malam itu kami berada di kantor polisi tanpa bisa berbuat apa-apa. Penyidikan masih berlangsung dan tidak satu orang pun diperbolehkan untuk menemui Lee Hong Ki, termasuk keluarganya. Dua hari berlalu dan keadaannya masih tetap sama, kami tak bisa melihat keadaan Lee Hong Ki. Polisi hanya mengatakan kalau ia sehat-sehat saja.

Pukul sembilan malam, ketika aku baru sampai rumah dari kantor polisi, telepon rumahku berdering nyaring. “Halo? Halo?” sambutku terengah-engah.

“Dengan Mrs. Jang Na Ra? Anda diminta datang ke kantor polisi sekarang untuk kepentingan penyidikan kasus Lee Hong Ki.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut telepon itu ditutup dari seberang. Tanpa menghiraukan keletihan dan rasa kantuk yang mendera, aku kembali bergegas ke luar rumah.

Karena Lee Hong Ki berkeras hanya mau bicara denganku, akhirnya polisi penyidik memutuskan untuk mengizinkan aku menemuinya. Rupanya para petugas itu benar-benar dibikin mabuk, karena Lee Hong Ki sama sekali tak mau membeberkan kejadian yang sesungguhnya.

“Mungkin anda bisa membantu. Dia sama sekali tidak bisa diajak kerjasama. Mulutnya terkunci. Kalaupun dia bicara, kata-katanya ngawur dan tidak kami mengerti. Baru tadi anak itu bilang mau bertemu dengan anda, dan berjanji akan menceritakannya kalau anda hadir bersama kami,” bisik seorang petugas yang mendampingiku.

Di dalam ruang pemeriksaan, ada empat petugas mengelilingi meja persegi. Dengan tangan berkeringat dingin, aku menarik kursi dan duduk di sebelah Lee Hong Ki. Seperti tak terjadi apa-apa, dia hanya mengangguk ketika melihatku datang.

“Lee Hong Ki, apa yang sudah kau lakukan?” tanyaku sambil memegang tangannya yang memainkan ujung kaos yang sudah kumal. Bercak-bercak darah yang warnanya sudah menghitam memenuhi bagian dada dan perutnya. Sesaat aku merasa mual ingin muntah.

Melihat kedekilan tubuh dan kebingungan wajahnya, aku langsung jatuh kasihan. Jiwanya labil, dan sekarang dia harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang pasti memusingkan otaknya. Sudah seharusnya Lee Hong Ki didampingi orang dewasa dalam proses interogasinya.

Seorang petugas di sebelah kananku berdehem-dehem lalu memberi tanda agar aku mencoba bicara lagi. Berkali-kali aku harus mengulang pertanyaan yang sama agar konsentrasinya bisa berpindah kepadaku. Tidak heran selama lima jam polisi hampir kehilangan akal dan kesabaran untuk menanyainya. Dengan rasa frustrasi yang amat dalam aku memaksanya dengan suara keras,“Lihat saya, Lee Hong Ki! Lihat semua orang yang sedang menunggumu di luar ruangan ini! Kami semua cemas dan sedih, tidakkah kau tahu? Kenapa kau terus diam dan tidak mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya? Kalau kau tidak cerita, polisi tidak bisa tahu apakah kau salah atau benar. Kau bisa dipenjara, Lee Hong Ki! Ssya tidak mau kau masuk penjara! Saya tidak mau!” suaraku bergetar menahan tangis yang sudah akan tumpah. Lee Hong Ki melihat usahaku yang menggigit bibir kuat-kuat.

“Anda menyuruh saya untuk memaafkan Ibu, kan? Ya sudah, saya sudah memaafkan Ibu.”

“Bagaimana cara kau memaafkan Ibu?” tanyaku memandang lekat matanya yang mulai gelisah dan menggelepar aneh. Sejenak dia membuang muka. “Saya ke rumah Paman Lee Dong Gun tadi pagi, mau bilang kalau saya sudah memaafkan Ibu.”

Mendengar jawaban itu, semua petugas penyidik langsung menegakkan badan dan memasang kuping lebih cermat lagi. Semua sudah siap dengan pulpen dan notesnya.

“Tahu dari mana kau rumah Paman Lee Dong Gun?”

“Saya pernah menguntit Ibu waktu pulang dari rumah.”

“Lalu?”

Diam lagi. Lee Hong Ki membuang napas melalui mulut dan meraih gelas minumnya. Aku mencoba menahan diri untuk mulai bersikap santai, sedikit acuh tak acuh. Aku sudah mengenal sifatnya, kadang-kadang Lee Hong Ki langsung menarik diri kalau melihat lawan bicaranya terlalu ingin tahu. Beberapa saat aku mendiamkannya saja, melihat Lee Hong Ki seperti sedang melamun.

“Waktu sampai di rumah Paman Lee Dong Gun, Kau bertemu Ibumu? Lalu kau bilang apa?”

Diam lagi, tak terdengar jawaban. Aku melihat mata Lee Hong Ki mulai mengerjap. Dia menangis.

“Saya bawa kue cokelat untuk ibu. Hari ini ulang tahun Ibu. Sengaja saya mampir ke toko, beli kue kesenangan Ibu. Di hari ulang tahun ini, saya mau bilang kalau saya menyayanginya dan memaafkan kesalahannya. Tapi…tapi waktu saya ketuk pintu, tidak ada yang membuka. Saya coba buka sendiri, lalu saya panggil-panggil. Karena tidak ada yang menyahut, lalu saya naik ke loteng. Tapi…tapi….di situ…” kerongkongan Lee Hong Ki mendadak seperti tercekik. Airmatanya makin menetes, dan napasnya berubah menjadi dengusan. Seperti orang yang sedang marah besar.

“Saya naik ke loteng, lalu melihat ada pintu yang terbuka. Saya mengintip sebentar. Ibu sedang teriak-teriak sambil tiduran bersama Paman Lee Dong Gun. Jijik, perempuan murahan. Cih!” Lee Hong Ki meludah ke lantai dan mengagetkanku yang terpana dengan ceritanya.

Petugas yang bertugas mengetik berita acara di sudut ruangan pun terpaku. Tiba-tiba Lee Hong Ki berteriak. Dia mulai menceracau, bicara tak jelas ujung pangkalnya. Kedengarannya seperti sedang memaki-maki. Suaranya kadang meninggi, melengking, lalu bergumam dengan suara berat. Persis seperti ketika dia mengamuk di kelas dulu. Kedua tangannya memukul-mukul meja seperti sedang menabuh gendang, sebelah kakinya bergoyang-goyang. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini cepat-cepat, lalu terbang menjemput Wang Ji Hye untuk menggantikanku duduk di sebelah Lee Hong Ki.

“Anda tahu? Dia itu perempuan brengsek! Jauh-jauh saya datang membawkana kue supaya dia senang, tapi yang says lihat di sana itu membuat saya gila!” Lee Hong Ki menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Refleks aku bangkit dari kursi dan mundur dengan panik. Dua dari petugas penyidik juga sudah berdiri dan siap mengambil ancang-ancang untuk mengambil senjata di pinggang mereka. Lee Hong Ki membenamkan kepala di antara kedua tangannya yang sudah basah oleh keringat, lalu terisak-isak.

“Saya lihat Paman Lee Dong Gun turun ke bawah, lalu saya masuk ke kamar. Ibu masih ada di ranjang, tidak pakai apa-apa. Waktu dia melihat saya datang, dia kaget lalu memaki-maki. Saya bilang kalau hari ini ulangtahun Ibu. Tapi perempuan itu tidak mau menerima salam dari saya, apalagi memeluk. Dia cuma tertawa terus mengusir saya pergi. Lalu saya bilang kalau ya mau memaafkan Ibu asal Ibu pulang lagi ke rumah yang dulu. Tapi… tapi… Ibu terus tertawa, tawanya tambah keras. Ibu menertawakan saya, Mrs. Jang Na Ra! Tidak boleh ada yang menertawakan saya! Tidak boleh ada yang menolak saya! Tidak boleh ada yang mengusir saya! Tidak boleh! Saya marah! Saya… Saya ambil gunting yang ada di meja, Saya tusuk. Saya tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, tusuk lagi, lagi, terus... tusuk…. “

Teriakan Lee Hong Ki makin lama makin tinggi melengking, dia histeris. Polisi mulai memborgol tangannya, tapi dia terus meronta. Mulutnya tak bisa ditutup, terus menjerit. Jeritannya mengiringi putaran bintang-bintang yang beterbangan di kepalaku. Entah dari mana datangnya, aku mulai mencium amis darah dan mendengar denting gunting yang ditusuk-tusuk. Cres, cres, cres. Erat-erat kututup telinga, tidak kuat mendengar ocehannya lagi. Makin lama tubuhku terasa ringan, melayang lalu ambruk. Tak mendengar apa-apa lagi. Tak ingat apa-apa lagi.


TAMAT
Copyright Sweety Qliquers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...