Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 09 April 2011

The Next Story (Chapter 4)


Chapter 4
Park Ji Bin


Perkuliahan baru berjalan lima belas menit ketika telepon genggamku berbunyi. Dari rumah. Pasti terjadi apa-apa di sana. Buru-buru aku ke luar ruangan.

“Ada apa, Park Shin Hye?” tampaknya, urusan melapor jadi bagian Park Shin Hye.

“Park Ji Bin, Bu…,” ucapannya yang sepotong itu membuatku panik. Ada apa lagi dengan anak itu. Tiga minggu yang lalu dia berkelahi. Dan, baru beberapa hari ini lebam di wajahnya sembuh. Kini apa lagi ulahnya?

“Kenapa dia? Berkelahi lagi?”

“Ya, Bu. Tapi, kali ini benar-benar babak belur, Bu! Ibu pulang dulu, lihat keadaannya!” suara Park Shin Hye terdengar begitu khawatir.

“Babak belur bagaimana, Park Shin Hye?” Tapi, aku tak bisa mendengar jawaban Park Shin Hye, baterai HP-ku drop. Hubungan terputus.

Aduh, bagaimana ini? Perkuliahan baru selesai dua jam lagi. Belum perjalanan ke rumah. Aku lalu kembali ke kelas. Dengan berat hati kukatakan kepada para mahasiswaku bahwa perkuliahan kali ini harus ditunda dulu. Aku buru-buru menuju tempat parkir. Kupacu mobilku dengan kecepatan lumayan tinggi, membelah Jalan Namchoseon.

Seharusnya, sebelum itu aku minta izin kepada Ketua Jurusan, tapi aku tidak banyak waktu untuk melakukannya. Semoga ketidakdisiplinanku yang sekali ini saja, tidak memengaruhi kredibilitasku sebagai calon penerima beasiswa magister kelak!

Sampai di rumah, suasana sepi. Beberapa kali kupanggil Park Shin Hye, Lee Hong Ki, dan Park Ji Bin secara bergantian, tapi tidak seorang pun yang muncul. Hanya Song Seung Hun yang kulihat, tapi seperti biasanya dia tidak menghiraukan panggilanku. Dia sibuk menulis-nulis sesuatu di meja kerjanya.

“Cari anak-anak, Ny. Kim Tae Hee?” tetangga sebelah rumah menyapaku dari teras samping. Aku mengiyakan. Dia lalu memberitahukan, bahwa anak-anak pergi ke Dokter Lee Bum Soo, yang di ujung kompleks, mengantar Park Ji Bin yang bibirnya jontor dan hidungnya terus-menerus mimisan.Ugh.

Baru saja akan kususul, anak-anak sudah pulang. Mereka menggandeng Park Ji Bin yang babak belur. Baju seragamnya dipenuhi bercak darah. Sepatunya kotor penuh lumpur tebal yang berbau tidak sedap.

Tanpa banyak kata, kuseret dia masuk dan menginterogasinya. Lee Hong Ki beberapa kali mengingatkan aku untuk sabar, tapi suaraku makin menggelegar saja. “Kau berkelahi dengan siapa lagi, hah?” aku mengguncang-guncang tubuhnya, jengkel. Wajahnya yang terluka meringis, tapi aku tidak peduli. Itu akal bulusnya saja untuk meredakan kemarahanku.

“Aku tidak salah, Bu….”

“Ibu tidak tanya siapa yang salah, tapi dengan siapa kau berkelahi? Dengan siapa, hah?”

“Kang Yi Suk…,” jawabnya, hampir tak terdengar. Wajah bulatnya tertunduk.

“Kang Yi Suk yang ayahnya polisi itu?” sergahku.

Dengan pelan dia mengangguk.

Ya, ampun! Ayahnya Kang Yi Suk itu kan terkenal galak sekali! Siapa saja dihadapinya, apalagi jika berkaitan dengan anaknya. Rasanya, hampir semua orang menghindari berurusan dengannya. Cari penyakit saja! Tapi kini, apa yang dilakukan Park Ji Bin? Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan pada ayahnya Kang Yi Suk! Paling-paling, mengaku salah untuk menutup segala urusan! Ah, betul-betul cari masalah anak ini!

“Park Ji Bin, ini yang terakhir kau buat masalah!” aku mengancamnya. “Kali lain, Ibu tidak mau ikut campur!” Dengan emosi kutinggalkan dia. “Dan, kalian,” pandanganku beralih pada Lee Hong Ki dan Park Shin Hye, “jangan pernah hubungi Ibu lagi di kampus untuk urusan ini. Pekerjaan Ibu jadi terbengkalai. Mengerti?” Semua akhirnya terkena getahnya.

Namun, ancaman tinggal ancaman. Baru empat hari, Park Ji Bin sudah berkelahi lagi. Tidak tanggung-tanggung, kali ini dengan anak kepala sekolahnya! Aku dipanggil saat itu juga. Dan, akibatnya, mahasiswa-mahasiswaku kembali jadi korban. Saat perkuliahan, mereka terpaksa harus kutinggalkan.

Park Ji Bin mendapat peringatan keras. Dia bahkan diancam diberhentikan dari sekolahnya. Satu lembar surat pernyataan bermaterai disodorkan padaku untuk kutandatangani saat itu juga.

“Kau dengar, Park Ji Bin?” sergahku, jengkel. Nama baikku tercoreng. Kemarahanku yang spontan sekadar pelampiasan dari rasa malu yang sudah teramat dalam. Aku betul-betul seperti wanita karier lainnya yang mengabaikan pendidikan moral anaknya. Dengan halus, mereka seperti sedang menuduhku tidak dapat mendidik anak.

“Biarkan saja, aku tidak salah, Bu! Dia yang mulai! Enak saja dia bilang…. Dia bilang… Ayah…,” napasnya tersengal-sengal karena emosi, “Ayah… gila! Ayahku tidak gila!” emosinya meledak tanpa kusangka-sangka.

Aku terdiam mendengar pernyataan Park Ji Bin. Wajahku terasa panas membara. Kepalaku serasa mau pecah!

“Tapi, kata Kang Yi Suk, Wang Suk Hyun, dan Cha Bong Gun…,” nama-nama yang disebutnya itu pernah berkelahi dengan Park Ji Bin, “Ayah memang gila. Suka tertawa sendiri, suka….”

“Diam!” aku membentaknya, jengkel. Kalau tidak ingat kepala sekolahnya berada di depanku, entah sudah kuapakan dia!

“Saya rasa, Bu,“ kepercayaan diriku kembali pulih, “siapa pun dia, tentu marah besar kalau ayahnya dituding gila seperti itu!“

Nah, kini aku berada di pihak Park Ji Bin. Aku mengerti alasannya, kenapa dia terus-terusan berkelahi. Kenapa anak kelas empat berbadan kecil itu berani melawan kakak-kakak kelasnya yang bertubuh jauh lebih besar dan tinggi ketimbang dirinya. Ya, tak lain demi menjaga harga dirinya. “Apalagi, tuduhan itu sama sekali tidak benar!” aku menyambung.

“Ya, tidak benar, Bu!” Park Ji Bin menambahkan dengan berani.

“Kalau memang anak saya mau dikeluarkan dari sekolah ini karena dia membela harga dirinya, ya, silakan saja.”

“Sabar, Bu. Sabar….”

“Seharusnya bukan Park Ji Bin seorang yang diberi peringatan, tapi juga teman-temannya. Tidak bisa hanya sepihak. Lagi pula, anak saya bukan tukang berkelahi. Ibu tahu kan, anak saya justru memiliki prestasi bagus di sekolah ini?” aku balik menyerang mereka. Dua orang guru yang kuhadapi itu terdiam.

“Kalau Park Ji Bin berkelahi karena masalah yang sama, tolonglah jangan salahkan dia. Ayahnya dalam keadaan baik-baik saja. Kalau saja tidak sedang ke luar kota untuk urusan dinas, dia pasti sudah datang kemari.”

Astaghfirullah. Kebohonganku makin menjadi. Untuk kesekian kalinya, terpaksa kuabaikan tatapan Park Ji Bin yang tajam. Namun, karena pernyataanku itu, surat permohonan maaf yang hampir kutandatangani segera ditarik kembali. Justru, kedua orang guru, yang salah seorang di antaranya adalah kepala sekolah Park Ji Bin, itu yang meminta maaf kepadaku.

Aku lega, tapi tidak sepenuhnya. Kenakalan Park Ji Bin akhir-akhir ini tidak saja berkaitan dengan harga dirinya, tapi lebih cenderung kepada pelampiasan rasa marahnya. Ya, dia marah padaku, dia marah karena Song Seung Hun. Sebenarnya, Lee Hong Ki dan Park Shin Hye memendam perasaan yang sama, tetapi faktor kedewasaan merekalah yang meredam semuanya.

“Sampai kapan Park Ji Bin terus bermasalah dengan emosinya ini, Dokter?” Aku menyelingi konsultasi malam itu dengan pembicaraanku tentang Park Ji Bin. Aku sangat khawatir akan perkembangan jiwanya. Emosinya sering meledak-ledak akhir-akhir ini. Kalau perlu, anak itu akan kubawa untuk berkonsultasi pula!

“Anak seperti dia cukup diarahkan, Bu. Jangan dimarahi. Jiwa pemberontaknya lebih kuat daripada kedua kakaknya. Kalau Ibu tidak berusaha untuk memahaminya, dia bisa jauh lebih nakal dari sekarang ini.”

“Apakah dia... depresi, Dokter?” aku bertanya, cemas.

“Ah, saya rasa tidak!” Dokter Park Shin Yang tertawa kecil. Malah, menurut dia, akulah yang sudah terkena paranoid trauma syndrom. Tidak semua persoalan akan berdampak depresi akut pada orang lain. Park Ji Bin hanya sedang memulai proses kenakalannya. Agak aneh memang, mengingat sebelumnya, dia merupakan tipe anak yang tidak pernah bermasalah.

Jangan-jangan, aku harus mulai terapi mental pula untuk mengantisipasi keadaan yang tampaknya makin kusut saja!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...