Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Sabtu, 09 April 2011
The Next Story (Chapter 2)
Chapter 2
Keluarga Gwangju
Suara burung hantu itu terdengar lagi malam ini. Berarti, sudah dua malam berturut-turut aku mendengarnya ber-hu-hu-hu di dekat kamar atas yang berdempetan dengan pohon cemara.
Menurut Bibi Im Ye Jin, bibinya Song Seung Hun, itu pertanda tidak baik. Suatu musibah yang tidak terduga akan datang pada keluarga yang dikunjunginya. Aku gelisah mendengar ramalan itu, sebab aku mulai mempercayainya….
Musibah? Musibah apa lagi yang terjadi dalam keluarga ini? Apakah sekarang giliranku, atau… anak-anak? Tolong jangan bersikap tidak adil padaku, Tuhan. Beratus-ratus juta orang di dunia ini, pilih saja salah satu di antaranya. Tapi, kumohon pada-Mu, jangan keluargaku lagi….
Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Satu SMS kuterima atas nama Ji Sung Oppa. Cepat pulang. Ayah sakit.
SMS itu membuatku panik. Bagaimana mungkin? Sergahku, cuma di hati. Baru saja aku menelepon ke Gwangju dan kedengarannya semua baik-baik saja. Jangan-jangan, mereka sengaja menyimpan berita itu agar aku tidak pulang….
Cepat-cepat kubalas telepon Ji Sung Oppa untuk memastikan keadaan Ayah yang sebenarnya. Kalau hanya sakit biasa, untuk apa aku pulang. Biaya perjalanan yang harus kutanggung untuk pulang ke Gwangju terlalu besar untukku sekarang ini.
“Ayah sekarang di ICU, Kim Tae Hee. Jantungnya kumat lagi. Semua sudah kumpul, tinggal kau. Kau pulang, ‘kan?”
“Aku…, ” jawabanku mengambang. “Ya, ya, aku segera pulang.”
Maka kupanggil anak-anak ke ruang tengah. Song Seung Hun juga ada di sana. Dia sibuk menulis-nulis sesuatu di atas meja tanpa peduli pada apa yang kusampaikan.
Kepada mereka, kuberitakan rencana kepergianku ke Gwangju yang mendadak. Aku memutuskan hanya mengajak anakku, Park Ji Bin. Aku minta tolong pada Lee Hong Ki untuk datang ke sekolah Park Ji Bin, minta izin cuti belajar selama satu minggu. Selain itu, aku meminta juga pada Lee Hong Ki untuk menyampaikan surat izinku pada ketua jurusanku di kampus.
Selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Song Seung Hun, ini kali kedua aku pulang. Kepulanganku yang pertama, enam tahun lalu, dengan Song Seung Hun dan kedua anaknya, disambut dingin oleh semua keluarga. Bahkan, setelah itu, kehadiran Park Ji Bin kecil di tengah mereka, tidak mampu mencairkan suasana. Hanya Ji Sung Oppa yang bersikap bijaksana padaku. Ada banyak kata penghiburannya. Tapi, aku tetap masih merasa sakit hati. Berbulan-bulan, kusesali kepulanganku….
Sampai di rumah, suasana sepi menyambut, hanya ada seorang gadis muda yang tidak kukenal sama sekali. Mungkin pembantu baru ibuku.
“Mana Ibu?” aku bertanya padanya. Dia tampak bingung melihatku. Sorot matanya penuh selidik.
“Saya anak bungsu Tn. Jo Jae Hyeon yang di Incheon. Kau pasti tidak kenal saya, karena kau pembantu baru di sini, ‘kan?” Aku main tembak saja. Ternyata perkiraanku betul.
Dia baru percaya. Sikapnya tidak lagi penuh selidik padaku. Dia bahkan bersikap sangat sopan. “Maaf, Nyonya,“ ucapnya, pelan.
“Ah, tak apa-apa. Di mana ibu saya, kenapa, sepi?”
“Semua pergi ke Rumah Sakit Kwanghee, Nyonya. Tuan dirawat di situ.”
Masih dengan taksi yang tadi, kuteruskan perjalananku ke rumah sakit. Dua travel bag besar yang kubawa kuletakkan begitu saja di ruang tamu.
“Eh, itu Kim Tae Hee!” Dari lorong rumah sakit, kudengar orang-orang menyebut namaku. Pandangan mereka tertuju padaku dan Park Ji Bin. Langkahku dua kali kupercepat.
“Bu!” pandangan mataku tertuju padanya. Aku menangis dan memeluknya, lalu mencium tangannya. Ibu membalas pelukanku seadanya. Dia bahkan tidak mengusap-usap punggungku seperti waktu dulu.
“Ini Park Ji Bin,” kusodorkan Park Ji Bin agar dipeluknya pula. Tanpa kusuruh, Park Ji Bin mencium tangan nenek-nya. Ibu pun menciumi cucunya ‘ala kadarnya’.
“Kau sendirian, Kim Tae Hee? Mana suamimu?” Pertanyaan yang ‘menakutkan’ itu terdengar ketika aku menyalami Jung Ryeo Won Eonni, kakak perempuanku yang nomor dua. Ada nada menyelidik dari pertanyaan itu.
“Song Seung Hun akan menyusul setelah pekerjaannya selesai, Eonni,“ dustaku, sambil melirik Ibu. Untungnya, beliau tidak melihat reaksiku. “Bagaimana Ayah, sudah bisa dijenguk?”
“Belum. Masa kritisnya belum lagi lewat,” Ji Sung Oppa yang menjawab pertanyaanku. “Kau lihat dari kaca ini saja,” dia mengajakku ke gedung samping, mengintip dari balik kaca. Ditunjuknya salah satu pasien itu padaku.
Ya, Tuhan, segawat itukah keadaan Ayah? Aku merinding melihat dua selang infus terpasang di pergelangan tangannya. Hidungnya pun penuh selang oksigen. Belum lagi satu layar monitor yang aktif memantau jantungnya!
Aku kembali ke tempat semula. Semua orang ternyata baru saja memulai membaca Surat Yassin untuk Ayah. Aku tidak ikut, sebab tidak dalam keadaan ‘bersih’.
Aku sedikit menjauh dari mereka. Park Ji Bin yang tampak kelelahan, menyandar di bahuku. Kalau Kau ingin mengambil ayahku, Tuhan, bawalah ia. Tapi, sebelum itu, dia harus memaafkan aku dulu.
Ayah terlalu banyak kecewa padaku. Aku kuliah di jurusan yang tidak pernah disetujuinya. Lalu, aku menikah dengan pria yang tidak pernah dikenalnya di tahun kedua kuliahku. Duda dengan dua anak yang menjelang remaja. Pantas saja ia geram padaku! Belum lagi kepulanganku ke Gwangju yang bisa dihitung dengan jari! Ha, aku betul-betul si bungsu yang tidak dapat menyenangkan hatinya!
Hanya dua puluh tahun saja aku menjadi putrinya yang manis, setelah itu aku betul-betul menjadi ‘monster’ yang selalu mengiris-iris perasaannya.
“Ayah sudah sadar!” kudengar suara ribut-ribut. Semua mengintip dari balik kaca. Ya, ya, benar. Ayah sudah sadar! Matanya terbuka.
“Ada yang bernama Kim Tae Hee di sini?” Seorang suster mendekati kami. Aku maju.
“Saya, Suster. Ada apa?” aku menyahut dengan dada bergemuruh.
Suster itu menyuruhku masuk. Setelah ia bertanya apakah aku putrinya, dan aku mengiyakannya, ia menjelaskan bahwa sejak sadar tadi, Ayah selalu menyebut namaku! Pandangan Ibu dan keenam saudaraku yang lain tampak mengiringi langkahku. Uh, aku merasa diperlakukan seperti anak tiri saja di keluarga ini!
Dengan langkah hati-hati, aku mendekati Ayah. Maklumlah, ada banyak pasang mata yang mengintip pertemuan kami dari balik kaca. Setelah menciumi tangannya, aku duduk tersedu di sampingnya.
“Maafkan aku, Ayah,” ada banyak kata yang seharusnya terucap, tapi hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.
Aku tahu Ayah menyadari kehadiranku. Dia mengangguk lemah, lalu matanya terpejam lagi. Ada garis lurus panjang yang keluar di layar monitor perekam jantung. Dan, lima menit kemudian, semuanya pun berakhir….
Aku baru sadar, Ayah memang menungguku selama ini!
Upacara pemakaman secara militer telah usai. Sepanjang prosesi pemakaman, di tengah rasa sedihku, aku masih sempat melihat ekspresi wajah Park Ji Bin yang takjub mendengar beberapa kali suara tembakan dilepas ke udara.
“Kakek itu pejuang, ya, Bu?” akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulutnya.
Aku mengangguk. Malas untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa kakeknya bukan pejuang kemerdekaan seperti yang dia bayangkan, tapi ‘hanya’ seorang Purnawirawan Angkatan Darat yang banyak memperoleh bintang jasa selama bertugas.
“Kita naik mobil Bibi Jung Ryeo Won saja, ya?” aku menggiring Park Ji Bin ke mobil merah, karena kulihat ibuku sudah naik ke mobil Ji Sung Oppa yang tadi kutumpangi bersama Park Ji Bin.
“Aku dengan Nenek saja, Bu. Di mobil itu ada AC-nya….”
“Di sini juga ada, ayolah naik.” Aku buru-buru masuk ke mobil itu sebelum mereka menungguku lebih lama.
“Suamimu sudah diberi tahu, Kim Tae Hee?” Jung Ryeo Won Eonni yang kukira tidak akan menanyakan keberadaan Song Seung Hun, ternyata bertanya juga. Pertanyaan sederhana itu bagiku banyak sekali artinya. Dan, apa pun nanti jawabanku, tidak akan membuatku lega.
“Song Seung Hun ke luar kota. Ada urusan dinas di Busan sekarang ini. Kalau urusannya selesai, dia pasti kemari.” Ya Tuhan, Susah sekali kebohongan itu terangkai.
Park Ji Bin menatapku, dia pasti bingung dengan jawabanku. Aku juga menyesal telah terpaksa berbohong di hadapannya. Ibunya, kok, jadi begini? Bukankah aku terbiasa menjunjung tinggi kejujuran, terlebih di depan anak-anakku? Tiba-tiba saja telepon genggamku berbunyi. Dari rumahku di Incheon. Pasti ada sesuatu yang tidak beres….
“Ini Park Shin Hye, Bu,” kudengar suara di seberang sana agak serak dan tersendat-sendat.
“Iya, ada apa, Park Shin Hye?”
“Itu, Bu, hmm… Ayah….”
“Kenapa?” potongku tak sabar.
“Sudah sejak kemarin belum pulang, Bu! Lee Hong Ki Oppa sudah mencari ke mana-mana, tapi Ayah belum juga ketemu.”
“Minta bantuan paman-mu atau siapalah…,” aku menjawab agak bingung.
“Sudah, Bu. Semua orang di sini juga sedang usaha. Ibu kapan pulang?”
“Besok. Ibu dan Park Ji Bin pulang besok,” tegasku. Kudengar Park Shin Hye mengucap salam dan menutup telepon.
Aku merasa tanganku bergetar dan jantungku berdebar kencang. Perasaanku makin tidak enak saja.
“Ada apa lagi, Kim Tae Hee?” Empat kepala yang ada di mobil itu menatapku heran. Mungkin mereka menangkap kegelisahanku. Kulihat Park Ji Bin juga tampak gelisah. Ah, aku terpaksa merangkai kebohongan lagi.
“Lee Hong Ki. Sejak kemarin tidak pulang. Park Shin Hye khawatir.”
“Anak tirimu yang pendiam itu?”
Aku mengangguk.
“Sudah sering dia begitu?”
“Justru baru sekali ini. Dia sebenarnya anak yang sangat baik. Pasti ada suatu hal yang membuatnya begitu,” pembelaan dariku membentuk senyuman sinis di bibir mereka. Mungkin kedengarannya berlebihan?
Setiba di rumah ibuku, aku segera berkemas. Seorang keponakan kusuruh membeli tiket bus untuk kepulanganku dan Park Ji Bin besok, kalau bisa keberangkatan yang paling pagi.
“Kita jadi pulang, Bu?”Park Ji Bin bertanya memastikan.
“Jadi. Besok kita pulang. Ayo, kemasi barang-barangmu.”
“Sebenarnya apa yang dikatakan Park Shin Hye Nunna di telepon, Bu? Masalah Ayah lagi, ya?”
Aku tidak menjawab. Tanganku sibuk melipat baju dan merapikannya ke dalam tas. Kudengar suara Park Ji Bin lagi. Dia membujuk untuk menunda kepulangan kami ke rumah.
“Ayah ini, selalu merepotkan. Kita jangan pulang dulu, ya Bu!” Park Ji Bin merajuk. ”Seo Woo Nunna baru saja menjanjikanku makan di restoran! Jangan ya, Bu. Aku akan telepon Park Shin Hye Nunna, bilang kita tidak jadi pulang besok….”
Tak sabar, aku pun membentaknya. Anak itu terlalu sering protes akhir-akhir ini. Park Ji Bin akhirnya diam juga. Bagaimanapun, kutegaskan kepadanya, tak baik lama-lama minta izin dari sekolah.
“Kenapa, sudah berkemas-kemas?“ dua orang kakakku, Jung Ryeo Won dan Son Ye Jin, masuk ke kamar. Manuver apa lagi, ini, yang mereka lakukan untuk menyerangku? Mereka sekarang tahu betul caranya membalas kecemburuan mereka karena perhatian Ayah yang terlalu besar padaku.
“Besok aku harus pulang, Eonni. “
Kata-kata itu sepertinya begitu mengejutkan bagi mereka berdua, sehingga mereka minta aku untuk mengulanginya lagi.
“Iya, aku harus pulang besok pagi.”
“Tapi, kau baru datang kemarin, Kim Tae Hee. Apa tidak bisa ditunda sampai tiga hari takziahan Ayah?“ sergah Jung Ryeo Won.
“Masa cuma karena anak tirimu, kau mau mengorbankan semua ini, Kim Tae Hee. Biarlah ayahnya yang mengurus. Jangan biarkan keluarga kita menilaimu lebih buruk lagi. Lagi pula, apa kata Ibu, Kim Tae Hee?”
Aku mendengus kesal. Tanpa sadar, kubanting tas besar berisi pakaianku. Apa kata Ibu?
Mereka sudah mengganti subjeknya. Dulu mereka selalu bilang, “Apa kata Ayah, Kim Tae Hee?”
Ya, apa lagi yang dikatakan Ibu tentang aku sekarang ini? Mereka selalu mengintimidasiku seperti itu bila sudah tidak tahu lagi cara membujukku. Di keluarga ini, mereka selalu lupa bahwa aku bukan si bungsu yang mudah dibujuk seperti dulu lagi.
Mungkin, mereka mau mengerti kalau kuceritakan semua ini. Tapi, bercerita tentang keadaan Song Seung Hun sekarang, aku bisa malu sendiri. Lagi pula, aku tidak sampai hati menceritakan kerapuhan mentalnya, apalagi menceritakan bahwa sekarang Song Seung Hun menjadi salah seorang pasien dari seorang dokter jiwa! Mereka pasti menyesali nasib malangku!
Malamnya, selesai takziah, kukatakan rencana kepulanganku pada Ibu. Ibu menatapku nanar. “Kalau rumah ini tidak lagi membuatmu merasa nyaman, Kim Tae hee. Tidak apa-apa). Pulanglah. Tapi, kalau ada apa-apa dengan Ibu, kau tidak perlu peduli lagi,” suaranya terdengar datar, namun menusuk tajam, tepat ke jantungku.
“Maaf, Bu….”
Ibu tidak menyahuti permintaan maafku. Dia beranjak dari kursi dan masuk ke kamar. Susah sekali menjembatani hati ibuku sekaligus keluarga ini setelah perkawinanku dengan duda dua anak, Song Seung Hun. Hati mereka sudah telanjur kupatahkan, dan itu rupanya merupakan suatu kesalahan besar yang tak terampuni.
Tapi, tekadku untuk pulang sudah bulat. Kalau ada apa-apa dengan Song Seung Hun, aku akan jauh lebih menyesal. Sementara ibuku, tanpa kehadiranku pun, masih ada enam orang anak-anaknya yang setia menjaga. Dan, mereka jauh lebih berarti daripada seorang Kim Tae Hee!
Maka, untuk kedua kalinya, kutinggalkan Gwangju dengan perasaan terluka.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar