Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 09 April 2011

The Next Story (Chapter 1)


Chapter 1
Song Seung Hun


Suamiku di-PHK dan sikapnya berubah total. Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Perlukah aku membawanya ke psikiater?

Tampaknya, liburan ke Pulau Jeju kali ini tidak sepenuhnya bisa kunikmati. Lagi-lagi aku terganggu karena sikap Song Seung Hun. Dia terlihat makin murung. Dalam lima menit fokus perhatianku, dua kali dia menghela napas panjang, dan dalam. Ada kegelisahan yang samar-samar dapat kutangkap dari bahasa tubuhnya.

“Kalau kau tidak merasa nyaman di sini, kita pulang saja, Yeobo,” aku mulai kesal. Kutarik tangannya dari kursi taman hotel.

“Kenapa jadi kau yang marah?”

“Tentu saja! Kau diajak ke mana-mana tidak mau! Kasihan anak-anak. Kita pulang saja. Untuk apa jauh-jauh kemari kalau tidak dinikmati. Mubazir…”

“Oke!” tantangnya. “Nanti malam kita pulang ke Incheon!” Dia lalu beranjak menuju kamar hotel.

Ketika aku menyusulnya setengah jam kemudian, aku terkejut. Koper-koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya, sudah tersusun rapi di atas tempat tidur. Lee Hong Ki, Park Shin Hye, dan Park Ji Bin, ketiga anak-anak kami, pun kelihatan bingung.

“Kenapa bengong semua? Malam ini kita akan pulang ke Incheon,” tegasnya. Ketiga anak-anak itu protes, tapi Song Seung Hun tetap pada pendiriannya. Aku betul-betul tidak bisa mengatasi kejenuhannya.

“Bu…,” mereka merengek minta bantuanku. Aku mengangkat kedua bahuku. Terserah!

Sepertinya, anjuran beberapa psikolog dari beberapa buku psikologi umum yang kubaca untuk mengajak Song Seung Hun berlibur agar kesumpekannya dapat teratasi, tidak manjur. Isu mergerisasi beberapa bank nasional dan akan terjadi PHK besar-besaran di bank-bank itu, termasuk bank tempatnya bekerja, terlalu memenuhi otaknya. Mungkin, sebentar lagi tumpah! Belum-belum, dia sudah berpikir tentang berbagai kemungkinan terburuk yang akan terjadi!

Kebalikan dari Song Seung Hun, aku justru sangat yakin hal itu tidak akan menimpanya. Song Seung Hun pekerja keras. Selama dua puluh tahun dia meniti karier dengan berbagai penghargaan. Bagaimana mungkin perusahaan mau melepaskan pegawai seteladan dia?

Aku telah mencoba meyakinkannya berulang-ulang dalam kurun waktu dua bulan ini, bahwa Song Seung Hun akan bertahan. Tapi, keyakinanku ternyata buta. Suamiku termasuk di antara 120 orang pegawai yang ‘dirumahkan’! Ya, ya, jangankan Song Seung Hun, aku sendiri hampir pingsan mendengarnya!

“Itu keputusan yang benar-benar tidak adil!” Dia berkali-kali mengucapkan hal itu di setiap kesempatan. Sepulang kerja, saat makan, dan bahkan, menjelang tidur. “Pokoknya aku akan bicara pada direksi! Keputusan yang kuterima pasti salah, ada orang yang sengaja memanfaatkan momen ini!”

“Sabarlah, Yeobo.”

“Aku akan berjuang mati-matian demi ketidakadilan ini. Kalau perlu, aku akan melaporkannya ke KOMNAS HAM.”

Rasanya, keputusan itu memang tidak adil. Tapi, aku tetap tidak setuju pada keinginannya untuk memperjuangkan haknya secara berlebihan. Di balik semua kejadian yang sedang menimpa keluarga kami ini, pasti ada hikmahnya. Bagaimanapun, aku percaya pada kebesaran Tuhan.

“Besok aku ke Seoul. Aku akan melaporkan ini ke KOMNAS HAM,” katanya, beberapa hari kemudian.

“Jangan sekarang, Yeobo. Tunggu keadaannya tenang dulu….”

Tapi, Song Seung Hun jadi berangkat juga. Sehari sebelumnya, dia memimpin aksi demo seluruh pegawai yang di-PHK. Pihak berwajib menangkapnya, tapi melepaskannya beberapa jam kemudian.

Apa pun kejadiannya, aku siap berada di belakangnya. Tapi, aku tidak pernah mendorongnya untuk melakukan aksi-aksi konyolnya. Bahkan, aku meminta Song Seung Hun dengan ikhlas menerima. Bersikap pasrah, mungkin itu lebih baik daripada mengumbar emosi yang berlebihan. Aku cuma takut terjadi sesuatu pada dirinya. Bukankah persoalannya akan menjadi lebih rumit?

Terus terang sajalah, dengan adanya peristiwa ini, aku merasa ada babak baru lagi dalam kehidupanku. Sepuluh tahun yang lalu, aku memulai babak pertama kehidupan yang sebenarnya dengan menikahi Song Seung Hun, duda beranak dua yang menjelang remaja, di tahun kedua perkuliahanku tanpa pernah direstui oleh ayah dan ibuku. Keluargaku dan keluarga Song Seung Hun — kusebut ‘keluarga Gwangju’ dan ‘keluarga Incheon’— bahkan tidak pernah bertemu dalam kurun waktu sepuluh tahun itu. Keluarga Incheon alias keluarga Song Seung Hun yang mulanya sangat mengerti permasalahan kami pun pada akhirnya telanjur tersinggung pada sikap yang ditunjukkan keluarga Gwangju alias pihak dari keluargaku.

Babak kedua kali ini, ya, saat sekarang inilah. Ketika akhirnya Song Seung Hun di- PHK. Aku belum pernah terpikir untuk mengantisipasi keadaan ini. Semua jauh dari yang kuperkirakan. Usiaku baru tiga puluh dua tahun, rasanya belum terlalu matang untuk menerima semua kejadian ini.

“Kami akan demo lagi, Kim Tae Hee,” Song Seung Hun melapor lewat telepon. “KOMNAS HAM akan membantu kami untuk bicara ke DPR. Mungkin aku pulang dua hari lagi,” ucapnya, optimistis.

Aku menghela napas. Aku merasa perjuangannya sia-sia belaka. Negara ini sudah terlalu banyak masalah. KOMNAS HAM, maaf, tidak akan bisa memberikan bantuan sebesar yang diharapkan. Mereka memang sigap ‘bersuara’, tapi tidak akan memberikan hasil akhir. Mereka, sekali lagi, maaf, paling-paling hanya bisa mendata berapa orang yang telah diperlakukan secara tidak adil karena suatu kepentingan sepihak yang entah untuk siapa….

“Ayah masuk televisi lagi, Bu!” Park Ji Bin, putraku, menunjuk televisi yang menyiarkan berita demo beratus-ratus pegawai bank yang di-PHK. Sudah dua stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Wajah Song Seung Hun yang sedang berteriak-teriak penuh semangat disorot begitu rupa.

Aduh, semoga saja tidak seorang pun dari keluarga Gwangju yang menonton berita itu!

Tiga bulan setelah ‘perjuangannya’, aku meminta dengan sangat agar Song Seung Hun mengalah.Toh, uang pesangon sudah diterima. Mau apa lagi?

“Pokoknya, aku menunggu keputusan KOMNAS HAM. Mereka sedang memperjuangkannya, Kim Tae Hee. Aku tidak mau menyerah! Komite tenaga kerja sedang membahasnya!” Song Seung Hun selalu berkilah seperti itu setiap kali aku mengajaknya berbicara tentang masa depan keluarga kami.

Uggh, alasannya membuatku gerah. Aku bosan! Bagaimanapun, aku tetap berusaha membuka pikiran dan hatinya. Ide itu melintas tiba-tiba pagi ini. “Yeobo, sebaiknya kita buka warnet saja. Tampaknya lumayan! Kalau nanti aku ke kampus, kau dan anak-anak bisa bergantian menjaganya.”

“Kepala bagian jadi penjaga warnet?” nada bicaranya meninggi. Dia tampak kesal sekali. Ups! Kelihatannya aku salah bicara. Dia mengartikan ucapanku sebagai hinaan. Dan tiba-tiba, sebuah gelas terbanting tepat di depanku.

Aku tidak boleh marah. Sabar… sabar. Ya, Tuhan!

Song Seung Hun lalu pergi ke kamar.

Beberapa belas menit kemudian kudengar teriakan Park Ji Bin. “Ibu…!” anakku berlari ke dapur dengan tampang bingung. “Lihat Ayah, Bu! Katanya Ayah sudah tidak bekerja lagi, tapi katanya, Ayah, mau ke kantor?”

Park Ji Bin lalu menarik tanganku dari dapur menuju ke kamar. Oh, Tuhan, Park Ji Bin tidak berbohong. Song Seung Hun kelihatan rapi dengan pantalon, lengkap dengan dasi yang menghias leher kemeja lengan panjangnya.

“Aku ke kantor dulu, Kim Tae Hee. Ada rapat hari ini.”

Mataku terbuka lebar menatapnya. Benarkah ucapannya? Mungkin sudah ada jalan keluar yang diusahakan oleh KOMNAS HAM. Orang-orang KOMNAS HAM itu ternyata betul-betul pejuang sejati.

“Rapat apa, Yeobo?”

“Seperti biasa. Rapat tahunan….”

Deg! Jantungku nyaris berhenti. Ya Tuhan. Hampir pingsan aku mendengarnya. Dengan segera aku menghalangi langkah Song Seung Hun. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Matanya, lalu dasinya. Air mataku tiba-tiba tergenang. Aku memeluknya erat-erat.

“Itu masa lalu, Yeobo. Ingat apa yang sudah kau perjuangkan selama tiga bulan ini? Ingat apa yang kau bicarakan dengan KOMNAS HAM di Seoul? Ingat demo-demo yang kau lakukan?”

Dia terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Perlahan-lahan, suatu perasaan yang tidak enak merayapi hatiku. Aku cemas pada kesehatan mental suamiku! Pukulan yang menimpanya terlalu berat. Song Seung Hun tak pernah rela menerimanya!

Melihat keadaannya yang mengkhawatirkan, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kampus pagi ini. Aku perlu bicara dengan Song Seung Hun dari hati ke hati. Tampaknya aku telah lengah membiarkannya bergelut sendiri dengan harapannya yang tak kunjung datang. Satu SMS masuk mengingatkan untuk rapat jurusan, tapi segera kubalas.

Aku sedang sakit, tolong izinkan pada ketua jurusan.

Ya, mungkin inilah arti mimpi-mimpiku beberapa waktu berselang. Rumahku kebanjiran, rumahku disiram dan dibakar seseorang, lalu Song Seung Hun terbawa arus sungai, dan hampir tenggelam….

Ibu Song Seung Hun benar, memang seharusnya aku dan Song Seung Hun mandi kembang bersama untuk menolak bala. Tapi, aku tidak percaya pada tradisi itu.

Menurutku, Bahasa alam dan bahasa mimpi tidak pernah ada keterkaitannya. Semua itu bunga tidur semata. Namun, saat ini, aku menjadi gamang pada keyakinanku. Karena, persis seperti di dalam mimpiku, Song Seung Hun benar-benar ‘tenggelam’. Sepanjang hari dia mengunci diri di ruang kerjanya di rumah, menulis-nulis sesuatu tanpa ingin diganggu.

Setumpuk buku petunjuk psikologi modern menjadi bacaanku sekarang ini dan sedapat mungkin berusaha kuterapkan dalam menghadapi sikap introvert Song Seung Hun yang membingungkan.

Ha, depresi memang kerap menyerang orang yang terlalu serius dan ambisius seperti Song Seung Hun. Makanya, jangan berbicara dengan nada tinggi, jangan bicara hal-hal yang berat-berat. Jangan mengungkit tentang pekerjaannya, jangan bersikap meremehkan, dan jangan….Ughh, setumpuk buku itu cuma teori!

“Kim Tae Hee, kira-kira dasi yang bagus yang mana, ya?” Song Seung Hun memintaku memilihkan satu dari beberapa dasi yang diajukannya. Dia mulai lagi. Ayolah, tunjukkan sikap positif. Aku mengacu pada teori itu lagi.

“Yang bergaris biru.” Nah, dia tersenyum. Tampak senang dengan responsku yang positif.

“Kemejanya?”

“Yang biru muda,” aku menjawab malas. Dia kembali tersenyum senang. Aku mengerti arah pembicaraannya, pilihanku itulah yang nanti dikenakannya untuk ‘ke kantor’ pagi ini.

“Bisakah kau Antarkan aku ke kampus, Yeobo?” aku mengalihkan pembicaraan. Dia melirikku dari balik kacamatanya. “Aku ke kampus tidak lama. Bukan jadwal mengajar, cuma mau memberikan proposal beasiswa magister ini ke rektorat. Bisa kan?”

Song Seung Hun menggeleng. “Pagi ini tidak bisa. Aku sibuk, ada proposal kredit yang harus segera dianalisis. Kau pergi sendiri saja, ya,” dia lalu meninggalkanku tanpa ekspresi. Huu! Aku membanting setumpuk buku petunjuk psikologi. Gombal! Mungkin ada benarnya kudengarkan pendapat dan saran dari keluarga Song Seung Hun, alias keluarga Incheon. Kelihatannya Song Seung Hun memang ada yang ‘menjaili’. Untuk kali pertama, aku mulai memercayai adanya kekuatan lain.

Coba cari di rumahmu, siapa tahu ada yang menggantungkan tulang ikan tanpa kepala di atas pintu-pintu rumah. Itu pertanda ada yang menginginkan Song Seung Hun menjadi gila, Kim Tae Hee.

Aku teringat ucapan ibu Song Seung Hun. Mertuaku, wanita berwajah bulat telur yang manis itu, begitu prihatin terhadap keadaan anak lelakinya. Di tengah ucapannya, berkali-kali dengan halus terselip nada penyesalan karena kami tidak menjalankan ritual penolak bala yang dianjurkannya.

Tapi, tidak untuk kali ini. Aku langsung menuruti perintahnya. Seluruh pintu kuperiksa dengan teliti, tapi yang kucari tidak ada. Rumahku bersih dari hal-hal yang berbau aneh.

Mungkin ada yang menanamkan bungkusan jarum di depan rumahmu, coba cari!

Maka di setiap sudut pekarangan kucari. Bahkan, aku rela mengorek-ngorek setiap gundukan tanah yang kucurigai. Tapi, tetap tidak ada tanda apa-apa.

Kemudian enam orang paranormal yang konon kudengar hebat, kudatangi. Semuanya memang mengatakan Song Seung Hun sedang ‘dijaili’. Ada aura hitam di wajahnya yang tidak dapat dilihat secara kasatmata. Aura hitam diisyaratkan sebagai warna pengganggu, penghalang pandang, dan pikiran. Itu yang harus segera dibuang!

Sembelih ayam hitam, lalu darahnya dicipratkan ke seluruh sudut rumah. Jangan lupa tanam serpihan gading gajah yang dibungkus dengan kain hitam. Dan, mandi kembang dari tujuh sumur, sisa airnya disembur-sembur….

Segala ritual kuikuti hingga akhirnya aku capek sendiri. Song Seung Hun tidak mengalami perubahan yang berarti….

“Kenapa tidak ajak Ayah ke psikiater saja, Bu,” usul Lee Hong Ki. Anak itu dapat membaca keletihanku.

“Ayahmu tidak gila, Lee Hong Ki!” sergahku, sedih. “Kalau kalian sayang pada Ayah, jangan pernah berpikir ayahmu gila!”

“Bukan begitu, Bu. Aku tidak pernah berpikir Ayah gila. Tapi, kita harus membawa Ayah berobat. Sudah empat bulan, tapi Ayah tidak ada perubahan.”

Ucapan Lee Hong Ki benar. Song Seung Hun tidak hanya perlu paranormal, dia juga perlu terapi medis, mungkin bimbingan dari seorang psikiater?

Aku mulai mencari waktu untuk membawa Song Seung Hun berobat. Waktu luangku tidak banyak semester ini, jadi harus disiasati dengan cermat. Untuk itu, aku terpaksa harus menunda konsultasi dua orang mahasiswaku. Mengajar di dua universitas yang berbeda memang sangat menyita waktuku.

Hari yang disepakati adalah Selasa malam. Sore, aku sudah pulang. Kepada Song Seung Hun kukatakan, kami akan mengunjungi seorang temanku. Aku memintanya berpakaian rapi. Sengaja kubiarkan dia memilih pakaian sendiri, sekadar menguji kemampuan verbalnya. Astaga! Sebuah celana pendek berpadu dengan kemeja tangan panjang yang dipilihnya!

“Ini bukan pertemuan formal, kan!” ucapnya cemberut, saat kuganti pakaian yang sudah dipilihnya.

Dokter Park Shin Yang, psikiater yang kupilih hanya karena pertimbangan tempat yang berada di pinggiran Incheon, kuperkirakan umurnya di atas lima puluhan. Berarti, dia cukup berpengalaman menangani kasus serupa ini. Aku merasa agak sedikit tenang, menyadari Song Seung Hun berada di tangan orang yang tepat.

“Nona, anaknya?” tanyanya sambil menyalamiku Dia bukan orang pertama yang mengatakan itu. Wajah kekanakan dengan celana jeans yang membalut tubuh langsingku, kerap mengecoh orang yang melihatku berpasangan dengan Song Seung Hun.

“Saya istrinya, Dok!” tegasku. Lalu aku menguraikan permasalahan yang ada sedetail mungkin.

Pandangannya beralih pada Song Seung Hun. Laki-laki berwajah bulat bermata sipit di balik kacamatanya itu kemudian memberikan sebuah buku ensiklopedi hewan untuk dibacanya.

Dahiku mengernyit. Apa hubungannya?

Song Seung Hun membaca satu halaman buku ensiklopedi itu. Suaranya tenang, intonasinya jelas, pengucapannya tegas.

“Apa hubungannya ini dengan sastra Inggris?” tanyanya, bingung. Dia masih mengira, dokter itu adalah temanku. “Dia dosen Sastra Inggris juga, ‘kan?”

Aku mengangguk. “Dia juga orang yang bisa membaca suasana hati orang. Kau bicara saja padanya tentang masalah yang dihadapi sekarang ini, tidak usah ragu,” aku membujuknya secara halus.

“Aku tidak punya masalah apa-apa.” Jawabannya di luar dugaanku. “Aku cuma bingung mengenai masalah di kantorku. Akhir-akhir ini, kenapa, suasananya sepi sekali.”

Dokter Park Shin Yang tersenyum. Diperhatikannnya laki-laki berumur lima belas tahun lebih tua dariku itu dengan saksama. Lalu dia bicara banyak hal yang ringan-ringan. Tapi, berbagai ucapan dokter itu, tidak dapat direspons dengan baik oleh Song Seung Hun. Arah pembicaraan mereka satu ke barat satu ke timur, tidak nyambung.

“Tidak apa-apa…,” ucapnya, di ujung pertemuan kami yang hampir setengah jam itu. “Cuma depresi mental saja, tidak mengarah ke kelainan jiwa. Hanya, terapinya memang agak lama. Saya harap Nona, eh, Nyonya…,” dia berseloroh, “sabar menghadapinya. Dan, teruslah berkonsultasi kemari.” Dia menjabat tanganku dengan hangat. Lalu, dengan agak malu-malu, diserahkannya selembar kertas bertuliskan jumlah yang harus kubayar sebagai biaya obat-obatan dan konsultasi malam itu. Kalau dihitung-hitung, biaya perawatan medis, jauh lebih mahal daripada pengobatan alternatif. Mungkin tiga kali lipat! Tapi, mau bagaimana lagi?

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...