Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 09 April 2011

The Next Story (Chapter 5)


Chapter 5
Australia


Today is very great day. Thank’s, God! Aku betul-betul seperti melayang, tidak sedang menginjak tanah. Obsesiku selama ini akhirnya tercapai juga! Beberapa dosen yang sepertinya sudah mendapat bocoran tentang beasiswa magister yang kudapat, menyalamiku di kantor selepas aku menghadap Dekan.

“Wah, Australia!” Wajahku memerah digoda seperti itu. “Selamat, ya? Kapan berangkat?”

“Mungkin semester depan. SK-nya saja belum keluar! Baru pemberitahuan lisan.”

“You are so lucky, Kim Tae Hee!” pujian itu entah bernada apa. Aku tak punya waktu menganalisisnya. Tapi, bagaimanapun, aku senang mendengarnya.

Di rumah, anak-anak kukabari berita gembira itu. Begitu pula Song Seung Hun. Namun, dia, seperti biasa, tidak merespons apa yang kuceritakan.

“Ibu sudah tahu studi di mana?” Lee Hong Ki bertanya dengan antusias.

“Perth,” jawabku gembira, sembari membayangkan Negara Kanguru yang sudah lama kuidamkan itu.

“Australia itu seperti apa, Bu?” celetuk Park Ji Bin, mengernyitkan alis. Seperti kakek-kakek saja lagaknya!

“Yang jelas, penduduknya berkulit putih dan rambutnya pirang. Lalu, ada binatang kanguru dan koala yang lucu. Iya, kan, Bu?” sahut Park Shin Hye. “Kau mau ikut Ibu, Park Ji Bin, seperti ke Gwangju kemarin? Asyik, ya, jalan-jalan terus. Tidak usah sekolah!”

Dengan polos Park Ji Bin mengangguk.

“Ah, nanti pulangnya kau sombong. Ke Gwangju saja ceritanya setahun!” Godaan Park Shin Hye membuat Park Ji Bin cemberut.

“Ayah bagaimana, Bu?” pertanyaan Lee Hong Ki membuatku tersadar. Ini masalah paling sulit yang harus kujelaskan kepada mereka. Bagaimanapun, aku bukan wanita karier yang melupakan keluarga! Aku tahu, dari nada bertanya Lee Hong Ki, ia khawatir aku tidak memperhitungkan ayahnya dalam rencana-rencanaku selanjutnya.

Aku memandang Song Seung Hun. Ia masih serius menulis-nulis sesuatu. Gayanya persis seperti sedang mengerjakan proposal ketika ia masih aktif bekerja dulu! “Ibu akan bicara pada Paman kalian. Mudah-mudahan ada jalan keluarnya,” aku menghela napas panjang dengan hati gundah.

Benar saja, kebahagiaanku cuma bertahan beberapa minggu. Setelah itu, redup kembali. Kebimbanganku, membuatku meminta kebijakan dekan agar menunda keberangkatanku sampai tahun depan. Pertimbanganku hanya satu: apa lagi kalau bukan Song Seung Hun dan, tentu saja, anak-anak.

“Program ini tidak bisa ditunda, Mrs. Kim Tae Hee. Itu kebijakan rektorat, bukan saya,” suara berat Mr. Ryu Seung Ryong terdengar, menjawab permohonanku.

“Berarti, ada yang akan menggantikan saya?” Aku menatapnya ragu.

Dia mengangguk. Wajahnya yang keras, mengingatkanku pada ayahku.

“Kalau karena suamimu tidak mengizinkan, apa tidak sebaiknya dibicarakan lagi, Mrs. Kim Tae Hee? Ini kesempatan sangat baik untuk jenjang karier anda. Tidak semua orang, bisa mendapat kesempatan emas seperti ini….”

Aku terdiam di ruang dekan itu. Alasan yang kuberikan padanya memang tidak terlalu kuat, sehingga tidak cukup memaksanya untuk menaruh kasihan padaku. Ah, kalau saja kukatakan alasan yang sebenarnya, mungkin dekan itu dapat mengerti kesulitanku. Tapi rasanya, sulit sekali. Lidahku kelu mengungkapkannya, untuk tujuan apa pun juga. Ya, itu kan sama saja membuka aib keluargaku!

“SK akan keluar dua bulan sebelum keberangkatan. Masih ada waktu untuk berpikir. Tapi, saya sangat berharap anda bisa berangkat. Biar tidak ada berita buruk bagi kakak anda!”

Kalimatnya yang terakhir menyisakan pertanyaan di benakku. Apa memang benar bukan karena Ji Sung Oppa, kakakku, yang berada di balik kesuksesanku mendapatkan beasiswa ini? Ah, mengapa aku mulai mencurigai kolusi antara dua guru besar yang bersahabat karib itu?

Jika benar begitu, berita ini sudah pasti menyeberang pula ke Gwangju, dan mampir di telinga orang-orang yang tidak pernah kuharapkan untuk mengetahuinya. Bukannya aku tak ingin berbagi kabar gembira, tapi untuk saat sekarang, rasanya belum klop waktunya bagi mereka untuk menerima berita itu. Mereka tentu mencecarku dengan berbagai pertanyaan, bila aku tidak jadi berangkat ke Australia, atas permintaan sendiri pula. Itu yang tidak aku mau!

Maka, aku ke luar dari ruang dekan dengan aura hitam yang melekat pekat di wajahku. Ah, hidup memang dilematis!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...