Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 09 April 2011

The Next Story (Chapter 6)


Chapter 6
Rumah Sakit


Song Seung Hun terus bertingkah. Kadang-kadang, dia tidak bicara seharian. Kadang-kadang, sepanjang hari dia bisa bicara apa saja seputar pekerjaannya. Kalau sudah begitu, pasti selalu diakhiri dengan amukannya yang mengerikan.

Kondisi kejiwaannya makin buruk. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengatasinya. Bahkan, dalam satu minggu ini, beberapa tetangga melapor, bahwa mereka sering dilempari oleh Song Seung Hun dengan benda apa saja yang kebetulan dipegangnya, apabila mereka lewat di depan rumah.

Setiap kali laporan itu terdengar, aku terpaksa mengemis maaf dan pengertian pada mereka. Sejauh ini, mereka memang bisa mengerti. Tapi, sampai kapan? Bahkan kudengar, mulai populer sebutan yang ampuh untuk menakut-nakuti anak-anak di sekitar rumah kami. “Awas! Ada Paman Song Seung Hun! Awas, jangan dekat-dekat rumah Park Ji Bin!”

“Ya, depresi total yang diderita Tn. Song Seung Hun agaknya sudah menggejala kepada Skizofrenia (Gangguan Kejiwaan).” Keterangan dari Dokter Park Shin Yang, psikiater yang merawat Song Seung Hun selama ini, seperti sebuah vonis. Namun, ia coba menenangkanku. Katanya, itu hanya penyakit klinis kejiwaan biasa. Song Seung Hun bisa sembuh dengan pengobatan medis dan terapi mental yang intensif. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika Song Seung Hun dirawat di rumah sakit jiwa.

Ah, apa benar demikian? Selama ini aku pontang-panting mengusahakan berbagai pengobatan bagi Song Seung Hun. Bahkan, pengobatan alternatif pun kulakukan. Aku mulai yakin, ada seseorang yang menyetir emosinya dan membawanya hingga terperosok ke dalam ‘jurang’ seperti ini! Namun, semuanya tidak menjamin kesehatan mentalnya. Benarkah aku harus membawanya ke rumah sakit jiwa? Memikirkannya saja aku sudah mual!

“Ibu!” Park Ji Bin tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamarku. “Ayah ngamuk lagi! Semua kertas kerjanya berantakan, dibuangnya ke mana-mana! Coba Ibu lihat dulu….”

“Tolong panggil Lee Hong Ki Hyung saja, Sayang. Minta kakakmu itu menenangkan Ayah. Ibu capek sekali,” aku menanggapinya tanpa semangat. Kejadian ini sudah terlalu sering. Sejak delapan bulan lalu! Ah, apa boleh buat! Maafkan aku, Song Seung Hun. Mungkin benar saran dari dokter jiwa yang merawatmu. Kami harus membawamu ke rumah sakit jiwa!

Ugh. Aku benci mendengar istilah ‘rumah sakit jiwa’, sepertinya terlalu menghakimi pasiennya. Seharusnya istilah itu diganti dengan ‘pusat rehabilitasi mental’ atau apalah. Lebih baik aku memakai istilahku sendiri saja!

Anak-anak akhirnya kuajak bicara, begitu pula keluarga Song Seung Hun, tentang jalan keluar yang cuma satu-satunya ini. Kukatakan pula biaya yang harus ditanggung setiap bulannya. Lumayan mahal, karena Song Seung Hun mendapat perawatan khusus dan juga ruangan khusus seperti yang kuinginkan. Tapi, kuyakinkan pada mereka, itu semua belum seberapa jika harus dibandingkan dengan kesembuhan Song Seung Hun!

“Apa ini ada kaitannya dengan kepergianmuke Australia?” Cha Seung Won Oppa, kakak Song Seung Hun, tampak agak keberatan. Dia lebih percaya, adiknya bisa sembuh dengan pengobatan alternatif. Usaha itu masih saja terus dicobanya.

“Bisa jadi, Oppa. Kalaupun Song Seung Hun belum dapat disembuhkan sebelum keberangkatan saya, paling tidak, itu tempat terbaik baginya saat saya pergi nanti. Saya merasa lebih tenang. Begitu juga anak-anak. Ini jalan satu-satunya bagi kita semua, Oppa,” aku berusaha meyakinkan. Mereka akhirnya setuju. Itulah yang kusuka dari keluarga Incheon ini, tidak keras kepala dan sok mengatur seperti keluargaku di Gwangju!

Aku mengajak Song Seung Hun ke rumah sakit jiwa satu minggu kemudian, bersama Park Shin Hye dan Lee Hong Ki. Park Ji Bin tidak kuajak, walau dia memaksa ikut. Aku takut, kondisi kejiwaannya yang belum stabil, akan terpengaruh keadaan di sana.

Rumah sakit itu luas sekali, walau tampak tua. Juga sangat bersih, dan dari luar, kelihatan begitu tenang. Tapi, ketika masuk ke dalam dan berjalan di sepanjang lorong-lorong pusat rehabilitasi mental itu, beberapa kali aku terkaget-kaget karena tingkah laku pasien-pasiennya.

“Tuan…,” seorang perempuan muda, mendekati Lee Hong Ki, “mau cari saya, ya? Wah, maaf, jangan dikira karena saya ditinggal suami, saya mau denganmu!” Dia menjulurkan lidahnya, meledek Lee Hong Ki. Dengan susah payah aku dan Park Shin Hye menahan tawa.

Dokter Park Shin Yang, psikiater Song Seung Hun yang menemani kami berorientasi, dengan halus menyuruhnya pergi.

“Kenapa dia, Dok?” mataku mengiringinya pergi menjauh. Mulutnya masih komat-kamit.

“Ditinggal suaminya menikah lagi.”

Oh, pantas! Tentu sakit sekali rasanya dikhianati oleh orang yang kita cintai!

“Kalau yang itu?” kataku, menunjuk seorang wanita separuh baya, yang sejak aku datang ke rumah sakit ini, sudah menyita perhatianku. Rambutnya disanggul acak-acakan dan terus saja menari dengan gerakan yang begitu gemulai.

“Dia bekas penari istana. Baru dua bulan berada di sini, dan keadaannya sudah jauh lebih baik. Awalnya dia suka…telanjang!” jelas Dokter Park Shin Yang. Tentu dia tidak bermaksud menggodaku, namun penjelasannya membuat wajahku memerah. Aku mendengar Lee Hong Ki dan Park Shin Hye mengikik di belakang. Huss!

Dokter Park Shin Yang lalu mengajak kami berbelok ke kanan, memasuki kamar yang sudah dipersiapkan untuk Song Seung Hun. Kamar itu luas dan bersih, rasanya cukup nyaman untuk ditempati suamiku.

“Sekarang kita berada di mana?” Song Seung Hun tiba-tiba bertanya. Kulihat kebingungan di wajahnya. Sorot matanya mendadak liar melihat pintu kamarnya setengah tertutup terali. Lingkungan ini jelas asing baginya!

“Ini pusat rehabilitasi mental, Yeobo. Di sini kau akan tinggal beberapa waktu. Anggap saja rumahmu sendiri, ” aku memilih kata-kata dengan hati-hati.

“Jaraknya dari kantor, jauh tidak? Kalau lebih jauh, aku tidak mau….”

Aku menghela napas panjang, bertukar pandang dengan anak-anak. Memang semakin jauh saja, Song Seung Hun. Bahkan, tidak tertempuh lagi!

“Aku mau pulang saja, Kim Tae Hee….” Dia menarik tanganku, keluar dari kamar itu. Aku meminta pertolongan Dokter Park Shin Yang lewat tatapan mataku. Dia cepat menangkap sinyal itu.

“Kantor Tn. Song Seung Hun justru pindah kemari. Jadi, Tuan bisa ke kantor jam berapa saja,” bujuknya, lembut.

Song Seung Hun terdiam. Dia mengangguk-angguk, menerima ‘kepindahannya’ dengan senang. Mendadak, tempat itu disukainya.

“Anda dan anak-anak bisa meninggalkannya sekarang. Biarkan Tn. Song Seung Hun beristirahat dulu,” Dokter Park Shin Yang mengajak kami keluar. Song Seung Hun mengikuti dari belakang. Dia tidak mengizinkan aku dan anak-anak pergi.

“Kami pulang sebentar ya, Yeobo. Besok kemari lagi menjengukmu.“ Tapi, tanganku dipegangnya erat-erat. Pergelanganku sakit. Aku hampir menangis karena rengkuhan itu.

“Sebentar lagi dia akan mengamuk,” aku mewanti-wanti Dokter Park Shin Yang. Aku sudah paham betul gejalanya.

Seorang suster disuruhnya mengambil obat penenang, untuk berjaga-jaga. Sebelum suster itu kembali, Song Seung Hun sudah benar-benar mengamuk.

“Kalau kau pulang, aku ikut pulang! Aku tidak mau di sini bersama orang-orang aneh ini!” Dia melemparkan pena yang semula berada di sakunya ke arah Dokter Park Shin Yang. Aku meminta Lee Hong Ki dan Park Shin Hye segera menjauh.

Dua orang suster datang dan menenangkan Song Seung Hun. Dokter Park Shin Yang menyuntikkan sesuatu di lengannya, mungkin obat penenang. Beberapa menit kemudian, Song Seung Hun tertidur pulas.

“Tn. Song Seung Hun sudah tenang. Nyonya dan anak-anak bisa pulang sekarang….”

Justru sekarang aku yang tidak tega meninggalkannya. Langkahku jadi berat. Aku takut, kalau nanti terbangun, Song Seung Hun mencariku. Dan, tentu dia akan mengamuk kembali melihatku tidak ada!

“Ayo, pulang, Bu. Sudah sore,” Park Shin Hye mengingatkanku. Aku mengangguk, menatapnya sedih. Perlahan aku mendekati suamiku dan mencium pipinya sebelum dengan berat hati meninggalkan tempat itu.

***

Mobil keluaran tahun 2000 yang biasa kupakai ke kampus akan kujual. Iklannya sudah kupasang sejak dua minggu lalu di beberapa harian Incheon. Sebenarnya, beberapa orang sudah menawarnya, tapi belum ada yang cocok. Jadi, mobil itu belum dapat kulepas.

Pernah ada seorang pria yang menawar mobil itu jauh di bawah harga yang kutawarkan. Alasannya, meskipun dari luar kelihatan mulus, mesin mobil itu sudah tak begitu baik lagi: mudah panas, dan sebagainya.

Aku betul-betul tersinggung karenanya. Pertama, aku tersinggung mendengar tawarannya yang begitu rendah, selisih empat puluh juta dari tawaranku. Mentang-mentang aku wanita, dia pikir aku tidak tahu harga pasaran kendaraan.

Yang kedua, dia sudah berani-beraninya membodohiku dengan mengatakan bahwa mesin mobil itu sudah tidak baik lagi. Padahal, aku tahu betul, setelah Song Seung Hun tidak merawatnya lagi, masih ada Lee Hong Ki yang begitu menyayangi dan merawatnya dengan baik.

“Seharusnya, Ibu pasang iklan lengkap dengan harganya. Jadi, orang yang mau beli, bisa berpikir-pikir dulu sebelum datang. Kalau mereka menawar, ya, paling tidak, tidak terlalu jauh dari penawaran kita,” usul Lee Hong Ki, yang kupikir ada benarnya juga. “Tapi, ya, sudahlah, Bu. Kita tunggu saja. Masa’ iya, mobil bagus begini, tidak ada yang mau?”

Benar saja. Seorang rekanku, rupanya telah membantu menawarkannya pada seorang dosen fakultas teknik tanpa sepengetahuanku. Dia mendatangiku di kantin kampus.

“Mobil Mrs. Kim Tae Hee mau dijual?” tanyanya.

“Ya,” aku menjawab tanpa basa-basi. “Itu mobilnya!” Dia mengikuti arah telunjukku. Makan siang kali ini kuselesaikan dengan tergesa. Tak sabar, aku segera mengajak calon pembeli itu menuju ke tempat parkir.

Dengan antusias dia memeriksa mobil itu. Aku menawarinya untuk mencobanya berkeliling kampus. Dia tidak menolak. Hampir sepuluh menit dia berkeliling kampus sebelum mengembalikannya padaku.

“Saya akan kabari Ibu dua hari lagi,” ucapnya, setelah beberapa saat kami mengadakan negosiasi harga. Jabatan tangannya yang erat tampaknya seperti sebuah kalimat, “Oke. Deal.”

Dua hari kemudian, calon pembeli yang bernarna Mr. Bae Yong Jun itu datang menemuiku, dan menyatakan persetujuannya. Transaksi dilakukan seminggu lagi, menunggu dia kembali dari sebuah seminar di luar kota.

“Kalau nanti mobil kita laku, kita jalan-jalan ke Pulau Jeju ya, Bu!” Park Ji Bin mulai merayuku. “Atau kita ke Thailand, seperti keluarga Paman Cha Seung Won!”

“Uang itu tidak akan dipakai untuk macam-macam, tapi untuk biaya ayahmu dan untuk kebutuhan kalian kalau nanti Ibu jadi berangkat.”

“Ayah lagi… Ayah lagi!” Park Ji Bin mengomel. “Ibu ini lebih sayang Ayah….”

“Apa sebaiknya kita beli mobil yang lebih murah, biar Ibu tidak repot ke kampus?” Lee Hong Ki mengusulkan.

Aku menggeleng. “Tak usah. Ibu bisa pinjam motor kalian, ’kan? Untuk sementara, Ibu juga tak keberatan naik kendaraan umum.”

Ketiga anak-anak itu saling pandang. Aku mengerti kekecewaan mereka, tapi terpaksa kuabaikan.

“Masa’ kita tidak beli apa-apa?” Park Ji Bin merengek lagi. “Uang Ibu kan banyak. Kenapa, Ibu jadi pelit begini?”

Ekspresi kekecewaan mereka begitu kuat. Lee Hong Ki dan Park Shin Hye yang kukira bisa dengan mudah diberi pengertian, ternyata sama susahnya dengan Park Ji Bin. Mereka kira hasil penjualan mobil itu tidak akan habis hanya untuk biaya rumah sakit ayahnya. Dasar anak-anak! Mereka tidak berpikir panjang, berapa lama mereka kutinggalkan. Dan, berapa lama mereka bisa bertahan hidup, jika tidak mencoba berhemat sedini mungkin.

“Oke, kalau sikap kalian seperti itu, penjualan mobil itu Ibu batalkan. Biar tidak ada tuntutan macam-macam. Dan, Ayah, kita keluarkan saja dari rumah sakit. Lebih baik, Ibu juga batal sekolah lagi ke Australia,“ aku mengancam.

“Iya?”

“Jangan, Bu,” suara Lee Hong Ki terdengar pelan.

“Park Shin Hye?”

“Tak usah, Bu.” Seperti biasa, dia mengekor keputusan Lee Hong Ki.

“Park Ji Bin?”

Dia menggeleng tanpa suara. Bibirnya mengecil. Pembicaraan malam itu akhirnya ditutup dengan persetujuan sepihak. Aku tahu, mereka kecewa pada keputusanku. Park Ji Bin mengataiku sebagai ‘otoriter’, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang berani menentangku. Mungkin mereka sadar, perdebatan yang panjang tidak mengubah pendirianku sama sekali. Bagaimanapun, juga, ini demi kepentingan bersama!

Akhirnya transaksi itu benar-benar terjadi. Anak-anak dan dua orang keluarga Song Seung Hun menjadi saksi. Dengan berat hati, aku menyerahkan surat-surat bukti kepemilikan mobil.

“Mobil ini untuk istri saya. Kado ulang tahun perkawinan kami,” Mr. Bae Yong Jun menjelaskan, tertawa. Kami bersalaman. Perasaan nyeri menyerang batinku melihat mobil itu melaju perlahan keluar dari garasi. Sewaktu ia menghilang di tikungan jalan, pelupuk mataku terasa panas.

Ditunjuknya aku sebagai tuan rumah arisan ibu-ibu kompleks perumahan kami kali ini, membuatku terkejut. Agak kebingungan, aku mencoba menolaknya. Tapi, mereka sudah sepakat, menunjuk rumahku untuk arisan berikutnya. Lucu! Seharusnya penunjukan itu berdasarkan hasil kocokan, seperti aturan main selama ini, bukan lewat main tunjuk seperti ini. Tapi, protesku tidak mereka dengar.

“Ayolah, Ny. Kim Tae Hee!”

“Sudah lama kami ingin mencicipi makanan Gwangju Ibu Dosen….”

Rayuan mereka macam-macam. Padahal, aku tahu persis, mereka semua punya satu ‘misi’: masuk ke rumahku dan menyelidiki keadaan di dalamnya untuk memastikan apakah benar Song Seung Hun dipasung, seperti isu yang tengah santer beredar di sekitar perumahan ini!

Aku tidak tahu persis siapa yang menyebarkan isu itu. Ketidakberadaan Song Seung Hun selama dua bulan ini, agaknya telah menimbulkan dugaan macam-macam. Tetapi, sebagian besar, mereka memang menuduhku telah memasung Song Seung Hun!

Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan! Tapi, aku malas untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada siapa pun. Biarlah mereka menemukan jawaban masing-masing.

“Bagaimana Ny. Kim Tae Hee?” Ibu RT meminta kepastianku. Gerombolan ibu-ibu di kompleksku ini benar-benar tidak putus asa!

“Baiklah.” Jawabanku akhirnya disambut dengan tepukan. Mereka tampaknya puas melihat aku terpojok seperti itu.

Aku mempersiapkan acara arisan sebaik mungkin. “Buka semua kamar, Park Shin Hye. Biar mereka tahu, tidak ada yang namanya kamar pasungan di sini!” perintahku pada Park Shin Hye. Semua pintu kamar dibuka, bahkan pintu gudang yang biasanya terkunci, juga terbuka.

“Nanti mereka kira, Ayah… kita pasung di atas, Bu.”

“Kalau perlu, akan Ibu ajak pula mereka ke atas. Biar mereka puas!” nada suaraku meninggi. Aku agak emosi bila mengingat ‘misi utama ‘ mereka datang ke rumah kami. Pakai alasan arisan segala!

Peserta arisan datang satu per satu. Kuperhatikan, ada saja di antara mereka yang mencuri pandang, mengelilingi situasi rumah kami lewat ekor mata mereka. Beberapa orang, bahkan Ibu RT sendiri, secara terang-terangan menjelajahi seluruh lantai bawah.

“Kalau gerah di bawah, boleh naik, ke lantai atas!” aku sengaja memancing reaksi mereka. Pucuk dicinta, ulam tiba. Ibu RT tentu saja segera menyambut baik usulku. Berbondong-bondong mereka naik. Aku mengangkat bahu, bertukar pandang dengan Park Shin Hye. Dia kulihat sama geramnya denganku. Tingkah mereka terkesan seperti polisi yang sedang menyelidiki sesuatu saja!

“Rumah Ny. Kim Tae Hee besar juga, ya?” Ibu RT turun dari lantai atas dengan perasaan kecewa. ‘Kamar pasungan’ yang dicarinya tidak ditemukan. “Ada berapa kamar semuanya di rumah ini, Ny. Kim Tae Hee?”

“Oh, cuma ada empat. Ibu-Ibu sudah melihat semuanya, ‘kan?” sindirku.

Dia mengangguk. “Tapi, kenapa, saya tidak melihat Tn. Song Seung Hun, ya? Ke mana, dia?”

Nah, akhirnya! Beruntung aku sudah mempersiapkan jawabannya jauh-jauh hari. “Oh, suami saya baru saja keluar bersama Lee Hong Ki dan Park Ji Bin.”

“Tapi, saya memang lama sekali, tidak melihat Tn. Song Seung Hun, ke mana saja? Dinas ke luar kota?” pertanyaan itu jelas basa-basi yang sangat berlebihan. Aku ingin muntah melihat sikap ibu-ibu itu. Jelas-jelas mereka tidak buta, melihat keadaan suamiku. Bagaimana mungkin mereka masih menanyakan pekerjaannya?

“Ada. tidak ke mana-mana. Kalau mau bertemu, sebentar lagi juga Song Seung Hun dan anak-anak pulang….”

Arisan telah selesai, tapi Ibu RT dan beberapa tetangga lainnya belum juga pulang. Mereka masih asyik bercerita tanpa menghiraukan isyarat keberatanku terhadap keberadaan mereka di rumah ini. Mungkinkah mereka benar-benar ingin menunggu Song Seung Hun pulang?

Isu itu makin merebak saja. Walau sudah membuktikan bahwa kamar pasungan itu tidak ada, mereka tetap percaya aku memang melakukannya. Hanya, mereka tidak tahu di mana tempatnya.

Tetapi, syukurnya, sejak arisan itu, kepercayaan mereka terpecah. Hanya sebagian saja yang percaya, sebagian lagi sudah tidak. Bukan itu saja, sebagian dari mereka bahkan sudah dapat berpikir secara rasional.

“Ny. Kim Tae Hee itu dosen, tak mungkin melakukan cara seprimitif itu.” Park Shin Hye pernah mendengar ucapan seperti itu secara tidak sengaja.

“Kelihatannya, yang paling ngotot memojokkan kita justru tetangga sebelah, Bu. Kata orang-orang, dia juga yang pertama kali menyebarkan isu itu….”

“Hus! Tahu dari mana?”

“Teman Park Ji Bin yang bilang begitu. Bibi Sung Yu Ri itu sering menggosipkan kita dengan orang dari blok depan!”

Jika demikian, berarti dugaanku selama ini benar. Hanya, aku tidak mau mengungkapkannya. Ny. Sung Yu Ri, tetangga sebelah, memang ‘biang gosip. Dia selalu ingin tahu tentang kehidupanku dan Song Seung Hun. Sepertinya, aku ini seorang selebriti yang kehidupan pribadinya begitu menarik untuk diketahui dan ceritanya bisa dijual ke infotainment.

“Ibu harus bicara dengan Bibi Sung Yu Ri, Bu.” Sudah berkali-kali Park Shin Hye memintaku untuk tidak berdiam diri atas kebohongan itu. “Kalau tidak, dia akan terus bicara macam-macam.”

“Ibu tak mau ribut,” jawabku, santai. Park Shin Hye kecewa pada sikapku. Dia langsung meninggalkan ruang tengah itu.

Aku bukan tidak ingin mengadakan pembelaan. Tapi, kalau Ny. Sung Yu Ri kutemui dan memintanya untuk berhenti bicara tentang keadaan kami, itu hanya akan memperpanjang permasalahan.

Dari kali pertama isu itu sampai ke telingaku, aku sudah tidak punya keinginan untuk menggubrisnya, atau berusaha untuk mengklarifikasi berita itu. Ya, buat apa? Aku yakin, tanpa banyak bicara pun, isu itu teredam dengan sendirinya!

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...