Chapter 7
Tiga bulan kemudian
Istirahat makan siang yang tidak terlalu panjang kali ini, kugunakan untuk menelepon Lee Hong Ki atau Park Shin Hye. Hari Minggu kemarin, ketika kuhubungi, ternyata mereka tidak menjenguk Song Seung Hun. Lagi-lagi, tugas kuliah yang harus diselesaikan secepatnya, yang menjadi alasan mereka. Maka kuminta hari ini, siapa pun yang tidak sibuk kuliah, harus menjenguk ayahnya dan mengabarkannya padaku hari ini juga.
“Ibu kapan pulang?” Lee Hong Ki lagi-lagi mempertanyakan hal itu.
“Satu minggu lagi.”
“Tidak sekalian mengurus paspor dan visa?”
Aku terdiam sejenak. Sudah banyak orang yang berpesan seperti itu padaku. Mumpung di Seoul, sekalian saja mengurus surat-surat keberangkatanku. Jadi nanti tidak repot lagi.
Padahal, hingga detik ini, kepastian keberangkatanku masih mengambang. Bukan ada yang menghambat — semua birokrasi rektorat berjalan lancar, tapi keraguanku sajalah yang menjadi penyebabnya. Aku tidak tega meninggalkan Song Seung Hun dalam jangka waktu lama. Dia membutuhkan aku. Hanya akulah orang yang dia paling kenal baik dalam ‘dunia mayanya’.
Lee Hong Ki meneleponku lima jam kemudian, persis setelah kelompok diskusiku selesai mengadakan presentasi. “Bagaimana, Lee Hong Ki. Sudah menjenguk Ayah?”
“Ya, Ayah baik-baik saja. Agak kurusan, tapi kelihatannya banyak kemajuan. Ayah sepertinya mengenaliku, dia bahkan menyebut namaku dengan jelas.”
Oh, rupanya interaksi yang terbangun saat mereka berdua berbicara tersambung dengan baik! Biasanya, Song Seung Hun tidak lagi mengenal anak-anaknya. Mungkinkah karena sudah cukup lama ketiga anak itu segan bicara dengannya?
“Ayahmu bilang apa?”
“Cuma beberapa patah kata saja, Bu. Ayah lebih asyik membaca koran.”
“Kau bertemu dengan Dokter Park Shin Yang?”
“Tidak. Aku cuma lima belas menit di sana, Bu. Jadwal kuliahku cuma kosong satu jam.” Aku mengerti kesibukan Lee Hong Ki. “Mungkin minggu depan, aku ke sana lagi. Aku akan menelepon Ibu lagi,” dia berjanji. Hatiku merasa sedikit tenteram mendengarnya.
Apa pun laporan Lee Hong Ki yang kudengar saat ini, sudah merupakan kabar baik. Kesehatan mental Song Seung Hun mengalami kemajuan waktu demi waktu. Hanya sayang, kemajuan itu tidak kurasakan secara langsung.
Aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi di Seoul. Kalau saja kursus yang kutempuh sekarang ini tidak ada manfaatnya untuk meningkatkan kredit poin-ku sebagai Dosen, aku sudah menolaknya.
“Ini perintah Dekan. Mrs. Kim Tae Hee harus mau,” ucap ketua jurusan waktu itu mengenai alasan penunjukannya.
Ada maksud terselubung yang kutangkap dari perintah itu. Diam-diam, Mr. Ryu Seung Ryong, yang setahun ini menjabat sebagai dekan, tampaknya memang sengaja mengorbitkan aku
-thank’s God karena telah menunjuk sahabat karib Ji Sung Oppa sebagai dekanku- sehingga banyak pertemuan dinas penting yang melibatkan aku, seperti saat ini.
Memang tampaknya berlebihan dan sedikit curang, tapi aku menikmatinya. Hanya satu yang kutakutkan, beberapa kemudahan yang begitu sering kudapatkan ini, memancing rasa cemburu para seniorku. But, I don’t care!
Lee Hong Ki menepati janji yang dikatakannya seminggu lalu. Dia meneleponku di hari Senin berikutnya. “Ayah tadi menanyakan Ibu!” Laporannya membuat hatiku berbunga. Itu suatu kemajuan yang kedengarannya luar biasa!
“Aku menceritakan bahwa Ibu sedang ikut kursus di Seoul dan sebentar lagi akan sekolah di Australia. Nah, mau tahu apa kata Aya, Bu?”
“Apa? Ayah bilang apa?” aku tidak sabar mendengar ceritanya.
“Ibu hebat! Ayah teramat senang dan bangga mendengarnya! Katanya, itu merupakan mimpi Ibu sejak dulu! Benar begitu, Bu?”
Aku hampir menangis karena terharu dan bahagia. Ah, sudah sejauh itukah perkembangan kesehatan mentalnya? Menurut Dokter Park Shin Yang, bila Song Seung Hun sudah mulai dapat berinteraksi dengan orang lain selain diriku, berarti itu awal menuju pemulihan mentalnya. Berarti tinggal beberapa langkah lagi untuk mencapai tahap akhir.
Satu-satunya hal yang agak kusesali adalah, aku melewatkan saat-saat itu. Dia justru mengalami banyak kemajuan saat tiga minggu kutinggalkan. Mungkin kebahagiaan itu lebih bisa kurasakan bila perubahan besar pada dirinya mampu kulihat secara langsung. Ah, aku memang terlampau berlebihan!
“Ibu masih mendengarkan aku?” suara Lee Hong Ki tiba-tiba mengusik lamunanku.
“Ya, teruslah bercerita, Lee Hong Ki. Ibu mendengarkan ….”
“Saya sudah bisa mengobrol dengan Ayah, Bu. Katanya, Ayah ingin pulang dan berkumpul lagi dengan kita!”
Ah, Song Seung Hun tampaknya mulai menyadari keberadaannya selama tiga bulan terakhir ini. Aura kebahagiaanku berpendar-pendar.
“ Oh, ya! Kapan Ibu pulang, Park Ji Bin menanyakan ibu terus….”
“Besok. Dengan penerbangan paling pagi.”
Lee Hong Ki pun menutup teleponnya.
Selesai menyerahkan laporan kursus pada ketua jurusan, aku buru-buru menuju Jalan Kangsan, menemui Song Seung Hun. Aku berharap pula bisa bertemu dengan Dokter Park Shin Yang untuk mendengar analisis medisnya terhadap perkembangan mental Song Seung Hun. Satu paket hadiah khusus dari Seoul, sudah kupersiapkan pula untuk dokter itu. Bagaimanapun, aku merasa berutang budi padanya. Dia sudah banyak membesarkan hatiku.
Waktu yang kutempuh untuk sampai ke sana tidak kurang dari sepuluh menit. Jalan Kangsan lebih sepi dari biasanya, memudahkanku untuk meluncur dengan kecepatan lumayan tinggi. Incheon memang begini, setiap pertengahan Agustus, saat liburan semester genap, kota ini terlihat sepi. Banyak mahasiswa perantauan yang pulang, sehingga kepadatan penduduknya berkurang hampir… setengahnya!
“Ny. Kim Tae Hee?” kehadiranku siang itu rupanya mengejutkan Dokter Park Shin Yang. “Katanya Anda ke Seoul?”
Aku tersenyum. Pasti dia tahu dari anak-anak.
“Ya, saya dinas kursus selama hampir satu bulan,” aku menjelaskan. “Bagaimana keadaan suami saya, Dokter? Ada perkembangan?”
“Banyak sekali kemajuan yang sudah dicapainya,” sorot matanya berbinar. Dia tampaknya menyimpan banyak berita baik untukku. “Tn. Song Seung Hun sangat menyukai terapi musik rupanya. Sehingga, setiap kali diadakan terapi musik, perasaannya jauh lebih relaks, dan ia banyak bercerita tentang dirinya….”
“Dia pintar bermain piano dan suka musik klasik, Dok,” potongku cepat.
“Oh, begitu?“ Dokter Park Shin Yang tampaknya menemukan kunci jawabannya. “Kelihatannya kami sudah menemukan terapi yang paling cocok untuknya. Melihat perkembangannya sekarang, saya yakin, dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, kesehatannya sudah akan pulih kembali.”
Angin sejuk meniup-niup seluruh tubuhku. Dan, untuk kali pertama, dalam waktu delapan bulan terakhir ini, aku merasakan kelegaan yang dalam. Hamparan rerumputan hijau yang mahaluas terbentang di depan mataku. Sangat menyejukkan.
Maka, dengan perasaan tidak sabar, aku menemui Song Seung Hun. Dia berada di taman samping, sedang membaca koran. Sepintas melihatnya, dia tak banyak berubah. Buktinya, dia tidak begitu antusias melihat kehadiranku. Dia lebih tertarik pada bacaannya.
Apakah Dokter Park Shin Yang hanya membesar-besarkan perubahan kecil yang dialami Song Seung Hun? Apakah psikiater itu hanya memberikan harapan berlebihan padaku? Lalu, bagaimana dengan cerita Lee Hong Ki waktu itu, apakah sekadar kebohongan saja? Angin sejuk itu cuma sekadar angin surga….
Kusodorkan satu per satu makanan yang kubawa dari rumah, tapi yang disentuhnya hanya sepotong donat dan jus mangga kesukaannya.
“Perekonomian kita sekarang benar-benar memprihatinkan, Kim Tae Hee,” itulah ucapan pertamanya setelah lima menit pertemuan kami. Sambutan seperti ini sama sekali tidak kuharapkan. Tidakkah dia sadar, hampir satu bulan kami tidak bertemu?
“Apa kabar, Yeobo?” dengan ‘sindiran halus’ aku mencoba mengingatkannya, bahwa kami sudah lama tidak bertemu. Nah, rupanya barulah dia menyadari bahwa aku sudah lama hilang dari pandangannya selama ini!
“Baik, Baik sekali. Bagaimana kabarmu? Lee Hong Ki cerita, kau kursus di Seoul,” dia menyingkirkan koran yang dibacanya.
Ya, Tuhan. Apa yang dituturkan Lee Hong Ki dan Dokter Park Shin Yang kepadaku bukanlah sekadar omong kosong belaka. It’s amazing!
“Ya, aku baru pulang tiga jam yang lalu, dan langsung ke sini. Aku merindukanmu….” Wajahnya memerah mendengar ucapanku yang spontan. Dia kelihatan salah tingkah ketika membetulkan letak kacamatanya.
Song Seung Hun! Kita bukan anak kemarin sore lagi yang baru bertemu! Kau dan aku sudah sepuluh tahun hidup bersama….
Lee Hong Ki bilang, kau akan ke Australia, benar?”
Dia lupa, aku juga pernah bercerita langsung kepadanya tentang hal itu.
“Ya, Yeobo. Kalau kau mengizinkan….”
Dia menatapku. Kami bertatapan lama sekali.
“Prestasi kerjamu hebat, Kim Tae Hee. Loncatannya begitu tinggi!“ pujiannya bernada sendu. Di tengah keharuan, aku tersenyum.
“Kau lebih hebat lagi, jika akhirnya bisa mengatasi situasi ini,” aku balik memujinya. Tampaknya tema pertemuan kami hari ini adalah saling memberikan pujian dan semangat! Aku tersenyum dengan perasaan lega.
“Lama kita tidak bicara seperti ini, Kim Tae Hee!” rupanya Song Seung Hun merasakan hal yang sama. Ya, ya. Seolah sudah ribuan tahun lamanya…. Dan, apakah ia juga sadar, bahwa kami sudah lama tidak bersentuhan satu sama lain?
Seperti mengerti keinginanku, Song Seung Hun menyentuh tanganku. Sentuhan yang lembut dan hangat itu begitu berarti bagiku! Saat itu juga kupastikan, bahwa aku harus mengurus surat-surat keberangkatanku secepat mungkin!
Tamat
Copyright Sweety Qliquers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar