Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Kamis, 28 April 2011

Luka Hati (Chapter 1)



Apakah latar belakang keluarganya yang kacau menyebabkan Lee Hong Ki berperilaku aneh seperti itu?

Mereka langsung terdiam ketika pintu kubuka dari luar. Separuh isi kelas terbirit-birit kembali ke bangkunya. Sementara yang lain berusaha menampilkan sikap manis dengan melipat tangan di atas meja, lalu kembali mengerjakan soal latihan dari buku. Beberapa bangku sudah bergeser dari tempatnya semula.

“Baru sebentar saja saya keluar, kalian sudah membuat pasar di sini! Teriakan kalian terdengar sampai ke ruang guru,” tegurku sambil mengedarkan pandang ke penjuru kelas. Seperti biasa kalau ditinggal guru, kelas yang alim berubah menjadi riuh seperti pesta. Dan seperti biasa kalau sudah dimarahi, 36 kepala itu menunduk dalam keheningan. Pura-pura menyesal.

Aku membatalkan niat mengambil kapur ketika lamat-lamat terdengar isak tertahan dari arah tengah. “Park Shin Hye, kau kenapa?” kuhampiri bangkunya. Rambutnya acak-acakan, karet kepangnya copot sebelah. Berulangkali kutanya, ia tetap menunduk dan menggeleng.

“Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kau menangis terus? Jung Yong Hwa, coba ceritakan!” aku menoleh memanggil sang ketua kelas. Dengan ragu-ragu dan tetap menunduk Jung Yong Hwa menjawab, ”Park Shin Hye berkelahi… lalu dipukuli.”

“Siapa yang memukul?”

Kali ini hampir semua mulut berbicara kencang, ”Lee Hong Ki!” dan suara-suara ribut bermunculan lagi. Setengah memaksa kuangkat wajah Park Shin Hye, dan astaga …. ada garis memanjang di pipinya, seperti digores sesuatu yang tajam. Lengan atas kirinya juga lebam memerah. Dengan sudut mata kulirik Lee Hong Ki yang duduk dua bangku di belakang Park Shin Hye. Anak itu sedang mengusap-usap lensa kacamata sambil menggigit-gigit bibirnya. Kira-kira apa yang sudah dilakukan Park Shin Hye, sehingga ia terpancing emosinya dan langsung main hajar? Setahuku Park Shin Hye masuk dalam kriteria anak manis. Ia juga cukup rajin dan tidak pernah membuat masalah serius, kecuali kebiasaan cerewetnya. Ia seringkali harus ditegur lantaran suka mengobrol di dalam kelas.

“Dan kalian hanya sibuk menyoraki saja, begitu? Tidak berniat sama sekali memisahkan dua teman yang berkelahi? Keterlaluan! Kalian itu sudah kelas 3 SMA tapi kelakuan kalian sama seperti anak TK. Sudah, sudah… diam! Sekarang kalian lanjutkan mengerjakan soal. Waktu Saya datang nanti, semua sudah harus mengumpulkan hasilnya di meja saya. Dengar ya, jangan membuat keributan lagi! Lee Hong Ki, Park Shin Hye, Jung Yong Hwa, Moon Geun Young, ikut saya ke kantor!” perintahku itu langsung disambut dengungan penghuni kelas seperti lebah.

Lee Hong Ki memandangku dengan air muka yang seolah berkata bukan aku yang salah. Aku balas menatapnya dan berkata singkat, ”Sekarang!” Tak perlu menunggu lama, Lee Hong Ki keluar dari bangku dan berjalan diiringi cemoohan teman-teman sekelasnya. Sedikitpun tak ada rasa canggung atau takut seperti murid yang lain jika diperintahkan menghadapku di kantor.

Sebagai anak yang sudah tiga bulan ada di kelas baru, kuperhatikan ia bukan saja sulit bersosialisasi, tapi juga sering berlaku aneh. Dalam beberapa hari ia betah bengong di kelas, tak suka bicara. Tapi hari berikutnya, celoteh-celoteh usil sering dilontarkan Lee Hong Ki. Gaya bicara dan cara berjalannya sering diledek karena agak kewanita-wanitaan. Otaknya lambat dalam menerima pelajaran dan jawabannya sering ngawur kalau ditanya. Itu sebabnya murid-muridku tidak suka mengajaknya bermain. “Orangnya aneh! Tidak nyambung kalau diajak bicara.” rata-rata itu komentar mereka waktu kutanya.

Di ruang kantor guru, beberapa rekan yang tidak mengajar segera menyingkir dengan penuh pengertian, ketika melihat rombongan kecilku datang.

“Lee Hong Ki lagi?” bisik Mrs. Ha Ji Won di telingaku, ketika kami berAyahsan. Aku tersenyum kecil, ”Maaf, bukannya mengusir. Ada insiden kecil di kelas.”

“Biasa, namanya juga anak-anak. Yang sabar ya, Mrs. Jang Na Ra!”

Aku segera menarik empat bangku sambil berharap masalahnya tidak seserius yang aku takutkan. Gawat kalau kejadian hari ini didengar Kepala Sekolah, apalagi ayah Park Shin Hye masuk dalam jajaran pengurus yayasan.

“Ceritakan pada saya selengkapnya, Park Shin Hye. Apa masalahnya sehingga kau berkelahi dengan Lee Hong Ki?” cecarku langsung ketika keempat murid itu sudah duduk berjejer. Park Shin Hye terbata-bata bercerita kalau ia sedang bergurau dengan Moon Geun Young sahabatnya itu sambil mengerjakan soal latihan, ketika tiba-tiba ia diserang Lee Hong Ki.

“Rambut saya dijambak, Tangan saya ditonjok. Padahal saya sudah bilang ampun, tapi dia malah lari, lalu mengambil penggaris yang ujungnya lancip, lalu dia menusuk pipi saya dengan ujung penggaris itu. Kemudian Lee Hong Ki bilang: Perempuan murahan, perempuan murahan.…” lalu deraian tangisnya terdengar lagi. Cerita Moon Geun Young kurang lebih sama dan Jung Yong Hwa tidak bisa memastikan sebab-sebabnya, karena kejadiannya begitu cepat. Aku berpaling kepada Lee Hong Ki yang mulai tampak tidak nyaman ada di ruangan. Pantatnya bergeser-geser menimbulkan suara sedikit berisik.

“Sekarang giliranmu, Lee Hong Ki. Kenapa kau memukul Park Shin Hye?”

Pelan Lee Hong Ki membuka mulutnya sedikit, tapi tidak untuk bicara. Dia hanya menganga seperti orang keheranan. Lima menit kutunggu reaksinya.

“Apa kau tidak suka Park Shin Hye mengobrol dengan sahabatnya? Ayo Lee Hong Ki, kau harus menceritakannya kepada saya. Kau sudah memukul dan melukai teman perempuanmu, itu bukan perbuatan yang baik. Kalau Park Shin Hye punya salah, beritahu kepada Saya sekarang. Saya akan bantu untuk menyelesaikannya. Memangnya kamu pikir kau itu siapa? Main pukul seenaknya. Ini sekolah Lee Hong Ki, tempat murid-murid belajar supaya jadi pintar. Bukan tempat orang yang tidak tahu sopan santun, kau mengerti? Nah, sekarang jangan diam saja begitu. Cepat ceritakan kepada saya, supaya kalian bisa segera kembali ke kelas lagi. Ayo!” desakku menahan amarah yang mulai menyembul. Yang ditanya malah melongo dengan tatapan yang membingungkan, yang aku sendiri tidak yakin apa artinya. Mungkin...mungkin seperti tatapan orang yang merasa sakit.

Berulangkali dibujuk dan dipaksa, ia tetap bertahan dengan sikap diamnya, yang sangat menyebalkan. Ah, sudah satu jam lebih aku bertarik urat leher dan akhirnya luapan kejengkelanku sulit dikontrol lagi. Kusuruh Park Shin Hye ditemani dua temannya berobat ke ruang UKS sebelum aku berteriak marah kepada Lee Hong Ki.

“Jadi kau tetap tidak mau cerita juga? Saya tidak mau jadi orang bodoh yang seharian di sini duduk menanti jawaban, membuang waktu berjam-jam dan menelantarkan teman-temanmu yang ingin belajar! Kalau ini pilihanmu Lee Hong Ki, baik! Saya akan laporkan kejadian ini kepada Kepala Sekolah. Hari ini juga orangtuamu akan dipanggil dan kau tahu apa akibatnya bagi anak yang sering cari keributan di sekolah? Kalau kau mau cerita, mungkin saya bisa membantu supaya kau tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Apa kau tidak capek gonta-ganti sekolah terus, Lee Hong Ki? Apa tidak kasihan pada Ayah dan Ibu-mu? Dan apa kau juga tidak tahu kalau tindakanmu itu sudah melukai orang lain? Kalau orangtua Park Shin Hye tidak mau terima, bagaimana? Kau sudah menyusahkan banyak orang! Ayo bicara, jangan diam saja! Kau kan bukan patung!” bentakku dengan nada tinggi. Sesaat anak itu bergidik kaget melihatku marah, tapi selanjutnya ya ampun! Dia tetap diam dan kembali memilin ujung kemejanya.

Aku memijit keningku yang terus berdenyut dan bolak-balik menghela napas. Hendak kuapakan anak ini? Aku sudah kehilangan akal. Bencana besar terbayang di kepalaku, orangtua Park Shin Hye akan datang ke sini dan menuntut kepada pihak sekolah. Dan buntutnya bisa diduga, aku akan disalahkan. Sungguh suatu catatan yang merusak riwayat pekerjaanku, karena aku belum lama mengajar di sini. Kalau gara-gara masalah ini aku dipecat bagaimana? Padahal aku senang bisa mengajar di sini.

Aduh, kenapa aku meninggalkan kelas saat mengajar? Pasti mereka tidak mau mendengar alasan sakit perut yang memaksaku tertahan selama 9 menit di kamar kecil. Dan sakit yang datang tiba-tiba itu membuatku tidak sempat menghubungi guru piket, agar mengawasi kelasku. Dan di sekolah ini, itu merupakan pelanggaran besar. Gawat!

Tengah aku berpikir bagaimana cara menjelaskan duduk masalahnya kepada Kepala Sekolah, Lee Hong Ki mencondongkan badan ke depan dan bicara pelan, ”Apa Mrs. Jang Na Ra tahu, kalau Park Shin Hye itu perempuan murahan?”

Bagai disengat lebah aku ikut mencondongkan badan,”Apa?”

Lee Hong Ki seperti merasa senang, ia tersenyum. “Perempuan murahan memang harus dipukul, siapa suruh dia tidak sayang padaku… Park Shin Hye itu seperti Ibuku.”

Aku menggeleng makin tak mengerti dan kembali membujuknya untuk bercerita lebih rinci, tapi aksi mogok bicara dilakukannya lagi, sampai bel istirahat berbunyi. Akhirnya aku menyerah lalu berkata, “Besok pukul 9 pagi orangtuamu harus bertemu dengan saya. Ayah dan Ibu-mu. Dengar Lee Hong Ki? Pukul 9, Ayah dan Ibu-mu harus bertemu saya di sini,” aku mengulang perintah.

Sepanjang hari itu Lee Hong Ki hampir tidak mengerjakan apa pun tugas pelajaran di kelas. Bolak-balik dia juga harus menghadap guru BP, untuk apalagi kalau bukan untuk menjelaskan alasan kenakalannya hari ini. Kalau Park Shin Hye bukan anak pengurus yayasan sekolah yang disegani, mungkin cara penanganannya tidak seheboh ini.

Sepuluh menit menjelang bel pulang, Lee Hong Ki masuk ke kelas dengan wajah kusut masai. Sebagian kemeja seragamnya tidak berada di tempatnya, berjuntai keluar dari ikat pinggang celana. Saat melintas melewati mejaku, sempat kulihat setetes dua tetes airmata masih menggantung di pelupuk matanya.

Selama tiga bulan Lee Hong Ki hadir di kelas, aku sudah memanggil orangtuanya dua kali dan selalu ayahnya yang datang. Dua kali alasan pemanggilan itu untuk kelakuan Lee Hong Ki yang mengacaukan suasana belajar di kelas. Ulahnya bukan cuma diperagakan saat jam mengajarku saja, tapi beberapa guru lain juga sempat berang dengan sikapnya. Mereka mendefinisikan Lee Hong Ki sebagai anak nakal yang kurang ajar. Lee Hong Ki itu Monster, kata Mr. Huang Xiao Ming, guru Matematika.

Pernah sekali waktu ketika Mr. Huang Xiao Ming sedang bertanya jawab soal, tiba-tiba Lee Hong Ki berteriak-teriak seperti orang kerasukan. Kali lain saat suasana hening karena sedang ujian, anak itu membuat kaget seisi kelas dengan gebrakan mejanya yang sekuat tenaga. Untung jantung Mr. Huang Xiao Ming masih kuat.

Hari berikutnya, ia berulah dengan sama sekali tidak sudi membuka mulut untuk bicara sepatah pun. Ditanya guru agar menjawab soal, ia juga tidak mau. Seperti bumi yang kehilangan matahari, wajahnya tiba-tiba bisa berubah menjadi mendung kelam. Tapi siapa menyangka, kalau besoknya dia bisa berubah menjadi mahluk yang menyebalkan, karena cerewetnya tak tertandingi. Kalimat yang sama bisa diulang pengucapannya sepuluh kali, membuat kuping gatal.

Yang paling mengganggu, kalau Lee Hong Ki sedang datang bawelnya. Ia suka sekali melontarkan komentar yang tidak perlu di saat guru sedang asyik menerangkan pelajaran. Mungkin menurut dia itu lucu, tapi guru yang bersangkutan jadi marah dibuatnya. Beberapa murid perempuan juga mengeluhkan gangguan yang mereka terima, karena Lee Hong Ki kerap menyentuh pipi atau meremas tangan mereka dengan sengaja. Dia juga senang bermain korek api yang dinyalakan di bawah bangku untuk menakut-nakuti anak perempuan. Rupanya Lee Hong Ki menikmati sekali saat teman-teman perempuannya menjerit ketakutan. Makin menjerit makin besarlah semangat untuk meneruskan kejahilannya.

Pernah satu kali aku harus menerima telepon di kantor guru di saat aku sedang mengajar. Berpikir bahwa hanya meninggalkan kelas sebentar, aku lalai tidak menghubungi guru piket untuk menitipkan kelasku.

Entah diselundupkan dengan cara bagaimana, seseorang melepaskan dua tikus besar yang langsung berkeliaran menghampiri anak-anak. Tentu saja suasana jadi riuh dengan jerit ketakutan. Begitu masuk ke kelas, aku menjerit kuat-kuat melihat tikus berbuntut panjang memanjat kaki mejaku. Di tengah hiruk-pikuk itu baru kusadari seorang murid perempuan menggelosor lemas di bangku depan. Sooyoung pingsan setelah seekor tikus lari berkeliling di bawah mejanya. Setelah mengancam tidak akan mengizinkan seisi kelas pulang sampai subuh, barulah dengan takut-takut ada tangan teracung mengaku sebagai pemilik dua tikus itu: tangan Lee Hong Ki!

Sebagai guru kelasnya, aku benar-benar mengurut dada. Catatan kejelekannya mengalahkan rekor yang sudah-sudah. Padahal baru tiga bulan, bagaimana kalau setahun? Bisa kena darah tinggi semua guru di sekolah ini.

Lewat pembicaraan dengan ayahnya, kuharap aku bisa mengorek tentang latar belakang Lee Hong Ki, karena kelakuannya yang sangat minta ampun itu. Ternyata ia sudah dua kali tinggal kelas dan gonta-ganti sekolah. Yang tertulis di buku laporan sekolahnya terdahulu, hanyalah bahwa Lee Hong Ki sulit mengikuti pelajaran di sekolah yang bersangkutan.

Aku memang bukan lulusan fakultas psikologi, tapi dugaanku kuat kalau Lee Hong Ki mengalami gangguan mental. Di usianya yang ke-19, Lee Hong Ki tidak menunjukkan kemajuan berpikir seperti para remaja umumnya. Lee Hong Ki tetap berpola pikir seperti anak SD yang berumur 6 tahun.

Tapi dalam pertemuan kami, sang ayah kukuh berkeyakinan Lee Hong Ki hanya bermasalah dalam hal belajar dan kurang suka bergaul. Berulang kali aku membeberkan ulah Lee Hong Ki yang sangat tidak bisa ditolerir, tapi berulang kali juga ayahnya tidak bergeming.

“Kenakalan Lee Hong Ki sudah kelewatan Tn. Song Seung Hun.”

“Mungkin itu salah satu cara Lee Hong Ki agar bisa diterima teman-temannya di sini, Mr. Jang Na Ra. Saya pikir, kenakalannya masih dalam taraf wajar bukan? Kalau dia berniat untuk membakar sekolah atau mencabuli gurunya, nah itu baru serius! Beri kesempatan lagi saja, Mrs. Jang Na Ra. Saya jamin, ini tidak berlangsung lama. Saya akan mengajarnya bersikap lebih baik,” sanggahnya pasti.

Dengan terpaksa aku hanya bisa mengangguk-angguk, enggan membantah lagi. Percuma bicara dengan orangtua yang tidak terbuka seperti dia. Sejujurnya aku berharap apa yang dilakukan Lee Hong Ki memang hanya kenakalan biasa. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih mengganggu, yang berbeda dalam dirinya dibandingkan murid-muridku yang lain.

Kadang aku melihatnya sebagai anak yang kuat sekali rasa mindernya dan begitu menarik diri, seperti kura-kura yang terus menyimpan kepala dalam rumahnya. Tapi kadang juga Lee Hong Ki tampil sebagai anak yang terlalu ingin cari perhatian. Belum lagi keanehan dengan cara bicara dan gerak jalannya yang kemayu, padahal Lee Hong Ki bertubuh besar. Sangat besar untuk ukuran anak seumurnya malah. Tingginya saja hampir 178 cm, melebihi tinggi ibu gurunya. Insiden di kelas pagi ini membuatku makin pasti dan berani bertaruh, ada sesuatu yang ganjil dalam diri Lee Hong Ki. Sayangnya aku belum tahu, apa itu.

Menjelang sore setelah mengajar untuk jam terakhirku di kelas siang, aku memberanikan diri menghadap Kepala Sekolah. Seperti sudah kuduga, Mr. Bae Yong Jun bereaksi sangat berang.

“Anda tahu anak itu bermasalah, tapi kenapa Anda meninggalkan kelas seenaknya? Tidak ingat kejadian bulan lalu?” gelegar suaranya sangat menyalahkanku.

“Saya sudah jelaskan berkali-kali, Mr. Bae Yong Jun, dan sudah pula minta maaf. Sakit perut itu datangnya mendadak, dan sangat membuat konsentrasi mengajar saya buyar. Akibatnya saya jadi alpa menghubungi guru piket….tapi cerita ini benar dan tidak saya karang-karang. Bukan maksud saya untuk mengelak dari tanggungjawab, Mr. Bae Yong Jun. Bagaimana lagi saya harus menjelaskannya?” keringat dingin terus membasahi telapak tanganku. Aku berdoa dalam hati beliau dapat mengerti alasanku kali ini.

“Anda tahu Park Shin Hye itu anak kesayangan Mr. Kim Min Joon? Kalau lukanya serius sehingga membutuhkan jahitan, bagaimana coba? Apa tidak ribut orangtuanya?” Mr. Bae Yong Jun mengepalkan tangan sambil menggeram. Aku menunduk merasa bersalah. Tapi, aku kan bukan paranormal yang sanggup mengetahui kejadian itu sebelumnya lalu mencegah agar tidak terjadi?

“Saya…saya bersedia menerima sanksi. Ini memang salah saya,” aku berusaha menegarkan suara, padahal dalam hati aku merintih. Tuhan, kenapa anak bandel itu tidak ditaruh di kelas Mrs. Lee Da Hae atau kelas Mr. Jang Hyuk saja? Mereka guru yang sudah senior, pasti bisa mengatasi tingkah Lee Hong Ki. Kenapa ia harus masuk ke kelasku, Tuhan? Kenapa ia harus menciptakan banyak masalah bagiku? Dan sekarang aku duduk seperti pesakitan di depan atasanku, kena teguran dan terancam oleh sanksi.

Suara Mrs. Kim Ha Neul di interkom memotong pembicaraan kami. “Mr. Kim Min Joon di saluran 3.” Jantungku serasa berhenti berdegup. Mr. Bae Yong Jun menghela napas, ”Kita lanjutkan nanti,” katanya sambil memberi tanda agar aku keluar ruangan.

Dengan gontai aku menyusuri lorong-lorong kelas. Mungkin Mr. Bae Yong Jun sekarang sedang dicaci-maki lewat telepon. Beliau dicaci maki untuk sesuatu yang bukan kesalahannya. Kalau memang aku harus mundur dari pekerjaanku sekarang, apa boleh buat. Kejadian tadi pagi tak bisa diulang lagi.

Hampir pukul enam sore dan aku masih bertahan di kelas yang sudah sepi, menunggu Mr. Bae Yong Jun memanggilku lagi. Sambil menghabiskan waktu aku merapikan isi kelas, mengosongkan lemari dari benda-benda tak terpakai. Aku segera menarik keranjang sampah yang hanya berisi sedikit kertas di dasarnya. Mataku tertumbuk pada amplop biru muda bergambarkan dua hati. Pinggirannya dihiasi ornamen pita dan bunga mawar. Sayangnya remasan tangan sudah membuat amplop manis itu menjadi kusut masai.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...