Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 09 April 2011

The Next Story (Chapter 3)


Chapter 3
Lee Hong Ki dan Park Shin Hye


Song Seung Hun belum ditemukan juga. Padahal, Park Shin Hye, Lee Hong Ki, dan dibantu saudara-saudara Song Seung Hun yang lain sudah lelah menelusuri seluruh jalan di Incheon. Lee Hong Ki bahkan sudah tiga hari tidak kuliah. Dikorbankannya seluruh waktunya demi pencarian ayahnya itu.

“Ibu tidak puas jika tidak ikut mencari, Lee Hong Ki. Kau mau ke mana sore ini, Ibu ikut!” Sejak pulang ke rumah, aku terus memaksanya untuk ikut mencari. Tapi, lagi-lagi ia menolakku dengan halus.

“Ibu kan baru pulang? Tidak usah ikut, Ibu tenangkan diri saja menunggu kabar di rumah. Aku pergi dulu, Bu.” Lalu dia melesat pergi.

Apa yang dilakukan Lee Hong Ki sebenarnya bukan tanggung jawab semata, terlebih karena perasaan bersalahnya. Song Seung Hun pergi saat dia tidak ada di rumah. Menurut Park Shin Hye, Lee Hong Ki bahkan tidak pulang semalaman. Ada seorang kawannya yang menjemput untuk urusan kepanitiaan di kampusnya. Sebagai ketua panitia, sudah seharusnya dia bertanggung jawab untuk kelancaran acara mereka.

“Jadi sekarang, dia pergi dengan teman-temannya?”

”Tidak. Tidak mungkin, Bu.”

“Kenapa?”

Park Shin Hye menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. “Lee Hong Ki Oppa, Bu. Dia malu….”

Kini aku mengerti kenapa teman-temannya tidak pernah datang lagi ke rumah. Dia malu! Ya, pasti Park Shin Hye juga merasa begitu. Seorang anak lelaki teman kampus Park Shin Hye yang dulu sering berkunjung kemari, bahkan kini sudah jarang datang!

Bagaimana dengan aku? Ah, secara tidak langsung, cara-cara mereka sama dengan diriku. Kalau dulu, aku membebaskan mahasiswaku untuk konsultasi di rumah, tapi sejak beberapa bulan lalu, tidak ada seorang pun yang kuperkenankan datang. Please, call me first…, setelah itu aku berusaha menghindar.

Lee Hong Ki pulang saat jam kayu besar di ruang tamu kami berdentang sepuluh kali. Wajahnya murung, tanda dia tidak menemukan petunjuk apa pun tentang keberadaan Song Seung Hun.

“Apa tidak sebaiknya kita minta tolong Paman Lee Dong Gun? Kalau kau memaksakan diri mencari ayahmu terus, Ibu takut kau jatuh sakit, Lee Hong Ki.”

“Paman Lee Dong Gun ke Seoul, Bu!” sahut Park Shin Hye.

“Jadi, kita harus bagaimana? Sudah empat hari ayahmu pergi tanpa kabar. Ibu khawatir terjadi sesuatu pada dirinya.” Mendengar kecemasan yang kuutarakan terus terang, ruang makan, tempat pertemuan kami, menjadi senyap.

“Apa tidak sebaiknya kita salat tahajud saja, Bu. Minta petunjuk dari-Nya, siapa tahu Ayah bisa ditemukan?” usul Lee Hong Ki dengan suara lesu. Wajah jiplakan Song Seung Hun yang tampan itu, tampak jauh lebih murung dari sebelumnya.

Ya Tuhan, kenapa tidak terpikirkan olehku?

Kami lalu tahajud bersama, tapi tidak berjamaah. Aku terpisah dari Park Shin Hye dan Lee Hong Ki. Kukira, akulah yang paling panjang berdoa, tapi ternyata kedua anak itu masih saja tepekur di atas kain sajadahnya. Doa mereka jauh lebih panjang dariku rupanya! Park Shin Hye dan Lee Hong Ki tampak luar biasa khusyuk.

Aku memperhatikan keduanya dari jauh. Anak-anak itu berumur sepuluh tahun dan delapan tahun ketika aku menikah dengan Song Seung Hun. Kalau dihitung-hitung, beda umurku hanya terpaut sepuluh dan dua belas tahun lebih tua dari mereka!

Aku dan Song Seung Hun bangga, tidak pernah ada pertentangan yang serius di antara kami. Mereka melebur dalam kehidupanku. Tanpa susah payah, kucanangkan diriku sebagai pengganti ibu mereka. Hanya satu yang mengganjal, Lee Hong Ki dan Park Shin Hye tidak pernah menyapaku di kampus. Atau, ya, jika terpaksa sekali, mereka akan bersikap formal padaku, tak berbeda seperti mahasiswa lainnya. Sehingga, bisa dimaklumi, hanya beberapa teman dekat di kampus mereka yang tahu bahwa sebenarnya aku adalah… ibu mereka.

Dua tahun aku memahami sikap mereka tanpa ingin bertanya, bahkan pada Song Seung Hun sekalipun, sehingga pada akhirnya aku menarik kesimpulan sendiri. Mungkin aku terlalu muda untuk ‘diperkenalkan’ sebagai ibu mereka. Aku memang lebih mirip mahasiswa senior daripada dosen dan pengganti dari ibu mereka yang telah tiada.

“Bu,” Park Shin Hye mendekatiku, masih dengan mukena yang melekat. “Tidurlah Bu, istrirahat….”

“Ayahmu sedang apa sekarang, ya, Park Shin Hye?” Aku malah membayangkan hal yang tidak-tidak.

“Sudahlah, Bu, nanti Lee Hong Ki Oppa makin terbebani. Lihat saja, dia!”

Park Shin Hye benar. Kulihat Lee Hong Ki masih berdoa khusyuk di atas sejadahnya.

Keesokan harinya —entah doa Lee Hong Ki, Park Shin Hye, atau aku yang dikabulkan— Lee Hong Ki menemukan Song Seung Hun di dekat Pasar Myeongdong!

Dari kampus, aku segera menuju ke tempat yang disebutkan Lee Hong Ki, Pasar Myeongdong. Di sana aku melihat Lee Hong Ki sedang membujuk Song Seung Hun untuk pulang. Mereka di tengah kerumunan orang banyak. Tergesa, aku menyeruak ke depan. Kecemasanku akan keadaan Song Seung Hun adalah penyebab utamanya.

“Ayah tidak mau pulang, Bu!” Lee Hong Ki melapor. Dia menatapku putus asa.

Aku mendekati mereka. Dan, perasaanku sungguh terkoyak-koyak melihat keadaan Song Seung Hun. Tubuhnya kulihat jauh lebih kurus. Tak cuma itu, dia juga kusut-masai, kumal, dan… bau!

“Mari kita pulang, Yeobo,” aku berkata lirih sambil memegang tangannya. Tanpa diduga dia malah menepiskan tanganku.

“Tidak mau!” sahutnya, cemberut. “Aku kan sedang menghabiskan sisa cutiku di sini!”

Ya Tuhan! Song Seung Hun makin parah! “Ini pasar, Yeobo. Bukan tempat liburan,” aku berusaha menyadarkannya.

“Kalau kau mau pulang, ya, pulang sajalah. Aku mau pulang kalau cutiku sudah habis. Tak usah memaksaku, Kim Tae Hee.”

Ya Tuhan. Aku menutup mataku dan berkali-kali menghela napas, mencoba menahan rasa malu dan kesal. Kerumunan orang-orang makin banyak saja. Dan, kulihat dia mirip benar dengan makhluk planet lain di tengah-tengah manusia bumi!

“Wah, mau hujan, Tuan! Apa tidak sebaiknya Tuan dan Nyonya pulang saja,” usul orang-orang yang berkerumun itu. “Kalau suaminya tidak mau pulang, ya biarkan saja.”

Tanpa kuduga, Lee Hong Ki marah mendengar usul itu. Mereka memang terlalu ikut campur. Dengan tegas dia meminta orang-orang tersebut bubar. Dia bahkan menantang seorang pria muda yang masih saja menonton kami. Untungnya pria itu mengalah, walau terlihat masih tampak penasaran.

Lee Hong Ki memang agak cepat emosi akhir-akhir ini. Park Ji Bin saja sering jadi sasaran kemarahannya. Tapi, benar juga, langit mulai tampak makin kelam. Hujan turun satu per satu ke tanah. Lee Hong Ki menyuruhku masuk ke mobil, sementara dia terus membujuk Song Seung Hun untuk pulang.

“Ayo kita pulang, Ayah!” ajak Lee Hong Ki lagi, memelas. “Apa ayah tidak malu!” Entah apa yang dikatakannya lagi. Tidak lama kemudian Song Seung Hun beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam mobil.

Aku dan Lee Hong Ki menghela napas lega. Ada air mata di pelupuk matanya. Belum pernah kulihat anak itu menangis!
Kupikir, mungkin doa Lee Hong Ki yang didengar-Nya!

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...