Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 06 Desember 2010

Tanah Warisan (Chapter 8)


Sekali lagi lewat sekilas ingatannya tentang sikap ayah Kim So Eun kepadanya. Tetapi tidak bijaksana baginya apalagi ia segera bertanya. Ia tidak akan merusak suasana pertemuan yang membuat dadanya serasa menjadi retak.

Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur merebus air, maka Kim Bum berjalan berputaran di dalam setiap ruang rumahnya. Tidak ada yang berubah, selain menjadi kotor dan rusak. Tetapi sesuatu telah mengembang di dalam hatinya. Aku akan menjadikan rumah ini seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Semasa ayah masih seorang yang kaya raya.

Setelah minum beberapa teguk dan mandi di sumur di belakang rumah, maka Kim Bum kemudian bercerita tentang dirinya. Pengalamannya selama ia meninggalkan rumah ini. "Orang tua itu sangat baik bu," katanya.

"Aku tinggal di rumahnya seperti aku tinggal di rumah sendiri. Aku dianggapnya sebagai anaknya. Apalagi orang tua itu memang tidak mempunyai seorang anakpun".

"Tuhan menuntun jalanmu sampai ke rumah yang baik itu nak."

"Ya ibu," jawab Kim Bum.

"Aku diketemukannya di pinggir sungai ketika aku beristirahat. Hampir-hampir aku mati kelaparan. Tetapi Tuhan masih melindungi aku."

"Bersyukurlah nak," sahut ibunya.

"Lalu apa yang kau katakan kepadanya, ketika kau bermaksud pulang ke rumah ini?"

"Aku berkata terus terang. Aku rindu kepada ibu, kepada rumah ini dan kepada tanah ini."

"Apa ia tidak berkeberatan?"

"Tidak ibu. Sama sekali tidak. Bahkan ia mengatakan padaku, kapanpun aku akan kembali kesana, ia akan dengan senang hati menerimaku kembali dirumahnya.”

"Oh, apakah kau masih akan kembali kepadanya?"

"Maksudku, aku dapat menengoknya untuk sehari dua hari. Lebih baik aku pergi bersama ibu pada suatu ketika."

"Senang sekali ibu mendengarnya, Kim Bum."

"Tetapi lebih daripada itu ibu, aku telah dipercaya olehnya untuk mewarisi ilmunya."

"Ya, ilmu bela diri. Aku telah mendapat pelajaran tata bela diri sebaik-baiknya. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Kepada kepercayaan itu."

"Oh," tiba-tiba wajah perempuan tua itu menjadi cemas.

"Kenapa kau pelajari ilmu semacam itu nak?"

"Apa salahnya?"

Perempuan itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi suram, dilemparkannya pandangan matanya yang sayu ke sudut yang gelap. Kemudian terdengar suaranya parau. "Ayahmu juga mempelajari ilmu semacam itu dahulu."

Kim Bum tidak segera menjawab. Ia melihat ibunya justru menjadi kecewa.

Dengan demikian maka sejenak mereka dicekam dalam kesenyapan. Masing-masing membiarkan angan-angannya meloncat ke saat-saat yang lampau. Kim Bum yang masih kecil saat itu tidak dapat mengerti lebih banyak lagi, kenapa ayahnya mati terbunuh dalam perkelahian yang tidak adil. Beberapa orang telah mengeroyoknya beramai-ramai. Betapapun tinggi ilmu ayahnya itu, namun untuk menghadapi beberapa orang yang berilmu pula, sepertinya ia tidak mampu. Kekuatan lawan-lawannya berada di luar kemungkinan perlawanannya. Sehingga akhirnya ia harus terkapar mati berlumuran darah.

Dan Kim Bum yang kecil itu sudah tidak tahu bahwa di antara mereka yang membunuh ayahnya adalah orang-orang desa ini sendiri. Tetapi ibunya sudah dapat menangkap lebih banyak persoalan daripada Kim Bum yang kecil. Perempuan itu tahu benar, bahwa perselisihan itu timbul di lingkaran judi. Dalam perselisihan yang demikian, maka tidak ada seorang pun yang mampu menahan hatinya lagi. Dan terjadilah akibat yang mengerikan itu. Suaminya terbunuh.

Masih terbayang di rongga matanya, apa yang terjadi saat itu, seperti baru kemarin malam. Darah yang merah mengalir dari kening dan pelipis suaminya. Tiga buah tusukan melubangi dada dan lambungnya. Yang paling pedih adalah, gunjingan orang-orang yang melihat peristiwa itu. "Tidak ada yang dapat disalahkan. Setelah Cha Seung Won menjadi miskin, maka sifatnya tidak lebih baik dari seekor serigala".

Dan ternyata kemudian, bahwa akibat yang timbul tidak hanya terhenti sampai disitu. Meskipun Ny. Kim Sun Ah itu telah merasakan, bahwa orang-orang di sekitarnya, para tetangganya, telah mulai menjauhi keluarganya, namun sejak meninggalnya suaminya sikap itu menjadi semakin nyata. Hanya dalam soal-soal yang sangat penting, orang-orang disekitarnya bersedia menghubunginya. Mereka berbicara kadang-kadang sekali, sekadar satu dua patah kata.

Dengan demikian maka hidupnya kemudian menjadi terasing. Justru setelah ia menjadi miskin. Setelah semua kekayaannya satu-satu mengalir kelingkaran judi.

Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditatapnya wajah anaknya yang masih menunduk. "Ilmu bela diri itu akan selalu membawa malapetaka nak," desisnya kemudian.

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...