Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Kamis, 23 Desember 2010
Istana Yang Suram (Season 1)
Ketika matahari terbenam dibalik ujung bukit disebelah barat, beberapa ekor kelelawar bangkit dari persembunyiannya diatap sebuah istana kecil yang sudah tua, beterbangan menyusuri gelapnya malam.
Sebuah lampu yang suram menyala dipendapa yang terbuka, terguncang oleh angin yang lemah.
Istana itu kian hari kian bertambah sepi. Halamannya masih tetap bersih seperti saat-saat lampau, tetapi tidak seorangpun yang pernah menjamah kerusakan yang terjadi pada bagian atap rumah itu. Didalam istana itu sama sekali tidak terdapat seorang laki-lakipun yang tinggal.
Mula-mula angin kencang telah menggeser bagian atap istana itu. Hanya sedikit sekali, tetapi ketika hujan turun, maka beberapa titik air menyusup lewat lubang atap yang tergeser itu, telah mengotori langit-langit. Semakin lama semakin banyak, bahkan kemudian lubang-lubang pada atap itupun bertambah.
Meskipun demikian, titik air hujan yang jatuh dilantai selalu ditampung dengan jambangan kecil, sehingga tidak merusakkan lantai dan mengalir kemana-mana, tidak membasahi perabot istana yang masih lengkap dan terpelihara.
Jika senja lewat, maka penghuni istana kecil itupun segera pergi kebilik masing-masing, seorang perempuan menjelang hari-hari tuanya, seorang gadis remaja yang menginjak masa dewasa. Sedang dibagian belakang istana itu tinggal seorang pelayan perempuan setua perempuan yang tinggal di istana kecil itu.
Demikianlah hari-hari yang lewat, tidak menumbuhkan banyak perubahan dalam tata kehidupan istana kecil yang terpencil dikaki bukit yang gersang. Meskipun dihalaman istana kecil itu nampak tumbuh-tumbuhan yang berwarna hijau.
Beberapa orang peronda dari desa kecil yang terletak beberapa puluh tonggak saja dari istana itu, selalu meronda berkeliling istana kecil itu. Seolah-olah mereka merasa wajib untuk ikut menjaga ketenangannya, meskipun hubungan antara desa kecil itu sudah hampir terputus sama sekali dengan istana terpencil itu.
…..Namun setiap kali, perempuan tua penghuni itu pergi juga ke desa kecil itu, untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari.
Kehadiran perempuan penghuni istana kecil itu selalu disambut dengan ramah dan dan dengan hati terbuka oleh penghuni desa kecil itu. Mereka memberikan apa saja yang diperlukan oleh perempuan tua itu. Jika perempuan tua itu bertanya tentang harga barang-barang yang diperlukan, maka penghuni desa kecil itu selalu menyebut kurang dari separuh harga yang sebenarnya.
Perempuan tua itupun mengerti, bahwa yang dibelinya itu harganya terlampau murah, tetapi ia tidak mempersoalkannya, apalagi uang yang ada padanyapun semakin lama semakin tipis. Bahkan sekali-kali ia terpaksa menjual barang-barangnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seisi istana kecil itu.
Setiap orang yang tinggal di desa kecil itupun mengetahui, apa yang pernah terjadi di istana itu. Sejak istana itu didirikan, sehingga istana itu menjadi sangat sepi seperti saat-saat terakhir.
Beberapa orang pernah memberanikan diri datang menghadap perempuan tua penghuni istana dan menawarkan diri untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi pada atap istana itu. Tetapi sambil tersenyum perempuan tua itu menjawab “Terima kasih Tuan, aku tidak akan pernah melupakan kebaikan hati kalian, tetapi biarlah, apabila aku memerlukan, aku akan katakan kepada kalian, agaknya sekarang aku belum berniat untuk memperbaiki atap rumahku yang rusak.”
“Kami tidak memerlukan imbalan apapun.” kata salah seorang dari mereka yang datang menghadap perempuan tua itu, “kami akan melakukan semata-mata karena kami merasa berhutang budi kepada pangeran Kuda Narpada”
Perempuan tua itu tersenyum, senyum yang amat pahit, katanya “Terima kasih Tuan, terima kasih, jika ada kebaikan hati Raja Jang Hyuk, lupakan sajalah. Itu sudah menjadi kewajibannya.”
Dan orang-orang itupun kemudian meninggalkan istana itu dengan hati yang penuh dengan berbagai macam pertanyaan.
“Apakah artinya pengasingan diri itu?” kata salah satu orang dari mereka.
Yang lain menggelangkan kepalanya, tetapi seorang yang sudah ubanan menyahut, “Hati Ratu Lee Da Hae tidak melihat lagi hari depan yang sebenarnya masih panjang, setidak-tidaknya bagi putrinya. Bukankah dengan sikapnya itu, ia telah mematahkan kuntum bunga yang hampir mekar?”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, seorang anak muda berkata. “Gadis itu cantik sekali…”
“Jika gadis itu cantik sekali, apa maumu?”
“Tentu tidak apa-apa, aku hanya sekedar memuji, Putri Han Ga In adalah gadis tidak ada duanya dimuka bumi.”
“Bumi yang mana?” tanya seorang kawannya, “Yang kau lihat tidak lebh jauh dari daerah pegunungan yang sempit ini.”
“Jadi apakah masih ada daerah yang lebih luas dari daerah pegunungan ini?”
“Kau memang anak muda yang terkungkung oleh lingkunganmu, yang kau ketahui tidak lebih dari dinding-dinding desamu.”
Anak muda itu tersenyum, katanya “Baiklah, jika demikian, maka gadis itu adalah gadis yang paling cantik di daerah ini.”
Kawan-kawannyapun tersenyum pula, meskipun ada diantara mereka tersenyum masam, bahkan seorang yang bertubuh gemuk berkata “Sudahlah, kehidupan yang suram di istana itu bukan sekedar bahan untuk berkelakar, kita sebenarnya merasa kasihan melihat cara hidup mereka yang tidak sewajarnya itu.”
Yang lainpun terdiam, mereka tidak lagi membicarakan hal istana itu, tetapi angan-angan mereka berkecamuk mengulang masa-masa lampau.
Istana itu pernah menjadi pusat perhatian orang-orang disekitarnya, terlebih-lebih penghuni desa kecil pegunungan itu. Terbayang kembali saat-saat istana itu bagaikan pelita yang menerangi daerah disekitarnya. Sesaat istana itu didirikan, maka mulailah nampak bahwa penghuni istana itu adalah orang-orang yang baik dan rendah hati, meskipun sebenarnya ia adalah seorang Raja, Raja Jang Hyuk.
Raja Jang Hyuk lah yang memberikan beberapa petunjuk yang sangat berarti bagi desa itu, bagaimana mereka bercocok tanam, Raja Jang Hyuk lah yang mengajak para penghuni desa kecil itu membuat parit-parit yang akan dapat mengairi daerah mereka yang gersang. Bukan saja memberikan petunjuk dan perintah, tetapi Raja Jang Hyuk sendiri menyisingkan kain panjangnya, melepas bajunya dan turun ketanah berlumpur.
Orang bertubuh gemuk yang berjalan diantara beberapa orang kawannya itu menarik nafas dalam-dalam sehingga orang-orang yang berjalan disisinya berpaling kepadanya meskipun mereka tidak bertanya sesuatu.
Peristiwa itu seolah-olah membayang kembali dirongga mata orang bertubuh gemuk itu. Saat-saat penghuni istana itu datang untuk yang pertama kalinya didesanya, sebelum istana itu didirikan.
Kedatangan seorang Raja dan keluarganya di desa terpencil itu sangat megejutkan penghuninya. Bahkan beberapa orang lari bersembunyi didalam rumahnya. Tetapi yang lain berkumpul di rumah Kepala Desa Lee Joon Hyuk dengan senjata ditangan masing-masing.
“Jangan bingung” kata Kepala Desa Lee Joon Hyuk, “Aku akan menjumpainya dan bertanya apakah keperluannya datang ke desa ini.”
Ketika Kepala Desa Lee Joon Hyuk menghadap Raja yang baru datang itu, nampaklah olehnya bahwa Raja dan keluarganya itu sedang dicengkam oleh kegelisahan, tetapi agaknya Raja itu menyadari bahwa ia berada didalam lingkungan yang berbeda dengan lingkungan yang ditinggalkannya.
Karena itu, kepada Kepala Desa Lee Joon Hyuk yang nampak dengan jujur menyonsongnya, tanpa niat yang mencurigakan, Raja Jang Hyuk tidak menyembunyikan lagi maksud kedatangannya itu.
“Aku menghindarkan diri dari perang yang sedang berkecamuk di Sungkyunkwan” kata Raja Jang Hyuk.
“Tetapi siapakah tuan?” tanya Kepala Desa Lee Joon Hyuk.
“Aku adalah Raja Jang Hyuk, adik dari Kaisar di Sungkyunkwan.”
“Apakah yang terjadi di Sungkyunkwan?”
“Perang, Pasukan Bukhansan sudah menduduki pusat kerajaan beberapa saat yang lalu, Kaisar Han Jung Soo telah meninggalkan istana dengan beberapa pengiringnya. Pasukan bantuan yang diminta oleh Kaisar Han Jung Soo dari putranya Pangeran Ryeowook masih belum sampai ke pusat kerajaan ketika pasukan musuh sudah tidak tertahan lagi memasuki pusat pemerintahan”.
“Jadi pusat kerajaan Sungkyunkwan sudah direbut?”
“Ya, aku meninggalkan pusat pemerintahan yang terakhir, ketika pasukanku hampir tumpas. Aku tidak dapat mengingkari kenyataan dan mengorbankan jiwa tanpa arti lebih banyak lagi. Kerena itu, maka aku terpaksa menarik pasukanku yang tersisa, kemudian aku menyusul Kaisar Han Jung Soo setelah mengambil keluargaku di pengungsian, menurut pendengaranku, Kaisar Han Jung Soo pergi ke barat, kemudian menyusuri daerah Pegunungan Jirisan, tetapi aku tidak berhasil menemukannya”.
Kepala Desa Lee Joon Hyuk menarik nafas dalam-dalam.
“Aku mendengar berita terakhir, bahwa Kaisar Han Jung Soo telah turun dari daerah pegunungan dan mendekati kedudukan putranya Pangeran Ryeowook.”
“Dan Raja Jang Hyuk akan menyusulnya juga?”
Raja Jang Hyuk menggeleng, katanya “Aku tidak akan menyusulnya, disini aku merasa seolah-olah aku berada ditempat yang paling damai, karena itu, apabila kedatanganku, dirasa tidak menggangu ketenangan desa ini, aku akan tinggal di daerah ini.”
Kepala Desa Lee Joon Hyuk tidak dapat menolak meskipun ia sebenarnnya masih ragu-ragu, ia tidak sampai hati untuk mempersilahkan Raja itu meninggalkan desanya, setelah ia melihat seorang perempuan yang akhirnya ia ketahui adalah Istri dan anaknya, Ratu Lee Da Hae yang pucat dan lemah, seorang gadis yang kurus dan bermata cekung, meskipun gadis itu adalah seorang yang cantik sekali.
“Tetapi apakah Raja Jang Hyuk akan dapat tinggal bersama kami orang-orang kasar yang tidak mengenal adat dan bodoh”.
“Apakah bedanya? kalian adalah orang-orang yang masih lebih beruntung daripada aku, aku sekarang lebih tidak berarti lagi daripada kalian, aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai apapun juga selain yang dapat kami bawa”.
Kepala Desa Lee Joon Hyuk memandang tubuh-tubuh yang lemah dan pucat. Memang tidak ada yang mereka bawa selain sebungkus pakaian kusut, sedikit perhiasan yang nampak pada jari-jari Ratu Lee Da Hae dan putrinya. Sekilas nampak permata yang menghiasi jari Raja Jang Hyuk, selebihnya tidak ada apa-apa lagi.
Tetapi yang nampak itu seolah-olah telah meyakinkan kepada Kepala Desa Lee Joon Hyuk bahwa yang dihadapannya itu benar-benar seorang Raja. Dan ia mengaku bernama Raja Jang Hyuk.
“Raja Jang Hyuk.” kata Kepala Desa Lee Joon Hyuk kemudian, “Tentu kami tidak akan dapat menolak jika Raja ingin tinggal bersama kami, tetapi kenapa Raja tidak berusaha menyusul Kaisar Han Jung Soo?”
Raja Jang Hyuk menarik nafas dalam-dalam, katanya “Jika aku hendak menyusul Kaisar Han Jung Soo, maka yang terkilas didalam angan-anganku hanyalah keselamatannya, bukan kepentinganku sendiri. Dan kini, menurut pendengaranku, Kaisar Han Jung Soo telah mendekati tempat kedudukan putranya seorang Raja (Raja Shindong) di Daehanminguk, maka aku tidak mencemaskannya lagi.”
“Tetapi Raja sendiri? apakah Raja tidak ingin berada di Daehanminguk pula?”
Raja Jang Hyuk menarik nafas dalam-dalam, katanya “Aku tidak mengharapkan apa-apa lagi selain kedamaian hati. Aku tidak akan melibatkan diri lagi kedalam lingkungan yang riuh seperti Daehanminguk.”
Kepala Desa Lee Joon Hyuk mengangguk-angguk, katanya “Raja, memang tidak ada yang lebih nikmat dari pada kedamaian hati, akhirnya setiap orang akan merindukan damai didalam dirinya sendiri. Apalagi apabila umur kita menjadi semakin tua, meskipun ada saja pengecualiannya pada satu dua orang.”
Kepala Desa Lee Joon Hyuk itu berhenti sejenak “Tetapi Raja. Dalam usia Raja sekarang ini, apakah Raja akan terhenti di desa kecil dan terpencil diatas pegunungan Jirisan ini? Raja adalah ksatria, tugas Raja adalah luas sekali dalam kehidupan yang terbentang didepan tatapan mata kita. Bukankah seorang ksatria menurut pendengaranku dituntut untuk memberikan dermanya bagi sesama? Melindungi yang lemah, menegakkan yang layu dan menuntun yang buta?”
“Apakah aku tidak dapat melakukannya disini?” jawab Raja itu. “Jika ternyata bahwa disini akulah yang lemah, yang layu dan yang buta, maka adalah kewajiban kalian untuk memberikan derma ksatria.”
“Kami adalah rakyat jelata.”
Raja Jang Hyuk tersenyum, senyum yang sangat pahit. Kemudian katanya “Aku pernah mendengar diantara desir angin yang lembut, yang mengalir dari istana Kerajaan Daehanminguk. Apakah ada bedanya antara Rakyat Jelata dan Ksatria? yang kaya dan yang miskin? Tidak. Dihadapan Tuhan, kami dan kalian, kita semua adalah hambanya yang terkasih, yang berbeda adalah tugas kita masing-masing, Tetapi tidak ada bedanya bagi kita semuanya untuk menempuh jalan mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta, karena perbedaan yang ada semata-mata perbedaan duniawi, bukan perbedaan hakiki dari hamba-hamba Yang Maha Agung itu”.
Kepala Desa Lee Joon Hyuk masih saja mengangguk-angguk, tetapi ia masih belum mengerti seluruhnya makna dari kata-kata Raja Jang Hyuk.
“Meskipun demikian Kepala Desa Lee Joon Hyuk” kata Raja Jang Hyuk. “Semuanya terserah kepada Kepala Desa Lee Joon Hyuk, jika Kepala Desa Lee Joon Hyuk mempunyai pertimbangan lain, maka aku akan meneruskan perjalanan.”
“Tidak, tidak Raja.” Kepala Desa Lee Joon Hyuk menyahut dengan serta merta. “Kami memang dapat mencurigai setiap orang baru didaerah kami, tetapi terhadap Raja Jang Hyuk yang datang bersama dengan keluarga, kami akan mencoba memberikan tempat yang ada pada kalian.”
Raja Jang Hyuk menarik nafas dalam-dalam, namun kemudian iapun berkata “Aku memang merasa bahwa kedatangan kami dapat menumbuhkan salah paham, keragu-raguan dan ketidak-pastian sikap, aku melihat Kepala Desa Lee Joon Hyuk dengan ikhlas menemui kami. Tetapi kami juga mengetahui, bahwa ada diantara kalian yang menjadi curiga.”
“Maafkan Kami Raja, kami memang sedang dipengaruhi oleh kecurigaan sejak saat-saat terakhir. Kami memang mendengar bahwa disebelah timur dari desa ini, serombongan bangsawan sedang melintas. Agaknya merekalah yang Raja maksudkan dengan Kaisar Han Jung Soo dengan pengiringnya.” Kepala Desa Lee Joon Hyuk berhenti sejenak, kemudian “Namun setelah itu, kerusuhan sering terjadi. Beberapa orang yang mendapat hadiah pada saat iring-iringan itu lewat dam memberikan pelayanan seperlunya, telah didatangi oleh penjahat-penjahat yang merampok barang-barang itu. Tetapi agaknya yang mereka cari bukanlah semata-mata harta benda.”
“Apakah yang mereka cari?”
“Kami juga tidak tahu pasti, merekapun tidak tahu pasti, Tetapi agaknya sejenis pusaka atau semacamnya….”
Wajah Raja Jang Hyuk menegang sejenak, namun kemudian wajahnya itu menjadi tenang kembali, seolah-olah tidak ada kesan apapun dari cerita Kepala Desa Lee Joon Hyuk itu.
“Mungkin karena kerusuhan-kerusuhan yang terjadi itulah maka kalian mencurigai setiap orang baru didaerah ini.”
“Ya, Raja, tetapi justru karena Raja Jang Hyuk datang bersama dengan Ratu Lee Da Hae dan seorang putri yang nampaknya sudah terlampau letih oleh perjalanan yang lama, maka kami seharusnya tidak mencurigai Raja lagi.”
Demikianlah sejak saat itu, Raja Jang Hyuk berada di Desa Seongjusan. Sesuai dengan keinginannya sendiri, maka dengan bantuan penduduk Seongjusan, Raja Jang Hyuk membuat istana kecil di luar Desa Seongjusan, meskipun hanya berjarak beberapa tonggak saja. Sebuah jalur jalan sempit menghubungkan istana kecil itu dengan sebuah lorong desa.
Istana kecil itu adalah Istana Raja Jang Hyuk, istana yang kemudian menjadi semakin sepi. Istana yang seakan-akan telah kehilangan rambatannya.
Pada masa-masa yang lewat, istana itu seolah-olah menjadi pusat perhatian setiap orang di Seongjusan. Kepala Desa Lee Joon Hyuk sendiri sering berkunjung ke istana itu. Pendapanya yang mungil hampir setiap hari menjadi tempat berkumpul. Orang-orang tua maupun anak-anak muda. Meskipun istana itu adalah istana seorang Raja, tetapi rasa-rasanya tidak ada bedanya dengan rumah-rumah yang bertebaran didesa kecil. Raja Jang Hyuk dengan senang hati menerima mereka setiap saat dan berbicara dengan mereka tentang berbagai bermacam persoalan. Dari lingkungan permainan anak-anak kecil, anak-anak meningkat dewasa, sampai dengan kepada menggali parit dan membangun bendungan.
Hubungan antara orang-orang Seongjusan dan Raja Jang Hyuk menjadi semakin rapat. Ketika Raja Jang Hyuk menyatakan dirinya, tidak lagi mempergunakan sebutan kebangsawanannya.
“Panggil aku Tn.Jang Hyuk” berkata Raja Jang Hyuk yang rendah hati itu.
Untuk beberapa lamanya orang-orang Seongjusan masih saja merasa segan, namun akhirnnya, lambat laun, sebagian kecil dari mereka berhasil juga membiasakan diri memanggil Tn.Jang Hyuk.
Seperti juga orang-orang Seongjusan, Tn.Jang Hyuk bekerja di sawah dan di ladang. Turut serta menggali parit seperti yang dianjurkannya sendiri. Membuat empang-empang untuk berternak ikan di sungai. Menanam pohon buah-buahan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Ternayata kehadiran Raja Jang Hyuk telah merubah tata kehidupan di Seongjusan. Mereka mulai mengenal cara menanam yang jauh lebih baik dari cara yang selama ini mereka pergunakan. Tn.Jang Hyuk mulai menganjurkan agar orang-orang Seongjusan mempergunakan pupuk bagi tanah yang tandus.
“Apakah gunanya kotoran kandang ternak bagi tanaman?” tanya Kepala Desa Lee Joon Hyuk.
“Tanah yang setiap kali dihisap sari makanannya oleh pepohonan memerlukan sari makanan baru.” jawab Tn.Jang Hyuk. Dengan cara yang sederhana. Yang ternyata pada panen yang berikutnya memberikan pengaruh yang baik bagi hasil sawah mereka.
Dengan demikian maka Seongjusan rasa-rasanya menjadi semakin cerah, sawah-sawah yang kekuning-kuningan menjadi hijau dan sawah yang kering dapat dibasahi oleh air yang mengalir lewat parit-parit dan bendungan yang mereka buat.
Tetapi mereka belum berhasil mengatasi kegersangan tanah dilereng perbukitan.
“Kita akan menghijaukannya.” kata Tn.Jang Hyuk.
“Bagaimana Mungkin?” tanya orang-orang Seongjusan.
“Kita sebarkan biji Srikaya. Jika pohon Srikaya dapat tumbuh dengan baik, meskipun tidak terlampau subur, maka keadaan tanah yang membatu itu akan berubah. Kita dapat berharap beberapa tahun kemudian, sebagian dari tanah yang gersang itu akan dapat kita tanami dengan pepohonan yang sesuai.”
Orang-orang Seongjusan tidak segera mengerti, apakah pengaruhnya batang-batang pohon srikaya atas tanah yang membatu. Meskipun Tn.Jang Hyuk memberikan sedikit penjelasan tentang sifat akar pohon Srikaya, namun mereka masih juga ragu-ragu.
Tetapi kini sudah nyata bagi mereka, bahwa lereng bukit-bukit yang tandus itu dapat juga ditumbuhi beberapa jenis pepohonan. Sementara itu pohon tanaman yang cocok untuk tanah berbatu menjadi semakin rimbun, tumbuh dimana-mana, yang seakan-akan akarnya dapat meremas batu-batu karang manjadi tanah yang dapat ditanami. Pohon-pohon yang lain sudah mulai dicoba diantara batu-batu pada pegunungan.
Namun dalam pada itu batang-batang kayu tanaman yang cocok untuk tanah berbatu sendiri telah memberikan penghasilan dan khusus bagi orang-orang di desa Seongjusan. Selain daunnya yang dapat dipergunakan untuk membantu memberi makanan ternak, biji-bijinya dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi Raja Jang Hyuk tidak dapat melihat gunung yang semula kering itu sedikit demi sedikit manjadi hijau, meskipun dibeberapa bagian masih belum berhasil. Hujan yang jatuh dimusim basah memberikan banyak pengaruh atas pohon-pohon Srikaya yang tersebar diatas pebukitan yang keras.
Dan setiap kali orang-orang Seongjusan memandang bukit yang mulai hidup itu, mereka selalu teringat kepada Raja Jang Hyuk. Seorang Raja yang pernah hidup didalam lingkungan mereka dan yang pernah memberikan banyak sekali petunjuk bagi penduduk yang semula terlampau sedikit pengalamannya itu.
Tetapi kini Raja Jang Hyuk tidak ada lagi didalam istananya. Tidak seorangpun dapat mengatakan, kemana ia pergi. Yang mereka ketahui, pada suatu musim beberapa ekor kuda memasuki halaman istana itu. Tidak terlampau lama, sejenak kemudian penunggang-penunggang kuda itupun pergi bersama dengan Raja Jang Hyuk.
“Mereka adalah saudara-saudara seayah Raja Jang Hyuk.”
Kepala Desa Lee Joon Hyuk telah berusaha untuk menanyakan hal itu kepada istri Raja Jang Hyuk – Ratu Lee Da Hae. Tetapi istrinya itupun hanya dapat menggelengkan kepala kepalanya dengan mata yang basah.
“Aku tidak mengerti, kemana Raja Jang Hyuk itu pergi.”
“Tetapi siapakah mereka yang datang itu?”
“Raja Kangin dan Raja Minho bersama pengiringnya.”
“Siapakah mereka itu?”
Beberapa orang peronda hanya dapat memandang dari kejauhan. Semula mereka menyangka yang datang itu adalah beberapa orang tamu. Kemudian Raja Jang Hyuk ikut mengantarkan tamu itu ketempat tertentu. Tetapi ternyata, sejak saat itu Raja Jang Hyuk tidak pernah kembali lagi.
“Apakah Raja Jang Hyuk tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?”
Ratu Lee Da Hae tidak dapat menjawab. Ia hanya dapat menggelengkan kepalanya dengan lemah.
Sejak kepergian Raja Jang Hyuk ketempat yang tidak diketahui itulah, istana itu menjadi semakin sepi. Orang-orang Seongjusan yang semula sering datang dan duduk-duduk mendengarkan cerita Raja Jang Hyuk di pendapa kecil itupun makin lama menjadi semakin jarang berkunjung.
Ratu Lee Da Hae sendiri tidak pernah menolak setiap kunjungann, tetapi orang-orang itu sendirilah yang menjadi semakin segan. Apalagi mereka tahu, bahwa tidak ada seorang laki-lakipun yang tinggal didalam istana itu.
Dihari-hari berikutnya, jika Ratu Lee Da Hae keluar dari batas halamannya, maka berdatanganlah perempuan Seongjusan menyambutnya dan menawarkan apa saja yang ada pada mereka. Pada umumnya perempuan-perempuan itu pernah mendengar dari suami mereka, bahwa Seongjusan menjadi hijau karena jasa Raja Jang Hyuk.
Di istana itu sendiri, suasananyapun terasa semakin sepi. Putri Raja Jang Hyuk yang meningkat dewasa, rasa-rasanya telah kehilangan satu masa didalam garis hidupnya, justru masa yang paling cerah.
Tetapi ia tidak pernah mengeluh. Apalagi apabila ia melihat ibunya duduk termenung ditangga pendapa. Maka hatinyapun bagai tersayat.
Namun sebaliknya, demikian juga perasaan yang selalu membebani Ratu Lee Da Hae, kadang-kadang ia menangis seorang diri didalam biliknya apabila ia membayangkan masa depan putrinya yang semakin dewasa.
“Apakah yang akan ditemukan didalam hidupnya kelak di tempat yang terpencil ini.” katanya dalam hati.
Betapa rendah hati Raja Jang Hyuk sekeluarga, namun Ratu Lee Da Hae tidak pernah membayangkan, dari mana anaknya akan mendapatkan jodohnya. Sama sekali tidak terkilas didalam angan-angannya, bahwa ada anak muda dari Seongjusan yang pantas untuk menjadi pendamping gadisnya.
Jika malam mulai menyentuh ujung pendapa istana kecil itu, dan kelapak kelelawar mulai mendengar diatas atap rumah yang tiris. Maka Ratu Lee Da Hae mengantarkan gadisnya masuk kedalam biliknya. Kemudian ia sendiri duduk dibilik itu pula dengan hati yang resah.
Kadang-kadang masih juga tumbuh harapannya, pada suatu saat Raja Jang Hyuk akan datang kembali. Tetapi harapan itupun semakin lama menjadi semakin susut. Sehingga akhirnya hanyalah sebuah gambaran yang samar-samar. Yang tidak nampak jelas, tetapi yang tidak dapat dihapuskannya.
“Raja Kangin dan Raja Minho mengatakan bahwa mereka hanya memerlukan Raja Jang Hyuk beberapa saat saja. Secepatnya Raja Jang Hyuk akan dikembalikan. Tetapi beberapa bulan telah lampau, dan Raja Jang Hyuk tidak pernah datang kembali.” keluh Ratu Lee Da Hae setiap kali dalam hatinya.
Demikian pula terjadi pada putrinya – Putri Ha Ga In. Rasa-rasanya ia ingin terbang menyusul ayahandanya yang pergi bersama pamannya.
“Tetapi kemana ayahanda dibawa oleh pamanda Raja Kangin dan pamanda Raja Minho?”
Menurut pengakuan kedua Raja yang mengambil Raja Jang Hyuk itu, mereka mendapat perintah dari Raja Ryeowook untuk memanggil Raja Jang Hyuk, tetapi ternyata Raja Jang Hyuk tidak pernah pulang kembali ke istananya yang terpencil.
“Apakah ayahanda mendapat tugas baru di istana Daehanminguk?”
Pertanyaan itu timbul pula didalam hati anak gadis itu, “Tetapi jika demikian, ayahanda tentu akan menjemput ibunda dan aku” ia melanjutkannya.
Namun seribu macam teka-teki itupun tidak dapat diketemukan jawabannya. Yang diketahui dengan pasti adalah, ayahandanya pergi tidak pernah kembali.
Sementara kedua penghuni istana itu tenggelam didalam angan sendiri, maka dibelakang, Bibi Ha Ji Won, seorang abdi yang setia satu-satunya orang masih mengikuti Raja Jang Hyuk sampai ke Seongjusan, tidak henti-hentinya berdoa didalam hati agar Raja yang diikutinya itupun segera kembali.
Kadang-kadang masih juga terbayang didalam angan-angan Bibi Ha Ji Won, betapa beratnya perjalanan yang pernah ditempuh Raja Jang Hyuk memberikan kebebasan kepada para pengiringnya untuk memilih jalan masing-masing. Bahkan sebagian mendapat perintahnya untuk berpencar mencari Kaisar Han Jung Soo disepanjang Gunung Jirisan, sehingga akhirnya Raja Jang Hyuk tidak lagi diikuti oleh seorang pengiringpun.
“Agaknya Raja Kangin dan Raja Minho telah menemukan Kaisar Han Jung Soo. Mungkin sudah berada di Daehanminguk, mungkin ditempat lain. Kemudian mereka mendapat perintah untuk mencari Raja Jang Hyuk.” kata Bibi Ha Ji Won didalam hati. “Tetapi jika demikian, kenapa Raja Jang Hyuk tidak membawa anak istrinya. Padahal anak istrinya adalah anak istri yang dibawanya sejak dari Sungkyunkwan. Bukan selir yang diketemukan ditengah jalan yang dapat ditinggalkan ditengah jalan pula.”
Namun seperti Ratu Lee Da Hae dan Putri Han Ga in maka pertanyaan-pertanyan itu akan tetap menjadi pertanyaan yang tidak terjawab. Raja Jang Hyuk yang melambaikan tangannya saat meninggalkan tangga pendapa itu ternyata hilang seperti kapas ditiup anging kencang, melambung tinggi dan tidak tahu dimana akan hinggap.
Tetapi diantara pertanyaan yang terselip dihatinya, Bibi Ha Ji Won menjadi berdebar-debar apabila ia mengenangkan tanggapan beberapa orang atas Raja Kangin. Ia tidak tahu sama sekali tentang Raja Kangin, ia tidak tahu sama sekali tentang Raja Minho, karena ia baru melihat beberapa kali selama ia menghambakan diri kepada Raja Jang Hyuk. Tetapi tentang Raja Kangin, ia sering mendengar ceritera beberapa orang pelayan kawan-kawannya. :
“Wanita itu sudah diusirnya.” kata seorang kawannya. “Justru ketika Raja Kangin mengetahui wanita itu mulai mengandung.”
“Diusir?” tanya Bibi Ha Ji Won.
“Malang benar nasib gadis itu, Seharusnya Raja Kangin menikahinya.”
“Tidak mungkin gadis itu akan dinikahi Raja Kangin, gadis itu hanya dianggap sebagai mainan saja. Coba saja hitung sudah berapa gadis yang menjadi korbannya?”
“Yang aku dengar juru taman Raja Kangin lah yang disuruhnya menikahi gadis itu, ketika gadis itu telah mengandung.”
“Apa Kau juga mau menjadi simpanan Raja Kangin?” Bibi Ha Ji Won bergurau. Dan kawannya mencubitnya sambil berkata “Aku tidak sudi, tetapi jika terpaksa apa boleh buat.”
Bibi Ha Ji Won tertawa, namun ia menjadi sedih juga. Memang ada satu dua orang dengan senang hati menerima nasib seperti itu. Mengandung dalam hubungannya dengan seorang bangsawan kemudian menjadi simpanan dengan pesangon yang banyak bagi dirinya sendiri dan bagi bakal suami yang harus dengan ikhlas menerimanya dalam keadaan apapun.
Tetapi Bibi Ha Ji Won tidak terlampau dalam menyesali tingkah laku seorang bangsawan yang demikian. Yang paling sakit baginya justru Raja Kangin yang memang berwajah tampan itu tidak saja mengorbankan pelayan-pelayan perempuannya yang masih gadis saja, tetapi kadang-kadang mereka yang sudah bersuami pun diambilnya dengan segala pengaruh yang ada padanya. Pengaruh derajat dan pangkat, tetapi juga pengaruh kekayaan yang dimilikinya.
“Untuk berapa lama, ia dapat memenuhi segala keinginannya.” kata Bibi Ha Ji Won didalam hatinya.
Peristiwa-peristiwa itu, ternyata telah mempengaruhi perasaannya. Pada saat terakhir. Raja Jang Hyuk pergi bersama Raja Kangin dan Raja Minho yang tidak begitu dikenalnya, membuatnya semakin lama semakin gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan semuanya itu kepada Ratu Lee Da Hae dan putrinya, Putri Han Ga In. Ia tidak sampai hati menambah parah luka dihati keduanya.
Tetapi justru karena itu, maka beban perasaan itu harus dipikul diatas pundaknya sendiri, tidak ada orang lain yang dapat membantu mambawa beban itu. Dan ia memang tidak ingin membaginya dengan orang lain.
Namun ternyata bahwa beban itu semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin berat, sehingga hampir tidak tertahankan lagi olehnya.
Sejalan dengan itu, maka istana kecil itupun menjadi semakin suram pula. Ratu Lee Da Hae semakin jarang keluar dari istananya. Apalagi putrinya – Putri Han Ga In. Yang kemudian harus pergi ke tengah Desa Seongjusan untuk mendapatkan keperluan sehari-hari adalah Bibi Ha Ji Won. Dan agaknya orang-orang Seongjusan pun menganggap pelayan yang setia itu seperti saudara mereka sendiri.
Justru apabila Bibi Ha Ji Won pergi Desa Seongjusan, rasa-rasanya ia sempat bernafas. Sehari-hari ia merasa terkurung didalam halaman istana kecil itu. Jarang sekali ia bercakap-cakap dengan Ratu Lee Da Hae yang menjadi semakin pendiam dan anak asuhnya Putri Han Ga In pun nampaknya semakin murung. Sehingga dengan demikian, jika ia mendapat kesempatan untuk keluar dari istana itu, rasa-rasanya dadanya agak menjadi lapang, meskipun tidak ada tempat untuk mengadukan semua beban didalam hati.
Dalam kemurungan itu, kadang-kadang Putri Han Ga In masih juga sempat mengajak Bibi Ha Ji Won berjalan-jalan dibelakang istana kecilnya. Naik kelereng bukit yang sepi. Memandang lereng yang mulai hijau dan celah-celah bukit yang memberikan kesan tersendiri.
“Apakah ayahanda pergi lewat jalan itu?” tanya Putri Han Ga In kepada pengasuhnya.
Bibi Ha Ji Won memandang jalur jalan dibawah bukit kecil itu, sambil mengangguk kecil ia menjawab “Demikianlah agaknya, jalur jalan itu menuju ketempat yang sangat jauh.”
“Dan ayahandapun pergi ketempat yang sangat jauh. Sudah lebih dari setahun ayahanda tidak pulang kembali. ”
Bibi Ha Ji Won tidak menyahut, kepergian Raja Jang Hyuk memang sudah lebih dari bukan saja setahun, tetapi sudah lebih dari dua tahun.
Setiap kali Putri Han Ga In mengajak Bibi Ha Ji Won memanjat bukit kecil dan memandang jalur yang panjang berliku-liku dan yang ujungnya seolah-olah hilang menyusup kebawah bukit, gadis itupun menjadi semakin nampak suram, ada kerinduan yang menekan didalam dadanya. Kerinduan kepada ayahandanya yang diikutinya sejak dari pusat kerajaan agung Sungkyunkwan.
Kadang-kadang Bibi Ha Ji Won mencoba untuk mengajak Putri Han Ga In berjalan-jalan ketempat lain, tetapi gadis itu selalu menolak, dan mengajak pengasuhnya itu naik kelereng bukit kecil dan mamandang jalan yang berliku-liku itu.
“Kenapa tidak pergi ke desa itu saja putri.” tanya Bibi Ha Ji Won.
Putri Han Ga In menggelengkan kepalanya.
“Disini terlampau sepi. Kita tidak bertemu dengan seorangpun, tetapi di desa kita dapat berbicara dengan orang-orang Seongjusan. Kadang-kadang yang mereka katakan memberikan pengalaman baru bagi kita. Kadang-kadang aneh, kadang-kadang tidak masuk akal dan kadang-kadang menggelikan sekali. Meskipun demikian bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai sikap hidup. Dan sikap hidup mereka, yang bertahun-tahun hidup didalam perjuangan melawan alam yang keras ini, dapat memberikan banyak petunjuk bagi kita.”
Tetapi Putri Han Ga In menggelengkan kepalanya, jawabnya “Aku lebih suka berada ditempat yang sepi.”
“Putri.” kata Bibi Ha Ji Won “Bukankah dengan demikian kita akan menjadi samakin terasing dari pergaulan. Padahal pergaulan yang betapapun sederhananya, akan memberikan pengaruh bagi kita, manusia adalah makhluk yang hidup dalam lingkungannya, bukan seharusnya hidup menyendiri.”
Tetapi Putri Han Ga In mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata “Aku mengerti Bibi Ha Ji Won, tetapi rasa-rasanya kini aku lebih senang hidup dalam ketenangan. Rasa-rasanya tidak ada lagi gairah untuk hidup dalam lingkungan yang luas, meskipun hanya seluas Desa Seongjusan. Disini aku mendapatkan kedamamaian hati. Tidak ada persoalan-persoalan yang menambah hidupku menjadi semakin suram.”
“Tetapi yang putri dapatkan bukanlah kedamaian yang sejati, tetapi sekedar kesunyian, karena hati yang damai seharusnya memancar seperti pelita yang menerangi keadaan sekitarnya, bukan seperti pelita yang berada dibawah kerudung yang rapat, sehingga sinarnya tidak memberikan arti apapun bagi kehidupan lingkungannya.”
Putri Han Ga In menarik nafas dalam-dalam, katanya “Bibi Ha Ji Won, bagaimana hati ini dapat menjadi pelita yang menerangi lingkungannya, jika hati ini rasa-rasanya menjadi semakin suram dan bahkan padam. Itulah yang mungkin benar, kesuraman yang sepi, bukan kedamaian, karena didalam hati ini tersimpan kegelisahan yang menggelora.”
“Ah…” Bibi Ha Ji Won menjadi semakin menyesal akan kata-katanya sendiri. Sehingga karena itu iapun segera menyahut “Sudahlah Putri, bukankah putri ingin mendapatkan kesegaran dengan berjalan-jalan diatas bukit ini? Nah putri dapat melihat lereng-lereng bukit yang menjadi hijau meskipun baru ditumbuhi batang jati. Tetapi kelak lereng itu akan dapat ditanami pepohonan yang mempunyai arti yang lebih besar lagi. Pohon aren, jambu, bahkan mungkin sebuah ladang jagung.”
Putri Han Ga In mengangguk-angguk, tetapi hatinya seolah-olah tidak melekat pada pengasuhnya yang sedang mencoba untuk menggeser perhatian gadis itu.
Bibi Ha Ji Won hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang anak asuhnya masih saja memandang jalur jalan yang berliku-liku seperti tubuh seekor ular raksasa yang membelit perbukitan.
Namun selagi mereka termenung diatas bukit kecil itu, tiba-tiba pendengaran mereka tertarik oleh suara seruling dikejauhan, suara seruling yang melengking menyusup celah-celah perbukitan.
Putri Han Ga In yang selama itu rasa-rasanya tidak mempunyai perhatian terhadap apapun juga, agaknya sentuhan suara seruling itu dapat menggetarkan dinding hatinya pula.
“Bibi Ha Ji Won …” kata Putri Han Ga In. “Kau mendengar suara seruling itu?”
“Ya..Putri.” jawab Bibi Ha Ji Won, lalu “Suara seruling itu mengingatkan kita kepada kidung tentang cinta”
“Ah…” desah Putri Han Ga In.
“Ooo…” Bibi Ha Ji Won menutup mulutnya, ia sudah terlanjur lagi menyebutkan sesuatu yang hampir tidak dikenal oleh anak asuhnya. Karena itu maka cepat-cepat ia menyambung “Seperti cinta Maha Pencipta atas kita yang telah memberikan banyak sekali kenikmatan. Meskipun kadang-kadang kita merasa sesuatu yang agak mengganggu, tetapi kurnia yang paling berharga bagi kita adalah kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan dan gangguan didalam hidup kita.”
Putri Han Ga In tidak menjawab.
“Putri, cobalah dengar, lagu itu seperti mengalun dari langit.”
Untuk sejenak Putri Han Ga In masih berdiam diri, agaknya suara seruling itu benar-benar dapat menyentuh hatinya.
Ternyata bahwa dihari berikutnya, Putri Han Ga In mengajak Bibi Ha Ji Won untuk pergi lagi ke bukit itu, rasa-rasanya ia ingin mendengar suara seruling yang pernah didengarnya itu.
“Seruling seorang gembala… putri, jika putri ingin mendengar, maka putri dapat memanggil gembala itu dan menyuruhnya bersenandung dihalaman istana.”
“Ah, tentu tidak akan merdu suara seruling yang diiringi oleh gemanya dilereng-lereng bukit seperti itu Bibi Ha Ji Won.”
Bibi Ha Ji Won tidak menjawab, iapun mengerti bahwa apabila gembala itu dibawa masuk halaman, kemudian duduk dipendapa dan meniup sulingnya, kesan getarannya akan jauh berbeda. Karena itu maka iapaun tidak lagi mengganggu Putri Han Ga In yang sedang asyik mendengar lagu yang melontar dari seruling dikejauhan tanpa mengetahui siapakah yang membunyikannya. Lagu yang rasa-rasanya sengaja disesuaikan dengan gejolak yang sedang melanda dinding-dinding jantung Putri Han Ga In, gejolak kerinduan kepada ayahandanya yang pergi bertahun-tahun yang lalu.
Tetapi sebenarnya ada perasaan rindu yang lain yang terselip didalam didalam hati gadis yang meningkat dewasa itu. Putri Han Ga In sendiri tidak mengetahuinya. Apalagi orang lain. Sebagai seorang gadis yang sudah dewasa, maka hatinyapun menjadi peka sekali terhadap sentuhan yang sendu. Suara seruling itu agaknya telah membelainya, bukan saja sebagai curahan perasaan rindu kepada ayahandanya, tetapi sentuhan-sentuhan yang lain didalam kalbunya, karena seperti yang dikatakan oleh Bibi Ha Ji Won, lagu itu adalah kidung cinta, tembang yang melontarkan gairah cinta yang menyala didalam kalbu.
Karena itu, maka rasa-rasanya suara seruling itu terdengar manis ditelinganya dan mendapat tempat dihatinya, seolah-olah suara seruling itu sengaja disiulkan untuknya.
“Bibi Ha Ji Won …, siapakah yang meniup seruling itu?” tiba-tiba Putri Han Ga In bertanya.
“Seorang gembala, putri. Seperti yang sudah aku katakan.”
“Apakah ia anak Seongjusan….?”
“Tentu, desa yang lain terletak ditempat yang agak jauh, agaknya hanya anak-anak Seongjusan sajalah yang menggembalakan ternak-ternaknya sampai kelereng bukit itu.”
Putri Han Ga In merenung sejenak, tetapi ia menjadi kecewa jika suara itupun kemudian terhenti.
“Disaat-saat begini, gembala-gembala biasanya mulai mengumpulkan ternaknya, sebentar lagi mereka akan menggiringnya kembali ke kandang.”
Putri Han Ga In hanya mengangguk-angguk saja.
“Matahari menjadi semakin rendah, sebentar lagi senja akan turun, sehingga ternak harus sudah berada di kandangnya, bukankah dilembah yang curam itu, kadang-kadang masih terdapat harimau yang berkeliarian? karena itu menjelang senja para gembala harus sudah pulang.”
“Apakah disiang hari harimau itu tidak mau mencuri ternak?”
“Kadang-kadang putri, tetapi disiang hari gembala-gembala itu mempunyai banyak kawan, juga orang-orang yang diladang. Jika ada seekor atau dua ekor harimau yang berani mengganggu ternak, maka beramai-ramai gembala itu melawannya, karena itu, mereka membawa senjata ke ladang.”
Putri Han Ga In menganguk-angguk pula.
“Sekarang, kita pulang putri.”
“Sebentar Bibi Ha Ji Won, Aku ingin melihat matahari menjadi semakin rendah dan turun ke punggun bukit.”
“Ah…” wajah Bibi Ha Ji Won menegang “Sudah aku katakan, disela-sela berbukitan itu masih berkeliaran harimau kumbang, mungkin macan tutul.”
“Tetapi harimau-harimau itu tidak akan datang kemari, disini tidak ada ternak.”
Putri Han Ga In tersenyum, senyum yang sudah jarang sekali nampak dibibirnya.
“Apakah suara seruling itu tidak akan terdengar lagi?”
“Besok lagi kita datang kemari untuk mendengarkan, mereka sekarang sudah pulang.”
Putri Han Ga In menarik nafas dalam-dalam, iapun tiba-tiba menjadi ngeri jika ada seekor harimau yang tersesat sampai keatas bukit kecil itu. Karena itu, maka katanya “Baiklah, kita akan pulang, besok kita akan mendengarkan seruling itu lagi.” ia berhenti sejenak, lalu “Bagaimana jika kita pergi mendekat?”
“Ah, tidak mungkin, putri. Jalan terlampau sulit, anak-anak gembala dapat berlari-lari di lereng yang terjal sambil menggiring ternak, tetapi kita tidak akan dapat merangkak sekalipun.”
Putri Han Ga In mengangguk-angguk, ia mengerti, bahwa jalan dilereng bukit itu terlampau sulit dilalui sampai ke ladang tempat anak-anak menggembalakan ternaknya.
“Putri.” kata Bibi Ha Ji Won pula. “Matahari menjadi semakin terlampau rendah, apakah kita tidak sebaiknya pulang sekarang.”
Putri Han Ga In mengangguk, sekali ia masih memandang kelereng bukit, kearah seruling itu melontarkan tembang, namun kemudian iapun bergeser dan melangkah meninggalkan tempatnya.
Tetapi tiba-tiba saja ia langkahnya terhenti, ketika dengan tiba-tiba pula ia mendengar suara seruling itu pula, tidak sejauh yang didengarnya sebelumnya.
“Bibi Ha Ji Won …” desis Putri Han Ga In.
Bibi Ha Ji Won pun tertegun, suara seruling itu terdengar dekat sekali. Hanya dibalik dedaunan dibawah ujung bukit kecil itu.
“Kau dengar suara seruling itu?” tanya Putri Han Ga In.
“Tentu, putri.”
“Dekat sekali.”
“Ya…dekat sekali.”
Putri Han Ga In memandang Bibi Ha Ji Won yang menjadi pucat.
“He…! Kenapa Kau.”
“Suara seruling itu…?
“Kenapa…”
“Berbeda putri, agak berbeda. Apakah putri tidak merasakan perbedaannya.
Putri Han Ga In bukan seorang yang mengerti tentang kidung dan tembang, tetapi ia merasakan ia memang merasakan sesuatu yang lain. Suara seruling yang didengarnya itu justru lebih menyentuh perasaannya, halus dan menggelayut.
“Bibi Ha Ji Won …, apakah hanya pendengaranku dan ketidak tahuanku tentang suara seruling? lagunya bertambah indah.”
“Ya..ya.. putri, lebih syahdu, tetapi…..” Ia berhenti sejenak.
“Tetapi apa Bibi Ha Ji Won …”
Bibi Ha Ji Won memandang kesekelilingnya, ia tidak melihat seorangpun, sehingga kemudian ia berkata “Apakah aku hanya mendengar suaranya saja?”
“Oooh…” Putri Han Ga In menepuk bahu anak asuhnya, “Aku mengerti Bibi Ha Ji Won, Kau takut? Kau anggap suara seruling itu suara hantu yang sedang bermain seruling?”
“Putri, tempat ini jarang sekali disentuh kaki manusia.”
“Jika sekiranya ada hantu yang pandai bermain seruling apa salahnya?”
Bibi Ha Ji Won mengerutkan dahinya, katanya “Marilah kita pulang.”
“Sebelum Putri Han Ga In menjawab, maka suara seruling itupun tiba-tiba telah lenyap, seperti tiba-tiba saja suara itu melengking, sehingga Bibi Ha Ji Won menjadi semakin gemetar. Bulu-bulu tubuhnya serasa berdiri. Sambil mendekati anak asuhnya ia berkata “Putri… marila kita cepat-cepat pulang.”
Putri Han Ga In mengangguk, tetapi ia sama sekali tidak menjadi ketakutan, ia yakin bahwa seorang gembala dengan sengaja telah mengganggunya, mungkin seorang ingin bergurau, seperti orang-orang Seongjusan sering bergurau dengan ayahandanya sebelum ayahandanya pergi.
Keduanya kemudian melangkah meninggalkan bukit itu dan kembali ke istana kecil yang terpencil itu.
“Putri telah mengganggu pekerjaanku” kata Bibi Ha Ji Won sambil mencubit Putri Han Ga In.
“Kenapa Bibi Ha Ji Won …?”
“Aku belum merebus air, ibunda biasanya mandi dengan air hangat. Karena aku ikut mendengarkan suara seruling itu, maka aku terlambat.
“Belum terlambat Bibi Ha Ji Won, dan biarlah aku yang mengatakannya kepada ibunda.”
Tetapi ternyata Putri Han Ga In tidak mengatakan tentang suara seruling itu, ia hanya mengatakan bahwa Bibi Ha Ji Won telah dibawanya berjalan-jalan.
“Jangan terlalu jauh Putri Han Ga In.” kata ibundanya “Kita masih belum mengenal seluruh keadaan desa itu, meskipun kita sudah beberapa tahun berada disini. Berbeda dengan ayahandamu, mengenal Seongjusan lebih baik dari orang-orang Seongjusan itu sendiri, tetapi kau belum.”
“Ya…ibunda.”
“Apalagi menurut cerita orang, didaerah perbukitan itu masih ada berkeliaran beberapa ekor harimau. Karena itu, sebaiknya jika kau ingin berjalan-jalan, pergi sajalah ke tengah desa. Orang-orang Seongjusan masih tetap baik kepada kita.”
Putri Han Ga In mengangguk saja, tetapi ia rasa-rasanya sudah sangat dipengaruhi oleh suara seruling, dan berlebih-lebih lagi suara yang tiba-tiba ada dibalik dedaunan yang tidak terlampau jauh darinya.
“Gembala-gembala itu pandai meniup suling.” katanya kepada Bibi Ha Ji Won.
“Hanya seruling sajalah permainan mereka, mereka tidak dapat bermain-main dengan cara yang lain, apalagi bermain sembunyi-sembunyi atau semacamnya. Dengan demikian mereka akan meninggalkan ternak mereka, jika ternak mereka itu hilang, maka mereka akan menyesal.”
“Jadi mereka duduk-duduk saja sambil meniup seruling?”
“Ya… satu dua, yang lain bermain dengan kayu, membuat ukiran dan patung-patung kecil seperti yang terdapat diruang depan, anak-anaklah yang memberikan patung-patung kecil itu kepada Raja Jang Hyuk waktu itu.”
Putri Han Ga In mengangguk-angguk, ia memang melihat ukirang dan patung-patung kecil itu di ruang depan. Agaknya ayah dari anak-anak yang membuatnya telah memberikannya kepada ayahandanya sebelum ayahandanya pergi. Dan ternyata bahwa patung-patung kecil itu sampai saat itu masih disimpannya baik-baik.
Tetapi dihari berikutnya terjadilah sesuatu yang agak lain dan tidak disangka-sangka sama sekali. Sebelum Putri Han Ga In pergi ke bukit kecil, tempat ia biasa mendengarkan suara seruling dan mamandang jalan kecil yang berliku-liku disela-sela bukit, tiba-tiba saja terdengar suara seruling dari pendapa rumahnya. Suara itu memang agak jauh, tetapi jelas terdengar.
“Bibi Ha Ji Won.” ia memanggil pengasuhnya yang masih ada didapur, “Kau mendengar suara seruling itu?”
Bibi Ha Ji Won mencoba mendengarkannya, tetapi ia menggeleng “Aku tidak mendengarnya, putri.”
“Aku telah mendengarkannya.”
“Tetapi aku tidak.”
Putri Han Ga In pun kemudian mencoba mendengarkan suara itu, tetapi agaknya suara seruling itu memang tidak terdengar dari dapur, karena suara air yang mendidih didalam panci.
Putri Han Ga In pun menarik tangan Bibi Ha Ji Won dan mengajaknya ke pendapa.
“Ada apa Putri Han Ga In?” tanya ibunya yang melihat anaknya menarik tangan pengasuhnya.
Putri Han Ga In tidak menjawab, tetapi Bibi Ha Ji Won lah yang menyahut. Suara seruling Ratu Lee Da Hae, suara itu terdengar jelas dari pendapa.”
“Ah hanya suara seruling.”
Putri Han Ga In sama sekali tidak menjawab, tetapi ia menarik Bibi Ha Ji Won melintasi ruang dalam, langsung ke pendapa.
Ketika mereka berdiri di pendapa, maka Bibi Ha Ji Won pun mencoba mempertajam pendengarannya, tetapi ia tidak mendengar apa-apa.
“Apa putri masih mendengarnya?”
“Putri Han Ga In mengerutkan keningnya, dengan kecewa, ia menggeleng lemah “Suara itu sudah tidak terdengar lagi Bibi Ha Ji Won.
“Aku kira putri terlampau memikirkan suara seruling itu, sehingga ketika angin berhembus dan mengguncang dedaunan, suaranya seperti suara seruling yang merdu.”
“Ah…, tentu lain” jawab Putri Han Ga In. “Apakah kau kira aku sudah tidak dapat membedakan lagi suara seruling dan suara gemerisik dedaunan?”
“Bukan begitu maksudku putri. Tetapi karena perasaan putri terlampau dicengkam oleh suara seruling cinta itu, maka rasa-rasanya semua suara seperti suara seruling. Demikian juga dengan tingkahku sewaktu tigapuluh tahun yang lampau, pada saat aku masih remaja seperti putri”.
“Ah… aku yakin aku mendengar suara itu.”
“Baiklah putri, nanti aku akan ikut mendengarkan. Tetapi airku sudah mendidih, aku akan menanak nasi sebelum airnya kering.”
“Kau akan menanak nasi?”
“Ya, putri, bukankah sehari-hari aku juga menanak nasi?”
“Bukankah kita akan berjalan-jalan?”
“Ya, biasanya aku menjerang nasi sebelum berangkat, kemudian aku akan mengaduknya setelah kita kembali.”
“Jika nasi itu gosong?”
“Biasanya, jika ibunda mengetahui aku mengantar putri berjalan-jalan, maka ibunda tidak berkerberatan turun kedapur? Bukankah hal itu sering dilakukannya pula?”
Putri Han Ga In mengangguk-angguk. Ibundanya bukan lagi seorang Ratu yang hanya duduk diatas tempat duduk yang dialasi dengan beludru atau bercengkerama ditaman yang ditumbuhi oleh seribu macam pohon bunga, ibunya adalah seorang yang harus menyesuaikan diri dari keadaan. Meskipun selagi ibundanya berada di Sungkyunkwan, bukan pula seorang yang tinggi hati, namun jarang sekali ibundanya menjenguk kebagian belakang istananya.
“Jika demikian” kata Putri Han Ga In kemudian “Cepatlah kita akan berangkat.”
Bibi Ha Ji Won pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke belakang, menurunkan panci berisi air yang sudah mendidih, kemudian menjerang nasi, baru ia membuat minuman panas bagi Ratu Lee Da Hae. Sebelum ia pergi mengantarkan Putri Han Ga In berjalan-jalan.
Setelah semuanya selesai, maka Putri Han Ga In dan Bibi Ha Ji Won pun mohon diri kepada Ratu Lee Da Hae untuk berjalan-jalan sebentar keatas bukit seperti hari-hari yang lewat.
Tetapi mereka tertegun ketia beberapa langkah mereka mulai menyusuri jalan setapak, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan perlahan-lahan dilereng bukit kecil. Ditangannya tergenggam sebuah seruling bambu yang panjang berwarna gading.
“Bibi Ha Ji Won …” desis Putri Han Ga In “Apakah anak muda itu juga seorang gembala?”
Bibi Ha Ji Won termangu-mangu sejenak, dipandangnya seorang anak muda yang mempunyai ciri agak lain dari anak-anak muda dari Seongjusan. Meskipun ia mengenakan pakaian yang sederhana, tetapi kesederhanaannya adalah berbeda sekali dengan pakaian anak-anak muda di Seongjusan. Anak muda yang berjalan dilereng bukit itu memakai pakaian lengkap dan dengan cara yang baik pula.
“Agaknya bukan anak Seongjusan, putri.” kata Bibi Ha Ji Won.
Putri Han Ga In tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar, anak muda itu berjalan langsung menuju kearahnya.
“Bibi Ha Ji Won …, kenapa ia berjalan kemari?”
Bibi Ha Ji Won pun menjadi berdebar-debar, tetapi ia justru menjadi ketakutan seperti ketika ia membayangkan hantu yang berterbangan disekitar bukit kecil itu.
Karena itu, maka iapun kemudian berdiri disisi Putri Han Ga In yang justru termangu-mangu ditempatnya.
Beberapa langkah dihadapan Putri Han Ga In, anak muda itupun berhenti, dengan hormatnya ia membungkukkan kepalanya sambil berkata “Hormat bagi tuan putri Han Ga In.”
Putri Han Ga In terkejut, dengan suara bergetar ia bertanya, “Kau sudah tahu namaku?”
‘Setiap orang di Seongjusan telah mengenal tuan putri.”
“Kau juga anak muda Seongjusan…?” tanya Bibi Ha Ji Won.
“Bukan Bibi, aku adalah seorang perantau.” jawab anak muda itu.
“Ooo…” Bibi Ha Ji Won mengangguk-angguk “Aku sudah menduga, kau tentu bukan anak muda dari Seongjusan. Tatapan matamu membayangkan tingkat kecerdasan yang lain dari anak-anak muda Seongjusan yang berpikir dengan sederhana.”
“Ah, akupun hanya anak desa, tetapi aku mempunyai kegemaran mengembara. Menjelajahi desa, mendaki perbukitan dan menuruni lembah.”
Bibi Ha Ji Won mengangguk-angguk, wajah anak muda itu memang menunjukkan hatinya yang keras, tatapan matanya bagaikan ujung tombak yang langsung menusuk kepusat jantung.
“Aku sekarang untuk sementara tinggal di Seongjusan putri.” kata anak muda itu.
“Kaukah yang bermain seruling?” tiba-tiba Putri Han Ga In bertanya.
“Ya…, tetapi bukan yang tuan putri dengar di lembah, disela-sela bukit. Suara seruling itu adalah suara seruling gembala dari Seongjusan.”
“Jadi yang mana..?”
“Aku sering melihat tuan putri pergi ke bukit kecil itu dan tertarik kepada suara seruling yang berlagu tanpa irama, seperti gemuruhnya suara pasar.
“Dan kau…?”
“Aku mencoba untuk memperkenalkan putri dengan suara seruling yang baik dan irama yang benar dari tembang cinta, aku membunyikan seruling dibalik dedaunan dibawah bukit itu.”
“Oo..Kaukah itu?” Putri Han Ga In tersenyum, tetapi ketika kakinya akan melangkah mendekat, Bibi Ha Ji Won telah menahan lengannya.
“Tetapi sebenarnya, akupun bukan peniup seruling yang baik, meskipun demikian, aku tentu dapat melakukannya lebih baik dari gembala-gembala Seongjusan.”
“Tentu, suara serulingmu lebih baik, lebih halus dan berirama.”
“Aku mempunyai pengalaman yang jauh lebih luas dari anak-anak Seongjusan, dan karena itulah, aku mencoba untuk memberikan yang lebih baik dari yang dapat mereka berikan.”
Putri Han Ga In mengangguk-angguk, dan kemudian iapun bertanya “Aku belum bertanya, siapakah namamu dan dari manakah asalmu?”
Anak muda itu tersenyum, jawabnya “Namaku Yesung putri, asalku? …entahlah, aku sendiri tidak mengetahuinya dengan pasti, aku adalah anak berselimut langit dan beralaskan bumi, aku tidak tahu, siapakah yang menurunkan aku sebenarnya.”
“Ah…, apakah begitu…?”
“Benar Putri, dan sekarang aku mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, kali ini aku tersangkut di Desa Seongjusan.”
Putri Han Ga In tidak segera bertanya lagi, nampak keragu-raguan membayang wajahnya yang bening, tetapi ia tidak mempersoalkannya.
“Aku akan mencoba bermain lebih baik lagi putri.” kata anak muda yang mengaku bernama Yesung itu.
“Aku senang sekali mendengarnya.” jawab Putri Han Ga In.
“Aku akan dengan senang hati menghadap putri di istana, dan bermain seruling siang dan malam.”
“Ah…, Putri Han Ga In mendesah, “Tetapi apa salahnya jika kau datang mengunjungi istanaku, eh…maksudku rumahku.”
“Putri…” Bibi Ha Ji Won memotong, “Tentu putri harus mengatakannya lebih dulu kepada ibunda, bahwa akan ada seorang datang menghadap.”
“Ah, bukankah sejak ayahanda masih ada, siapapun boleh masuk ke Istana?”
“Justru kini ayahanda putri sudah tidak ada di istana.”
Putri Han Ga In mengerutkan keningnya, dipandangnya wajah anak muda itu sejenak lalu, “Ya, aku akan mengatakannya kepada ibunda. Tetapi jika tidak berkenan dihati ibunda, kau dapat meniup serulingmu dimana saja kau suka. Aku akan mendengarkannya dari pintu, atau dari pendapa.”
Yesung tertawa, katanya “Itu bukan persoalan lagi putri, setiap saat aku akan meniup seruling, didengarkan atau tidak.”
Putri Han Ga In mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, Bibi Ha Ji Won menggamitnya dan berkata “Aku meninggalkan nasi diatas api putri.”
“Ah, Bukankah ibunda ada..?”
“Tentu ibunda Putri tidak akan turun kedapur.”
“Bukankah kau juga mengatakan, biarlah ibunda nanti yang mengangkat nasi itu, sebelum kita pulang.”
“Tetapi, bagaimana kalau ibunda tertidur…?!”
Putri Han Ga in masih akan menjawab, tetapi Yesung segera memotong. “Silahkan putri, agaknya pengasuh putri masih mempunyai tugas di istana.”
Putri Han Ga In menjadi kecewa, tetapi ia mengikutinya ketika Bibi Ha Ji Won melangkah pulang.
Tetapi Putri Han Ga In masih berpaling dan berkata kepada Yesung. “Aku akan mendengarkan suara serulingmu.”
Yesung tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bibi Ha Ji Won pun kemudian menggandeng Putri Han Ga In mereka berjalan semakin cepat, seolah-olah mereka begitu tergesa-gesa.
“Bibi Ha Ji Won, kenapa kau berlari-lari?”
“Nasi itu.”
“Tetapi kakiku sakit, dan ibunda tentu akan turun kedapur, bukankah biasanya ibunda berbuat demikian jika kita pergi.”
Bibi Ha Ji Won berpaling sejenak, ia masih melihat Yesung berdiri tegak ditengah lorong sempit itu, sekilas Bibi Ha Ji Won melihat tubuh tegap dengan dada yang bidang, dengan wajahnya yang lumayan tampan, kecerdikan pun memancar dari sepasang mata anak muda itu.
Ketika Bibi Ha Ji Won dan Putri Han Ga In memasuki pintu gerbang halaman istananya, barulah Bibi Ha Ji Won berhenti dengan nafas terengah-engah, dan keringat dikeningnya.
“Bibi Ha Ji Won berlari-lari seperti dikejar hantu, cepatlah jika kau ingin pergi ke dapur.” kata Putri Han Ga In dengan jengkel.
“Ampun putri, sebenarnya aku tidak tergesa-gesa karena nasi itu.”
“Jadi kenapa?”
“Bukankah kita belum mengenal anak muda itu…?”
“Ya.. anak muda itu nampaknya agak berbeda dengan anak-anak Seongjusan yang lain, Ia baik dan ramah.”
“Ya...putri, Anak muda itu baik dan ramah, justru karena ia terlalu baik dan ramah, aku menjadi curiga.”
“Kau terlampau cepat berprasangka Bibi Ha Ji Won.”
“Putri masih terlampau hijau, putri tidak pernah bergaul dengan anak-anak muda, aku tidak senang melihat tatapan matanya yang gelisah memandang putri, dan aku tidak senang mendengar kesombongannya.”
“Ah, apakah anak muda itu sombong..?”
“Ia adalah anak muda yang sombong, keramahan yang dibuat-buat itulah yang menyembunyikan kesombongannya.” Bibi Ha Ji Won berhenti sejenak. Lalu… “Putri, Bibi ini sudah tua, sudah banyak bergaul dengan anak-anak muda dimasa Bibi masih muda dahulu, sehingga Bibi dapat membedakan sifat-sifat yang jujur dan dibuat-buat.”
Putri Han Ga In mengerutkan keningnya, namun katanya “Tetapi anak itu baik Bibi, setidak-tidaknya ia tidak mempunyai maksud buruk.”
“Mungkin, mungkin tidak ada niat buruk padanya, tetapi putri harus hati-hati.”
“Kenapa Bibi Ha Ji Won…?”
“Salah satu sebab bahwa putri harus berhati-hati adalah karena putri sudah meningkat dewasa, dan terlebih-lebih lagi adalah karena putri tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik.”
“Ah, Bibi Ha Ji Won…” Putri Han Ga In mencubit Bibi Ha Ji Won di lengannya, sehingga pengasuhnya itu mengaduh kesakitan.
“Sudahlah Putri.” kata Bibi Ha Ji Won kemudian “Sebaiknya putri masuk kedalam, anak muda itu tentu akan lewat didepan istana ini, dan putri tidak boleh berada diluar, apalagi seakan-akan putri sedang menunggunya.”
”Kenapa? aku hanya ingin mendengar ia bermain dengan serulingnya.”
“Mungkin putri hanya ingin sekedar mendengarkan ia bermain dengan serulingnya dalam kidung cinta. Tetapi hal itu akan menimbulkan salah paham bagi anak muda, apalagi menilik tatapan matanya. Yesung adalah seorang anak muda yang cepat mengagumi kecantikan seorang gadis.”
Putri Han Ga In memandang sejenak wajah Bibi Ha Ji Won dengan tajamnnya, sepercik keragu-raguan memancar pada sorot matanya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
Bibi Ha Ji Wom mengerti bahwa Putri Han Ga In masih belum mengenal sifat anak-anak muda, sehingga ia tidak akan muda mengerti keterangannya.
Karena itu Bibi Ha Ji Won pun kemudian mengajak Putri Han Ga In untuk pergi saja kedapur. Ia dapat melupakan seruling pemuda itu sejenak dengan beberapa kesibukan. Putri Han Ga In bukannya seorang gadis yang malas. Meskipun ia seorang putri raja. Tetapi seperti ibundanya, iapun sudah berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya. Hidup terpencil di desa kecil, segala seseuatu harus dilakukannya sendiri, karena Bibi Ha Ji Won sudah terlampau banyak pekerjaan. Putri Han Ga In sudah biasa mencuci pakaiannya sendiri, membantu memasak dan membersihkan perabot rumahnya.
Bersambung (Season 2)…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar