Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Senin, 06 Desember 2010

Tanah Warisan (Chapter 7)


Kim Bum menarik nafas dalam-dalam.

Kemudian dipaksanya kakinya melangkah memasuki halaman yang kotor itu.

Yang pertama-tama disentuhnya, adalah sarang labah-labah yang menyangut diwajahnya. Perlahan-lahan Kim Bum melangkah menunju ke tangga teras. Rumah itu masih juga berdiri, diatas tiang yang kokoh kuat, tiang-tiang yang lain masih juga tampak kuat. Tetapi ketika ia menengadah, maka atap rumah itu sudah dipenuhi oleh lubang-lubang sebesar kelapa.

"Selama ini ibu tinggal seorang diri di rumah ini," desisnya. Apabila ketika diingatnya sikap ayah Kim So Eun terhadapnya. Maka desisnya, "Apakah demikian pula sikapnya terhadap ibu?"

Pertanyaan itu telah mendorongnya semakin cepat menaiki tangga terasnya dan langsung menunju pintu utama. Dari lubang-lubang dinding yang retak ia melihat sederet sinar yang kemerah-merahan menerangi ruangan dalam rumah itu.

Dengan tangan gemetar ia mengetuk pintu rumahnya. Perlahan-lahan, kemudian semakin lama semakin keras.

"Siapa di luar?" terdengar suara parau seorang perempuan.

Kim Bum akan menyahut. Tetapi sesuatu terasa menyumbat kerongkongan, sehingga ia harus mendehem beberapa kali.

"Siapa di luar?" terdengar suara itu sekali lagi.

"Aku, aku," suara Kim Bum pun gemetar pula.

"Aku siapa?"

"Aku ibu, Kim Bum."

"He," perempuan tua yang sudah berbaring dipembaringannya itu terloncat berdiri. Tetapi ia tidak segera percaya kepada pendengarannya. Sekali lagi ia bertanya, "Siapa di luar?"

"Kim Bum ibu."

"Kim Bum, Kim Bum," perempuan itu kemudian berlari sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab ketika kakinya menyentuh sudut pembaringannya. Dengan tergesa-gesa dibukanya pintu rumahnya.

Ketika pintu rumah itu terbuka, sepercik cahaya lampu minyak meloncat keluar, mengusap wajah anak muda yang berdiri dengan kaki gemetar di muka pintu yang sudah sepuluh tahun ditinggalkannya. "Kim Bum," suara perempuan itu seolah-olah menyangkut dikerongkongannya pula.

Anak muda itu tidak sempat menjawab, ketika tiba-tiba saja perempuan tua itu memeluknya. Menciumnya seperti masa kanak-kanaknya dahulu. Terasa setitik air mata hingga dipundaknya yang bidang. "Kau akhirnya pulang nak."

"Ya ibu. Aku harus pulang. Tidak ada tempat lain yang paling baik untukku daripada tanah ini. Daripada rumah ini dan halaman ini."

"Ya, ya anakku. Aku memang sudah menyangka bahwa kau akan pulang. Karena itu, betapa hatiku pedih, aku tetap tinggal di rumah ini sambil menunggumu".

"Sekarang aku sudah pulang. Ibu tidak akan sendiri lagi. Aku akan membantu ibu dalam kerja sehari-hari. Aku akan membersihkan halaman. Memperbaiki rumah kita yang rusak".

"Tentu. Tentu Kim Bum. Kau tidak boleh pergi lagi. Kau harus tinggal dirumah ini apapun yang terjadi. Karena rumah ini, halaman ini, adalah rumah kita. Tanah ini adalah Tanah Warisan yang tidak akan dapat dimiliki oleh orang lain. Meskipun aku hampir mati kelaparan, tetapi tanah ini tidak akan aku serahkan kepada siapapun dengan ganti apapun lagi."

Kim Bum tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah isak tangis ibunya sambil menariknya masuk. Dengan suara yang patah-patah perempuan tua itu berkata. "Marilah Kim Bum. Masuklah. Jangan kau tinggalkan lagi rumah kita ini".

Kim Bum pun kemudian masuk ke dalam ruang yang sudah lama ditinggalkannya itu. Setelah menutup pintu dan menguncinya kembali, Kim Bum mengamat-amati setiap sudut ruangan. Tiang-tiang itu masih juga berdiri dengan kokohnya. Kayu-kayu rumah yang kekuning-kuningan. Dinding yang masih kuat meskipun kotor. Seperti rumah itu, yang paling parah adalah atapnya.

"Tetapi tidak sulit untuk memperbaikinya," desisnya di dalam hati. Aku akan mencari daun lontar, kemudian untuk sementara, sebelum sempat membuat atap kayu, biarlah aku sulami saja dengan daun lontar."

Kim Bum terkejut ketika ia mendengar suara ibunya. "Duduklah nak. Inilah rumahmu sekarang."

"Biarlah bu," jawab Kim Bum, "Besok aku akan memperbaikinya. Aku akan membuat rumah ini seperti rumah kita beberapa puluh tahun yang lalu."

"Oh," perempuan itu mengangkat wajahnya, namun kesan yang dengan tiba-tiba membayang, segera lenyap. Bahkan ia pun kemudian tersenyum, "Ya anakku. Kau harus memperbaiki rumah ini. Betapapun kesan orang-orang disekitar kita."

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...