Laki-laki tua itu tidak menyahut. Kedipan matanya sajalah yang seolah-olah berteriak menyuruh orang-orang itu pergi segera dari rumahnya.
"Jangan terlampau kikir." kata Yoo Seung Ho kemudian.
"Semua harta bendamu itu tidak akan dapat kau bawa mati. Bukankah umurmu sudah menjelang enam puluh lima tahun."
Laki-laki tua itu mengangguk.
"Nah, seharusnya kau sudah tidak memikirkan harta benda lagi. Kau buang sajalah semua kekayaanmu, supaya tidak membuat jalanmu menjadi gelap."
Sekali lagi Yoo Seung Ho tertawa. Kemudian direbutnya cincin yang masih dipegang oleh laki-laki tua itu. Dengan suara menggelegar Yoo Seung Ho kemudian berkata. "Baik-baiklah di rumah. Aku minta diri." Tanpa menunggu jawaban, Yoo Seung Ho itu segera melangkah keluar, turun kehalaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya.
Sejenak kemudian terdengarlah ledakan cambuk disusul dengan derap kuda menjauh. Tetapi kuda-kuda itu akan segera berhenti lagi, memasuki halaman rumah yang lain dan memeras penghuni-penghuninya sambil menakut-nakutinya dengan ujung pedangnya.
Sepeninggal orang-orang berkuda itu, barulah istri laki-laki tua yang kehilangan cincinnya bersama anak gadisnya berani keluar dari persembunyiannya. Dengan tubuh gemetar mereka bertanya, apa saja yang telah dibawa oleh orang- orang berkuda itu.
"Syukurlah," kata isterinya. "Kalau hanya sebuah cincin, kita akan merelakannya. Seribu kali rela."
"Huh," potong laki-laki tua itu. "Aku menabung sejak aku masih muda."
"Tetapi masih ada yang lain yang tinggal di rumah ini," kata isterinya.
"Lihat, kelak mereka akan kembali dan kembali lagi. Semua kekayaan kita akan dikurasnya sampai habis."
"Tetapi itu lebih baik daripada nyawa kita yang diambilnya."
Laki-laki tua itu menarik nafas dalam. "Tetapi ini tidak dapat berlangsung terus menerus," geramnya. "Lalu, apakah yang dapat kita lakukan? Apakah kita akan mengungsi saja?"
"Tidak ada tempat lagi di kolong langit ini. Orang-orang besar saling berebut kekuasaan, maka kita kehilangan perlindungan. Orang-orang yang merasa dirinya kuat, berbuat sewenang-wenang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Raja So Ji Sub."
Laki-laki itu berhenti sejenak, lalu, "Sepanjang umurku baru sejak Deoksugung menjadi kisruh itulah aku mendengar nama Raja So Ji Sub. Kalau keadaan tidak segera menjadi baik, maka akan timbul pula ditempat lain orang-orang serupa itu, dan menyengsarakan rakyatnya"
Istri dan anak gadisnya tidak menyahut. Namun ketakutan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Dengan suara tertahan-tahan isterinya berkata sekali lagi, "Kita mengungsi dari tempat ini. Kita mencari tempat yang paling aman. Kita akan dapat hidup tentram meskipun tidak sebaik ditempat ini."
"Sudah aku katakan, tidak ada tempat yang baik saat di Deoksugung telah menjadi panas. Sebentar lagi Deoksugung akan meledak, dan Gyuparkjesun akan menjadi bara yang terlampau panas. Semua tempat akan mengalami gangguan serupa. Tidak ada seorang prajurit pun yang sempat melindungi rakyatnya dari gangguan orang-orang gila macam Raja So Ji Sub itu."
Isterinya tidak segera menyahut. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimanakah bentuk harapan suaminya itu. Karena itu, maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya sambil memeluk anaknya.
"Sudahlah Bu," kata laki-laki tua itu.
"Sementara ini kita tidak akan diganggu lagi, sampai saatnya iblis itu datang dibulan depan. Aku kira mereka akan memerlukan sesuatu lagi dari aku dan orang-orang lain yang dianggapnya cukup di Desa ini. Sekarang beristirahatlah. Berlakulah seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Setidak-tidaknya untuk sebulan mendatang."
Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama anaknya mereka pergi ke ruang belakang.
Di serambi belakang beberapa orang pembantu dan pelayan, menggigil ketakutan tanpa dapat berbuat sesuatu.
Demikianlah maka sepanjang hari itu, Yoo Seung Ho memasuki beberapa rumah untuk mengambil apa saja yang dianggapnya berharga. Setelah kerja itu dianggapnya selesai, maka kuda-kuda mereka pun segera berderap pergi meninggalkan desa itu di dalam ketakutan dan kecemasan. Sepeninggal orang-orang berkuda itu, beberapa orang laki-laki yang bersembunyi bertebaran di semak-semak liar, saling bermunculan. Dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka ingin segera tahu, apakah rumah-rumah mereka pun telah didatangi pula oleh Yoo Seung Ho. Terutama yang merasa mempunyai simpanan sesuatu di dalam rumahnya.
Bersambung...
"Jangan terlampau kikir." kata Yoo Seung Ho kemudian.
"Semua harta bendamu itu tidak akan dapat kau bawa mati. Bukankah umurmu sudah menjelang enam puluh lima tahun."
Laki-laki tua itu mengangguk.
"Nah, seharusnya kau sudah tidak memikirkan harta benda lagi. Kau buang sajalah semua kekayaanmu, supaya tidak membuat jalanmu menjadi gelap."
Sekali lagi Yoo Seung Ho tertawa. Kemudian direbutnya cincin yang masih dipegang oleh laki-laki tua itu. Dengan suara menggelegar Yoo Seung Ho kemudian berkata. "Baik-baiklah di rumah. Aku minta diri." Tanpa menunggu jawaban, Yoo Seung Ho itu segera melangkah keluar, turun kehalaman dan langsung meloncat ke punggung kudanya.
Sejenak kemudian terdengarlah ledakan cambuk disusul dengan derap kuda menjauh. Tetapi kuda-kuda itu akan segera berhenti lagi, memasuki halaman rumah yang lain dan memeras penghuni-penghuninya sambil menakut-nakutinya dengan ujung pedangnya.
Sepeninggal orang-orang berkuda itu, barulah istri laki-laki tua yang kehilangan cincinnya bersama anak gadisnya berani keluar dari persembunyiannya. Dengan tubuh gemetar mereka bertanya, apa saja yang telah dibawa oleh orang- orang berkuda itu.
"Syukurlah," kata isterinya. "Kalau hanya sebuah cincin, kita akan merelakannya. Seribu kali rela."
"Huh," potong laki-laki tua itu. "Aku menabung sejak aku masih muda."
"Tetapi masih ada yang lain yang tinggal di rumah ini," kata isterinya.
"Lihat, kelak mereka akan kembali dan kembali lagi. Semua kekayaan kita akan dikurasnya sampai habis."
"Tetapi itu lebih baik daripada nyawa kita yang diambilnya."
Laki-laki tua itu menarik nafas dalam. "Tetapi ini tidak dapat berlangsung terus menerus," geramnya. "Lalu, apakah yang dapat kita lakukan? Apakah kita akan mengungsi saja?"
"Tidak ada tempat lagi di kolong langit ini. Orang-orang besar saling berebut kekuasaan, maka kita kehilangan perlindungan. Orang-orang yang merasa dirinya kuat, berbuat sewenang-wenang untuk kepentingan diri mereka sendiri. Seperti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Raja So Ji Sub."
Laki-laki itu berhenti sejenak, lalu, "Sepanjang umurku baru sejak Deoksugung menjadi kisruh itulah aku mendengar nama Raja So Ji Sub. Kalau keadaan tidak segera menjadi baik, maka akan timbul pula ditempat lain orang-orang serupa itu, dan menyengsarakan rakyatnya"
Istri dan anak gadisnya tidak menyahut. Namun ketakutan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Dengan suara tertahan-tahan isterinya berkata sekali lagi, "Kita mengungsi dari tempat ini. Kita mencari tempat yang paling aman. Kita akan dapat hidup tentram meskipun tidak sebaik ditempat ini."
"Sudah aku katakan, tidak ada tempat yang baik saat di Deoksugung telah menjadi panas. Sebentar lagi Deoksugung akan meledak, dan Gyuparkjesun akan menjadi bara yang terlampau panas. Semua tempat akan mengalami gangguan serupa. Tidak ada seorang prajurit pun yang sempat melindungi rakyatnya dari gangguan orang-orang gila macam Raja So Ji Sub itu."
Isterinya tidak segera menyahut. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimanakah bentuk harapan suaminya itu. Karena itu, maka ia hanya dapat menundukkan kepalanya sambil memeluk anaknya.
"Sudahlah Bu," kata laki-laki tua itu.
"Sementara ini kita tidak akan diganggu lagi, sampai saatnya iblis itu datang dibulan depan. Aku kira mereka akan memerlukan sesuatu lagi dari aku dan orang-orang lain yang dianggapnya cukup di Desa ini. Sekarang beristirahatlah. Berlakulah seperti biasa. Tidak ada apa-apa. Setidak-tidaknya untuk sebulan mendatang."
Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bersama anaknya mereka pergi ke ruang belakang.
Di serambi belakang beberapa orang pembantu dan pelayan, menggigil ketakutan tanpa dapat berbuat sesuatu.
Demikianlah maka sepanjang hari itu, Yoo Seung Ho memasuki beberapa rumah untuk mengambil apa saja yang dianggapnya berharga. Setelah kerja itu dianggapnya selesai, maka kuda-kuda mereka pun segera berderap pergi meninggalkan desa itu di dalam ketakutan dan kecemasan. Sepeninggal orang-orang berkuda itu, beberapa orang laki-laki yang bersembunyi bertebaran di semak-semak liar, saling bermunculan. Dengan tergesa-gesa mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka ingin segera tahu, apakah rumah-rumah mereka pun telah didatangi pula oleh Yoo Seung Ho. Terutama yang merasa mempunyai simpanan sesuatu di dalam rumahnya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar