Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Senin, 06 Desember 2010
Tanah Warisan (Chapter 6)
Kim Bum menjadi semakin tertunduk. Terbayang sekilas di rongga matanya wajah kakaknya, Jung Yunho yang kini sama sekali tidak diharapkannya untuk bertemu lagi.
“Dan sekarang,” terdengar suara Kim So Eun, “Apakah kau akan pulang ke rumah yang sudah kira-kira sepuluh tahun kau tinggalkan itu?”
Kim Bum mengangguk lemah. Jawabnya, “Ya, aku akan pulang ke rumah itu. Ibuku masih ada di dalam rumah itu.”
Namun tiba-tiba Kim Bum mengangkat wajahnya, “Bukankah ibuku masih ada di rumah itu?”
Kim So Eun mengangguk. Jawabnya, “Ya, ibumu masih tinggal di rumah itu.”
Kim Bum mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ibu pasti sudah menjadi tua.”
“Seperti kau Kim Bum. Ibumu tampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.”
“Aku dapat membayangkan. Betapa berat beban hidupnya. Sementara sumber penghasilannya sudah habis sama sekali.”
Kim So Eun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kedatanganmu pasti akan menjadi obat keprihatinannya selama ini.”
“Ya, aku mengharapkan demikian.”
“Tentu, sudah tentu,” potong Kim So Eun.
Tetapi ketika Kim So Eun masih ingin berbicara dengan Kim Bum, tiba-tiba ia tertegun. Didengarnya sesorang memanggilnya, “Kim So Eun, hei apa yang sedang kau lakukan?”
Barulah gadis itu sadar, bahwa ia bukan Kim So Eun yang dahulu. Yang masih pantas bermain berkejaran dengan Kim Bum. Dan Kim Bum itu pun bukan Kim Bum yang dahulu pula. Ia kini seorang anak muda yang sudah dewasa. Karena itu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata, “Maaf Kim Bum. Aku dipanggil ayah.”
“Ayahmu datang ke mari Kim So Eun.”
“Oh,” Kim So Eun mengangkat wajahnya memandang ke ayahnya yang dengan tergesa-gesa mendekatinya. “Dengan siapa kau berbicara, Kim So Eun?” tanya ayahnya.
“Anak yang sudah lama hilang dari permainan di desa kita ayah. Kini ia kembali.”
“Siapa,” orang tua itu mencoba mengamat-amati wajah Kim Bum, tetapi ia tidak segera dapat mengenalnya. “Aku tidak mengenal anak ini.”
“Tentu ayah mengenalnya. Tetapi sepertinya ayah tidak punya waktu untuk mengenal wajah anak-anak waktu itu. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu.”
“Oh, sepuluh tahan yang lalu.”
“Ya ayah. Inilah Kim Bum putra Tn. Cha Seung Won dan Ny. Kim Sun Ah ".
“He?” orang tua itu mundur selangkah. “Jadi kau anak Tn. Cha Seung Won?”
“Ya paman,” sahut anak muda yang bernama Kim Bum itu.
“Oh, anak Tn. Cha Seung Won sudah sebesar ini kau rupanya?”
“Ya paman,” anak muda itu mengangguk pula.
Kim Bum menjadi heran ketika wajah orang tua itu semakin tegang. Tiba-tiba ia meraih tangan anak perempuannya dan menariknya sambil berkata. “Ayo kita pulang. Jangan berhubungan lagi dengan anak muda itu,” Lalu kepada Kim Bum ia berkata, “Aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Tn. Cha Seung Won.”
“Ayah,” potong Kim So Eun, “Kenapa dengan ayah?”
Tetapi orang tua itu menarik tangan Kim So Eun, “Ayo Kim So Eun, kita pulang.”
Kim So Eun tidak dapat membantah lagi. Sambil berlari-lari ia mengikuti langkah ayahnya, karena tangannya masih juga ditarik oleh ayahnya itu.
Kim Bum berdiri kebingungan. Kenapa ayah Kim So Eun itu bersikap demikian terhadapnya? Anak muda itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia mencoba mengerti akan sikap itu. Dicobanya untuk mengenang, apa saja yang pernah dilakukan oleh ayahnya di masa kecilnya. “Ayah memang bukan seseorang yang terlampau baik,” katanya di dalam hati.
“Tetapi ia dahulu seorang yang kaya, seorang yang disegani, dicintai oleh tetangga. Namun ketika ayah menjadi miskin, serentak mereka menjauhkan dirinya. Dan bahkan ayah harus mati dalam keadaan yang paling menyedihkan.”
Kim Bum menggeram. Diangkatnya wajahnya. Dengan sorot mata yang berapi-api ia memandang pedesaan yang terbentang dihadapannya. Semakin lama menjadi semakin kabur, karena cahaya matahari menjadi semakin suram dan bahkan kemudian menjadi merah kehitam-hitaman. “Aku akan pulang. Apapun yang akan terjadi,” geramnya.
Tiba-tiba langkahnya justru menjadi tegap. Dadanya tengadah dan matanya memandang lurus ke depan. Dengan tidak menghiraukan apapun lagi ia berjalan kemulut lorong desanya. Satu dua ia masih bertemu dengan orang-orang yang terlambat pulang dari sawah. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikannya. Orang-orang itu pada umumnya sudah tidak dapat mengenalnya lagi. Tetapi langkahnya kemudian tertegun pula ketika ia sudah berdiri di pintu gerbang halaman rumahnya yang rusak.
Terasa sesuatu menyangkut dikerongkongannya. Rumah ini seolah-olah telah menjadi rumah hantu. Gelap dan mengerikan.
Halamannya pun sudah tidak ubahnya lagi dengan sebuah hutan kecil yang pekat dengan berbagai macam pepohonan liar.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar