Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Jumat, 03 Desember 2010
Tanah Warisan (Chapter 2)
Orang berkuda itu turun di sebuah halaman yang bersih dari sebuah rumah yang bagus. Beberapa orang kawannya pun turun pula sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.
“Jangan sembunyi,” teriaknya.
Tetapi pintu rumah itu masih tertutup rapat.
“Buka pintunya,” ia berteriak lagi. “Kalau tidak, aku bakar rumah ini. Cepat.”
Perlahan-lahan pintu rumah itu terbuka. Seorang laki-laki tua menjengukkan kepalanya dengan tangan gemetar. “Ha, kau ada di rumah. Jangan mencoba bersembunyi ya?”
“Tidak,” jawabnya dengan suara yang bergetar aku tidak bersembunyi.”
“Tetapi kau tidak mau membuka pintu rumah ini.”
“Aku berada dibelakang.”
“Jangan banyak bicara. Sekarang serahkan permintaanku sebulan yang lalu.”
Laki-laki tua itu terdiam sejenak. Tetapi tubuhnya yang gemetar menjadi semakin gemetar.
“Ayo jangan banyak tingkah.”
“Tetapi, tetapi,” suaranya tergagap. “Aku sudah menyerahkan pajak itu kepada kepala desa yang akan membawanya ke Deoksugung bersama upeti yang lain.”
“Aku tidak bertanya tentang upeti. Kau jangan mengigau lagi tentang Deoksugung, atau kerajaan iblis sekalipun. Dengar. Sekarang sengketa antara Deoksugung dan Gyuparkjesun menjadi semakin tajam. Kedua pasukan berhadapan di daerah Hyunghuiyeong. Mereka tidak akan sempat mengurus pajak dan upeti. Karena itu, maka tugas mereka itu pun telah kami ambil alih. Kalian tidak usah menyerahkan apapun lagi kepada Kepala Desa, sebab ia tidak akan menyerahkannya kepada Kaisar Park Shin Yang yang sedang sibuk berkelahi melawan putranya sendiri itu. Yang berperang biarlah berperang. Aku ingin melakukan tugas-tugas yang lain. Misalnya memungut pajak.”
Orang tua itu menjadi semakin gemetar. Kini orang berkuda itu telah berdiri didepannya. Ketika sekali tangannya disentakkan kemuka, orang tua itu terpelanting keluar.
“Berlakulah agak sopan sedikit menerima tamu,” kata orang berkuda itu.
Tertatih-tatih orang tua itu mencoba berdiri. Kemudian katanya, “Tetapi, tetapi, semuanya telah terlanjur aku serahkan kepada Kepala Desa Gwangju.”
Namun belum selesai ia berkata, tangan orang berkuda itu telah menarik leher bajunya.
“Apa kau bilang? Bukankah sebulan yang lalu aku telah berkata kepadamu, bahwa kau harus menyerahkannya kepadaku, kepada kami? Kepada Raja So Ji Sub?”
“Tetapi, tetapi....... suaranya terputus ketika sebuah pukulan menyentuh pipinya yang telah berkerut. “Ampun, ampun,” teriaknya sambil tertatih-tatih. Sejenak kemudian laki-laki tua itu terbanting jatuh terlentang.
“Berikan kepadaku seperti permintaanku. Kalau tidak, maka aku mengambilnya sendiri ke dalam rumahmu. Ingat, aku adalah Yoo Seung Ho, utusan terpercaya Raja So Ji Sub mengerti?”
Orang tua itu kini telah mengigil. Matanya dibayangi oleh perasaan takut tiada terhingga.
“Cepat,” teriak orang yang menamakan dirinya Yoo Seung Ho.
“Tetapi..........,” sekali lagi suaranya terpotong. Kini ujung pedang Yoo Seung Ho telah menyentuh dada orang tua itu. “Apakah kau masih akan berkeberatan.”
Orang tua itu tidak dapat ingkar lagi. Kepalanya kemudian tertunduk lesu. Dengan suara gemetar ia menjawab. “Baiklah, aku akan menyerahkan apa yang masih ada padaku.”
“Bagus. Cepat. Aku masih banyak pekerjaan. Hari ini aku harus memasuki sepuluh pintu rumah.”
Orang tua yang malang itu kemudian menyeret kakinya yang lemah masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Yoo Seung Ho. Beberapa orang kawannya tersebar dihalaman dengan senjata masing-masing siap ditangan mereka. Betapa pun beratnya, orang tua itu terpaksa menyerahkan sebuah cincin emas yang selama ini disimpannya baik-baik. Tetapi ia masih lebih sayang kepada umurnya yang tinggal sedikit daripada kepada cincin emas itu.
“Ini adalah satu-satunya milikku yang paling berharga,” kata orang tua itu.
Yoo Seung Ho tertawa. Suaranya berkepanjangan seolah-olah menelusuri setiap sudut ruangan. Katanya, “Kau sangka aku dapat mempercayaimu? Kau sangka aku tidak tahu bahwa kau menyimpan banyak cincin emas yang lain, yang justru bertahtakan dengan intan dan berlian. Aku dengar kau juga mempunyai banyak permata? Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kau telah berhasil memeras orang-orang disekitar sini dengan segala macam cara? Huh, jangan mencoba membohongi aku. Kau tahu, bahwa orang-orangku sebagian adalah orang-orang Desa sini. Orang-orang yang mengerti betul, apa yang tersimpan disetiap rumah disini.”
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia merasa, bahwa lebih baik diam daripada membuat Yoo Seung Ho itu marah.
“Baiklah,” kata Yoo Seung Ho kemudian. “Aku akan minta diri. Kali ini aku sudah cukup dengan cincin emas ini.”
Bersambung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar