Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Selasa, 01 Februari 2011

Keinginan Sederhana (Chapter 7)


“Apa yang kau lakukan jika salah satu anggota keluargamu ternyata homoseksual? Adikmu, misalnya. Apa yang kau lakukan, Yoon Eun Hye?

“Dia tentu saja tetap adikku. Aku rasa tidak akan ada yang berubah. Paling-paling aku akan sibuk membawanya ke dokter, psikiater, psikolog, atau apa pun untuk membantunya. Mungkin juga kubawa dia untuk suntik hormon dan ke paranormal. Selebihnya, dia tetaplah adikku. Wajar, ’kan?

Dia mengangguk-angguk. “Tuntutan untuk sembuh selalu besar, seakan-akan itu adalah penyakit semacam tumor yang walaupun sekarang sedang jinak, tapi lambat-laun akan mematikan juga. Banyak para ilmuwan yang sudah menegaskan bahwa ini bukanlah satu jenis penyakit. Lalu, bagaimana jika bertahun-tahun dia tak kunjung jadi normal? Apakah kau akan rela jika melihatnya berkencan dengan sesama jenisnya?”

Aku tidak siap dengan andai-andai semacam itu. “Entahlah. Rasanya pasti aku akan terusik melihatnya. Kau benar, tuntutan untuk menjadi normal pasti sangat besar.”

”Dan kau bisa bayangkan betapa itu hal yang susah. Aku tidak berani bilang itu tidak mungkin, tapi aku tahu pasti itu susah. Karena itu, yang mereka butuhkan adalah teman yang mengerti.”

“Mengerti berarti memaklumi juga jika dia terjun dalam kehidupan liar?”

“Tentu saja itu tidak termasuk dalam kategori mengerti!”

Park Kae In akhirnya tahu tentang Han Chang Ryul. (Aku membaca bagian ini dengan setengah menahan napas). Gadis itu shock, karena selama ini merasa dia telah memberikan banyak hal pada Jung Jin Ho. Park Kae In merasa kedekatan mereka selama ini penuh arti, walau tak pernah sekali pun Jung Jin Ho mengucapkan kata cinta untuknya. Dia merasa selama ini mereka saling terikat satu sama lain dan berpikir Jung Jin Ho merasa cukup dengan itu, sehingga tidak perlu ada dunia lain.

Tapi, sekarang semuanya terasa terbalik. Jung Jin Ho punya Han Chang Ryul, dan menyembunyikannya di balik punggungnya, membentuk satu lingkar kehidupan yang tidak dia ketahui, karena sama sekali tidak dilibatkan. Padahal, dia tidak pernah membangun kehidupan lain.

Park Kae In merasa dikhianati. Dia sangat kesakitan. Tapi, tak cukup daya untuk menggugat. Karena, memang tak pernah ada kata cinta. Hanya ada kedekatan yang sekarang entah apa artinya untuk Jung Jin Ho. Park Kae In yang kecewa merasa dicampakkan.

Sementara Jung Jin Ho diam-diam dipenuhi rasa bersalah. Dia tak pernah merencanakan ini semua. Hanya, cinta yang datang tiba-tiba dan menyusup diam-diam yang tak kuasa ditolaknya. Cinta terhadap Han Chang Ryul. Dulu, sebelum ada Han Chang Ryul, dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya terhadap Park Kae In. Saat itu dia berpikir, ada yang sudah berubah dalam dirinya. Dia bahagia dengan itu, walau sebenarnya tidak lepas dari rasa khawatir.

Datangnya Jung Jin Ho membuktikan bahwa semuanya masih sama seperti dirinya yang dulu. Tidak perlu ada bantahan, karena tidak ada bukti yang lebih kuat dan akurat selain perasaannya yang begitu indah dan tak tertahankan terhadap Han Chang Ryul. Dia tidak tahu harus berbuat apa terhadap Park Kae In. Jung Jin Ho sadar sepenuhnya bahwa Park Kae In bisa memberikan sesuatu yang diinginkannya sejak lama: membentuk satu keluarga, keluarga yang akan membuatnya tidak sendirian seumur hidup. Hal ini sekaligus adalah sesuatu yang tak akan mungkin dilakukannya dengan Han Chang Ryul, tak peduli sebesar apa cinta yang mereka miliki.

Melepaskan Han Chang Ryul tak akan mengobati Park Kae In dan membuat semuanya kembali seperti semula. Terlebih lagi, dia tak sanggup melakukan itu, paling tidak untuk saat ini. Dia hanya bisa diam, menunggu Park Kae In memuntahkan segala amarah kepadanya. Tapi, di luar dugaannya, Park Kae In begitu redam. Redam dalam diam yang sebenarnya membuat Jung Jin Ho berkubang lebih dalam dalam perasaan bersalahnya. Dengan senyap Park Kae In memutuskan untuk meninggalkan kota mereka.

“Kenapa?” Jung Jin Ho tahu bahwa itu pertanyaan yang bodoh.

“Ada tawaran kerja yang terlalu sayang untuk ditolak di sana.”

Jung Jin Ho tak pernah melihat mata gadis itu begitu beku sebelumnya, tidak sekali pun. Sekarang mata itu terlihat seperti batu hitam tanpa perasaan. Di depannya, Jung Jin Ho seakan mengecil.

“Park Kae In, maaf soal....”

Park Kae In mengibaskan tangannya, isyarat bahwa dia tidak mau membicarakannya. Dia hanya mau pergi dan semuanya selesai sudah.

“Kenapa kau membuat ending seperti itu? Kenapa tidak membuat Jung Jin Ho melepaskan Han Chang Ryul dan kembali pada Park Kae In? Mungkin pembacamu lebih menyukai, jika mereka kembali menjadi satu.”

“Karena, pada kenyataannya memang tidak semudah itu mengubah seseorang. Tidak seperti membalikkan telapak tangan.”

“Ah, kau begitu pesimistis atau sekadar tidak mau membuat ending yang disukai para pembaca?”

Kim Tae Hee tertawa. “Menurutmu semudah itu mengubah seseorang?”

Aku tidak tahu. Rasanya memang tidak semudah itu.

“Aku tahu persis tidak semudah itu. Contoh kecil saja, jika kau merokok, maka untuk membuatnya berhenti, tentu kau butuh perjuangan dan waktu. Sedangkan ini jauh lebih berat dari merokok!”

“Tapi, mungkin saja bisa, ’kan?”

“Mungkin, tapi aku tahu pasti tidak semudah itu.”

Kim Tae Hee beranjak ke kamar, meninggalkanku, ketika terdengar suara kecil merengek. Dia datang kembali dengan Kim In Hee di gendongannya, lengkap dengan botol susunya.

“Lihat pipinya, makin chuby, ’kan? Makin hari kulihat dia makin cantik saja.” Kim Tae Hee memperlihatkan wajah bayi yang menyusu itu padaku. “Bukankah hidungnya mirip dengan punyaku?”

Aku tertawa. Pertama, karena bagiku semua bayi mempunyai bentuk hidung yang begitu-begitu saja. Kalaupun mancung, efeknya tidak akan seperti hidung mancung pada wajah orang dewasa. Kalau pesek pun, tidak akan berakibat fatal dan tetap akan terlihat lucu di wajah kecil dengan mata hitam tak berdosa seperti itu. Sahabatku sedang mencari penanda dirinya pada bayi, yang sama sekali tidak mempunyai hubungan darah dengannya.

“Tapi, walaupun kau tidak sependapat, kami sudah telanjur menjadi satu keluarga,” katanya, sambil kemudian mencium ubun-ubun bocah itu dengan penuh perasaan.

Keluarga. Tiba-tiba kata itu mengusikku. Aku teringat sesuatu. Jung Jin Ho. Juga keluarga yang ingin dibentuknya. Di sini, di depanku, pengarangnya bergembira, karena merasa berhasil membuat satu keluarga kecil. Apakah ini dua hal yang kebetulan saja?

“Jika nanti dia terbiasa melihatku menulis, menurutmu apakah dia akan jadi penulis juga, Yoon Eun Hye?”

Aku menggeleng tak tahu. Pikiranku sekarang tengah dipenuhi pertanyaan, apa hubungan Jung Jin Ho dan Kim Tae Hee. Aku yakin penulis fiksi seperti Kim Tae Hee mewarnai tulisannya dengan pengalaman hidupnya, sengaja atau tidak. Jung Jin Ho yang hidup membujang, karena keadaannya bagiku terlihat nyaris sama dengan status Kim Tae Hee yang masih tetap lajang hingga usia tiga puluh empatnya kini. Bukankah alasan Jung Jin Ho dekat dengan Park Kae In bisa disamakan dengan alasan Kim Tae Hee mengadopsi Kim In Hee? Apakah berarti....

“Yoon Eun Hye, kau memikirkan sesuatu?”

Kim Tae Hee berdiri tepat di depanku, asyik mengayun Kim In Hee dalam gendongannya. Untuk pertama kali setelah pertemuan kami, aku benar-benar mengamati tubuhnya. Rasanya tidak ada yang aneh. Dari dulu memang dia sudah berpostur seperti itu, atletis dan sedikit berotot. Dia memang penggemar olahraga apa saja. Pasti bermacam olahraga itu, termasuk karate dan wushu, yang membentuk tubuhnya menjadi tegap dan liat tak berlemak. Itu juga yang membuat gerakannya selalu terasa cepat dan tegas, tidak seperti gadis-gadis manis yang lemah gemulai.

Semasa SMA dulu, ketika kami masih bersama, memang tak pernah kulihat dia berpacaran seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis SMA. Tapi, kami berpisah setelah masa SMA itu, sehingga banyak masa yang terlewatkan. Ketika kami bertemu lagi tempo hari, aku tak tahu apa-apa tentangnya, kecuali karier kepenulisan, yang telah membuatnya terkenal, dan rambut pendek yang nyaris terlihat sama.

Aku tak kuasa menahan rasa ingin tahuku.

“Kim Tae Hee, apakah Jung Jin Ho itu kau?”

Dia berhenti mengayun Kim In Hee karena pertanyaanku. Tapi, tak kulihat perubahan pada mimik wajahnya.

“Maksudmu?”

“Aku pikir aku melihat banyak kesamaan antara Jung Jin Hoo dan kau. Aku jadi berpikir....” Aku tidak meneruskan pertanyaanku karena sekarang Kim Tae Hee menatapku tepat di bola mataku. Aku jadi bersiap-siap memikirkan kata yang tepat untuk minta maaf. “Maaf, Kim Tae Hee, aku....”

Dia menggeleng, memutus kalimatku.

“Aku ke kamar taruh Kim In Hee sebentar, ya?”

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...