Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Selasa, 01 Februari 2011
Keinginan Sederhana (Chapter 5)
Aku meneruskan membaca novel Kim Tae Hee. Jung Jin Ho sedang gelisah dengan masa depannya. Kondisinya sebagai homoseksual membuatnya ketakutan akan terus sendiri sampai tua dan mati. Rasanya, memang sangat menyedihkan, jika tak ada seorang pun di sisi kita, saat tua dan tak berdaya. Hidup yang sungguh sunyi. Dia ingin membuat satu keluarga, kecil saja, yang penting ada cinta yang kuat di dalamnya. Padahal, jangankan untuk membuat keluarga, untuk membuka rahasia hidupnya kepada keluarganya saja, dia tak punya cukup keberanian. Bukan takut akan dicampakkan, tapi lebih karena takut dipandang aneh dan dikasihani seumur hidup, takut membuat orang tuanya menderita sepanjang sisa hidupnya.
Tanpa membuat pengakuan pun, dia merasa sudah menggiring orang tuanya ke pintu neraka kelak. Pengakuan hanya akan menciptakan neraka di dunia bagi mereka, terlebih bagi ibunya, yang selama ini sangat membanggakannya. Hanya ada satu hal yang membuat dia merasa agak beruntung: dia dilahirkan bukan sebagai satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga. Berarti, tanpa dia pun, garis keturunan tidak menjadi garis putus di tengah jalan.
Jung Jin Ho yang merasa merana dan tidak beruntung, membandingkan dirinya dengan makna namanya. Konon katanya, Jung Jin Ho adalah salah satu nama dewa di khayangan. Jung Jin Ho versi asli, adalah dewa sakti yang penuh keistimewaan, anugerah para dewata. Dia adalah dewa yang lengkap, dalam artian dia sakti, berbudi luhur, dan berpenampilan fisik sempurna. Konon, begitu banyak Dewi yang dengan suka hati disuntingnya dan rela pula dimadu.
Jung Jin Ho yang manusia biasa; bukanlah Dewa; merasa semua itu adalah sebuah perbandingan terbalik dengan dirinya. Dia hanya manusia biasa, dengan kemampuan biasa, dan satu lagi, dia tidak tertarik pada wanita. Ironis sekali. Padahal, orang tuanya memberikan nama itu tentu bukannya tanpa maksud. Mungkin, saat itu mereka lupa bahwa dalam pertunjukan Opera, tokoh Jung Jin Ho selalu diperankan oleh wanita. Karena, konon, di balik kesaktiannya, Jung Jin Ho adalah pria yang sangat lembut. Tutur katanya selalu lembut. Wajahnya pun tampan yang cantik, bukanlah tampan yang macho. Mungkin, ini sebenarnya adalah firasat.
Lalu, Jung Jin Ho yang manusia biasa itu bertemu seorang wanita, Park Kae In namanya. Keduanya segera akrab. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, yang membuatnya bisa begitu dekat. Mungkin, kesepian yang sama. Mungkin juga perasaan terdiskriminasikan, walaupun alasannya berbeda. Ibu Park Kae In adalah istri muda, yang dinikah siri oleh ayahnya yang seorang tokoh masyarakat. Status ibunya sebagai istri muda, wanita yang datang terlambat, membuat par Kae In tidak pernah mendapatkan pengakuan dari keluarga Ayahnya. Di mata keluarga besar Ayahnya, Park Kae In dan ibunya hanyalah dua tamu yang tidak perlu disambut dengan ramah. Terlebih, sang ayah juga memberlakukan diskriminasi tersebut. Lengkap sudah, Park Kae In tak diharapkan.
Pada Park kae In, Jung Jin Ho pertama kali membuat pengakuan akan dirinya. Sikap simpati dan penerimaan tanpa syarat dari gadis itu, membuatnya merasa ada di rumah yang hangat. Dia betah ada di dalamnya. Dia menjadikan Park Kae In sebagai tempatnya untuk pulang. Rumah tempatnya membuka jati dirinya, seperti membuka seluruh pakaian yang dikenakannya hingga telanjang. Dia merasakan sesuatu yang jauh dari nafsu. Hanya hangat yang menyenangkan, membuat dia betah, dan selalu mencarinya.
Sedangkan Park Kae In merasa berarti, karena ada seseorang yang membutuhkannya. Seseorang yang sedikit banyak bergantung padanya, tanpa melihat siapa dirinya, hanya dia. Fakta bahwa Jung Jin Ho mempercayakan rahasia terbesar dalam hidupnya adalah sesuatu yang sungguh besar artinya bagi Park Kae In. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menghargainya seperti itu. Hidupnya jadi penuh dengan Jung Jin Ho. Dia mulai membuat rencana besar: menjadikan Jung Jin Ho normal dan membawanya ke dalam kehidupan yang wajar, tanpa perlu mengenakan topeng atau menyembunyikan, karena tidak akan ada lagi yang perlu ditutupi atau disembunyikan. Jung Jin Ho akan menatap dunia, bersamanya.
Lalu, tiba-tiba muncul Han Chang Ryul, mahasiswa yang dikenal sewaktu iseng-iseng chatting di room chat tertentu, yang sudah lama ditinggalkannya sejak ada Park Kae In. Awalnya, Jung Jin Ho menolak permintaan Han Chang Ryul untuk bertemu. Tapi, kemudian dia luluh dan menemui Han Chang Ryul di sebuah resto, dengan janji bahwa ini adalah pertemuan terakhir. Ternyata, dia salah. Dia seperti mengalami cinta pada pandangan pertama terhadap pemuda itu. Celakanya, Han Chang Ryul juga mengalami hal yang sama.
Cinta adalah sesuatu yang menyusup diam-diam, seperti udara bebas masuk ke dalam lubang hidung tanpa kita punya cukup daya untuk menyaringnya. Aku suka pada pemaknaan itu. Jadi, kesimpulannya, keduanya tersusupi cinta. Hanya saja, bedanya, yang satu bebas tanpa rasa bersalah dan menikmatinya sebagai cinta biasa yang indah, lainnya merasa berat karena dibebani rasa bersalah.
Jung Jin Ho merasa telah berbuat salah terhadap Park Kae In. Dia merasa sebagai pembohong dan pengkhianat. Kenyataan bahwa sebenarnya tidak pernah ada kata yang keluar dari mulutnya tentang posisi Park Kae In untuknya, tidak cukup kuat untuk meringankan rasa salah itu. Ironisnya, dia juga tidak punya cukup kemampuan untuk menghindar dari Han Chang Ryul. Han Chang Ryul sungguh indah dan dia terkapar dalam cintanya.
Awalnya, setiap kali berkencan dengan Han Chang Ryul, Jung Jin Ho merasa seperti seorang pria tengah baya yang mengencani daun muda, karena umur mereka berjarak delapan tahun. Juga merasa bersalah. Karena, menurutnya, dengan usia Han Chang Ryul yang semuda itu, seharusnya dia membantunya untuk keluar dari dunia itu, bukan malah mengencaninya. Seharusnya, Han Chang Ryul masih punya kesempatan. Tapi, pemuda itu sama dengan dirinya, yang terbentuk bukan karena lingkungan atau pergaulan yang salah. Mereka sama-sama terlahir seperti itu. Juga sama-sama tak kuasa. Mereka senasib, dan lebih parah lagi, mereka saling jatuh cinta. Dan, Jung Jin Ho mulai pontang-panting untuk menyembunyikan Han Chang Ryul dari Park Kae In.
Membaca kisah Jung Jin Ho dan Han Chang Ryul ini membuatku kagum pada Kim Tae Hee. Dia dapat begitu detail menuliskan bagaimana kedua anak manusia sesama jenis itu menjalin satu hubungan. Kim Tae Hee menggambarkannya dengan gamblang, sehingga pembaca awam sepertiku serasa mendapat pengetahuan baru tentang dunia yang selama ini dianggap gelap. Entah riset panjang macam apa yang dilakukan Kim Tae Hee sebelum menulis.
Kim Tae Hee sedang di teras menggendong bayi itu, ketika aku datang. Si kecil mungil itu menyedot dengan rakus sebotol susu yang disodorkan ibu angkatnya itu. Pipinya tampak ranum.
“Sudah berkenalan? Dia sudah punya nama sekarang.”
“Siapa?”
“Kim In Hee. Nama yang bagus, ’kan?” Senyum Kim Tae Hee lebar sekali.
Nama yang indah.
“Kata Mama arti namanya adalah karunia yang sungguh mulia. Bukankah anak memang benar karunia yang mulia bagi orang tuanya, walau hanya orang tua angkat sepertiku?” Dia mencium ubun-ubun bayi mungil, yang masih saja asyik dengan dot susunya itu. “Kau tahu, aku baru sekarang tahu betul rasanya jadi ibu. Dia membuatku begadang setiap hari. Mengganti popok dan membuat susu ternyata bukan pekerjaan mudah. Terlebih di malam hari. Cukup untuk membuat wajah pucat dan mata cekung. Kau akan merasakannya juga nanti.” Dia menunjuk wajahnya.
Hatiku ngilu, teringat kista yang pernah tumbuh di rahimku.
“Kau beri susu apa?”
Kim Tae Hee menyebut satu jenis susu merek terkenal berkualitas tinggi. Ah... bayi yang beruntung. Ibu angkatnya ini benar-benar mencintainya dengan penuh, sehingga untuk susu pun dia memberikan yang terbaik.
Seorang wanita muda keluar. Wajahnya cantik polos dan kulitnya kuning sekali. Rambutnya lurus dan dikucir tinggi, sehingga tengkuknya pasti akan terlihat jelas andai saja dia berbalik. Dia tersenyum kikuk padaku. Di pundaknya tergantung tas kulit warna merah yang agak besar.
“Kenalkan, ini Barbie Xu. Barbi Xu, ini Yoon Eun Hye, teman SMA-ku dulu.”
Kujabat tangannya. “Dari Seoul? Sedang berlibur?”
Barbie Xu mengangguk. “Ya, aku sudah dua hari menginap di sini dan sekarang mau pulang ke Seoul lagi.”
“Dia fotografer, Yoon Eun Hye, punya studio sendiri.”
Bersambung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar