Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 05 November 2010

Keinginan Sederhana (Chapter 4)


“Ya. Aku tidak bisa terima opsi aborsi. Gadis itu tinggal di Busan. Demikian juga kekasihnya. Keluarga gadis itu tidak sangat kaya, tapi cukuplah. Sedangkan orang tua kekasihnya adalah pejabat tinggi di Busan. Mungkin kau kenal dia. Semua tidak mau namanya tercoreng karena kelahiran bayi ini. Jadi, pilihannya adalah melahirkan diam-diam, kemudian melupakannya, atau aborsi. Nenek gadis itu adalah kenalan ibuku. Jadi, aku ada kesempatan untuk mengambil bayi itu. Tiga atau empat hari lagi, bayi itu akan pindah ke rumahku dan ibunya kembali mengenakan seragam SMA-nya.

“Kenapa?”

“Karena, memang begitu kan alur yang diinginkan?”

“Bukan, maksudku, kenapa kau mau mengambil bayi itu?”

Kim Tae Hee menatapku sebentar. “Karena, toh, aku juga perlu untuk punya anak, Yoon Eun Hye.” Dia mengucapkannya sambil berbalik, melangkah pergi, kembali ke ruang tempat gadis itu dirawat.

Gadis itu bernama Jung So Min. Dia menolak ketika suster menawarkan untuk menyusui bayinya. Aku langsung tidak simpati. Menurutku, dengan penolakan itu, berarti dia benar-benar tidak mencintai bayinya. Dia cuma menikmati proses pembuatannya!

Tiba-tiba aku merasa marah terhadapnya. Padahal, Kim Tae Hee tampak biasa-biasa saja. Dia sempat sedikit membujuk Jung So Min untuk mau menyusui bayinya dengan menjelaskan bahwa ASI adalah susu terbaik untuk bayi. Lalu, Kim Tae Hee meminta suster mengajarinya menggendong bayi itu. Dia mulai mengayunnya dengan sayang, menciumnya, lalu terkekeh gemas, karena ternyata si bayi mengompol. Kim Tae Hee mengamati cara suster mengganti popok dengan seksama. Sedangkan kulihat si ibu asli malah tenang-tenang, mengunyah anggur hijau. Aku jadi tambah tidak suka padanya.

“Sudah siap nama untuknya, Kim Tae Hee?” Sang nenek bicara, sambil mengelus pipi cucunya. Dalam hati aku bertanya, kenapa bukan nenek itu saja yang mengurus bayi itu? Kota ini memang hanya empat jam perjalanan dari Busan, tapi aku rasa jarak itu cukup untuk meredam berita tentang anak pejabat yang telah menghamili kekasihnya dan tidak mau menikahinya.

“Belum. Tapi, pasti segera kutemukan. Apakah dia sudah mirip denganku?” guraunya riang, sambil mendekatkan muka mungil itu ke wajahnya sendiri.

Sang nenek tertawa karena gurauan itu. Sedangkan aku tidak berminat untuk ikut tertawa.

Sepulang dari rumah sakit, Kim Tae Hee berbelanja perlengkapan bayi. Popok, bedak, alas tidur, minyak telon, minyak kayu putih, kelambu, topi, sepatu, kaset Mozart, dan entah apa lagi. Dia juga menghabiskan waktu bermenit-menit untuk bertanya pada seorang SPG soal lotion antinyamuk, hanya untuk meyakinkan bahwa barang itu aman untuk bayi. Lalu dengan mudahnya mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk membayar belanjaannya.

“Mereka tidak memberimu uang untuk keperluan ini?”

Dia menggeleng. “Tidak. Lebih baik begitu, aku rasa. Mereka, toh, sudah membayar sendiri biaya persalinannya.”

“Kenapa kau tidak membiarkan mereka ikut menanggung keperluannya?”

“Ini tidak untuk membuatku berhak menutupi asal-usulnya kelak, Yoon Eun Hye, jika itu yang kau maksud. Aku tetap akan membuatnya tahu keluarganya suatu saat nanti, ketika dia sudah bisa berpikir dengan baik dan jernih. Adopsi kan hanya hukum duniawi saja. Aku tidak akan menutup akses dengan keluarga kandungnya. Bagaimanapun, aku tidak akan pernah jadi ibu kandungnya. Lagi pula, kelak dia butuh wali untuk menikah.”

“Ibumu setuju dengan hal ini?”

Dia tertawa. “Kau tahu, Yoon Eun Hye, hal yang paling bisa menyenangkan seorang nenek macam ibuku adalah adanya anak kecil untuk dirawat dan dimanjakan. Apalagi, Ibu tahu riwayatnya. Seperti kau, Ibu tidak suka pada gadis itu, tapi dengan mudah jatuh sayang terhadap bayi itu, bahkan sebelum dia lahir. Dia justru akan bisa membuat ibuku ’hidup’ kembali.”

Berarti, semuanya semudah itu. Alangkah beruntungnya bayi mungil itu. Begitu ibu kandungnya menolak, langsung dia dapat ibu pengganti, juga nenek, yang langsung pula menya¬yanginya.

“Jangan terlalu sinis terhadap Jung So Min, Yoon Eun Hye. Mungkin kita akan melakukan hal yang sama, jika dihadapkan pada masalah sepelik itu. Bagiku, dia sudah hebat dengan mau mempertahankan anaknya hingga lahir. Banyak gadis lain yang lebih buruk dari itu, yang tanpa pikir panjang mengambil opsi aborsi sebagai penyelesaiannya. Paling tidak, Jung So Min sudah rela membuang satu tahun masa sekolahnya dan mengorbankan bentuk badannya. Selebihnya, sebaiknya kita maklumi saja.”

Memaklumi? Mudah sekali. Walau aku tahu tak berhak apa pun atas Jung So Min, tapi rasanya tidak sesederhana itu. Berapa banyak wanita di dunia ini yang ’mengemis’ kepada Tuhan untuk diberikan anak dalam rahimnya. Berapa banyak yang berusaha ini-itu dan menghabiskan hartanya hanya untuk tujuan itu. Aku mengumpat atas namaku sendiri.

“Yaaa... seks harus dilakukan dengan bertanggung jawab, tak cukup hanya bermodal cinta dan nafsu saja. Begitu maksudmu? Mari kita ajarkan semua itu pada anak-anak kita nanti, Yoon Eun Hye.”

Di rumah Kim Tae Hee, benar-benar kulihat bukti nyata bahwa ibunya sama sekali tidak keberatan dengan keputusannya mengadopsi bayi itu. Wanita itu tampak jauh lebih hidup daripada tempo hari. Beliau mondar-mandir, memberi komando Bibi Son Ye Jin untuk membereskan kamar Kim Tae Hee, mengatur isi almari kecil yang agaknya diperuntukkan bagi bayi mungil itu. Kudengar, beliau meminta Bibi Son Ye Jin mengeluarkan buku-buku Kim Tae Hee dari kamar, karena dianggapnya barang-barang itu menumpuk debu.

“Benar kan kataku?” kata Kim Tae Hee padaku. Dagunya menunjuk ke arah ibunya.

Malam itu aku masih diselimuti perasaan aneh. Entah mengapa, aku masih merasa jengkel pada Jung So Min. Juga merasa asing dengan cara penerimaan Kim Tae Hee yang begitu mudah. Aku jadi teringat anak-anak di panti-panti asuhan, yang sering kali menjadi anak-anak nakal karena kurang perhatian. Aku merasa ini tak adil untuk mereka.

Bayi Jung So Min sungguh beruntung. Mungkin malah lebih baik dia ada di tangan Kim Tae Hee daripada diasuh oleh ibu kandungnya yang masih ingusan itu. Untuk menyusuinya saja gadis itu menolak, apalagi untuk merawatnya. Sedangkan Kim Tae Hee malah seperti orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tadi sempat kutangkap matanya berkaca ketika menciumnya. Aku menyesal melupakan kameraku. Jika tidak, pasti aku bisa membuat foto yang indah tentang hubungan ibu dan anak. Mungkin bisa kujadikan kenang-kenangan untuk dihadiahkan pada Kim Tae Hee.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...