Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Jumat, 05 November 2010

Keinginan Sederhana (Chapter 3)


Yoon Eun Hye, aku tidak semudah itu jatuh cinta. Sekarang kalau kau tanyakan itu padaku, jawabku: aku tidak jatuh cinta padanya. Aku simpati. Dia gadis yang cerdas. Juga berani. Dia pernah bercerita tentang keluarganya yang pecah. Tapi, dia bisa mengatasinya dengan baik. Aku salut. Tak banyak orang yang bisa menyelesaikan masalah seperti itu dengan bijak seperti dia.“

Bagiku, penjelasan itu tidak banyak artinya. Tidak mengubah apa pun. Apakah itu sekadar simpati atau bukan, kenyataan yang kulihat adalah Hyun Bin sendiri merasa takut dengan kedekatan yang ‘nyaman’ itu. Karenanya, dia begitu bersemangat menerima peluang yang ditawarkan temannya di perusahaan asing itu. Mungkin, gaji besar yang menggiurkannya, tapi tetap ada faktor Lee Hyori di dalamnya. Aku tidak suka faktor itu.

“Yoon Eun Hye, ini hanya perasaan takutku saja. Tidak pernah terjadi apa-apa selama ini. Aku tidak mau terjadi apa-apa. Hanya kebetulan ada tawaran yang begitu menarik di saat seperti ini. Jadi kenapa tidak diambil? Tawaran itu sangat menarik, itu saja alasannya! Kau tidak perlu khawatir soal Lee Hyori!”

Tidak perlu khawatir? Ah... mudah sekali?!

Dan, reaksiku membuat Hyun Bin benar-benar memutuskan untuk hengkang dan menerima tawaran itu. Minggu-minggu ini adalah minggu-minggu terakhirnya sebelum pindah ke kantor yang baru. Ketika dia memutuskan pergi, ketika itu pula aku memutuskan keluar sejenak dari rumah. Hyun Bin protes keras. Tapi, aku juga tidak bisa bertahan untuk tidak pergi. Aku tidak bisa berada di dekatnya dengan amarah dan kekecewaan sebesar itu. Memaksakan diri bertahan tanpa membuat jeda, hanya akan membuat semuanya meledak lebih dasyat. Aku perlu waktu untuk berjarak darinya. Jadi, aku tetap berangkat, walau Hyun Bin setengah mati menahan.

“Pulanglah secepatnya! Percayalah, tak pernah dan tidak akan terjadi apa-apa. Jangan bereaksi seolah aku telah telanjur berselingkuh dengannya. Aku tidak melakukan apa-apa, Yoon Eun Hye. Pikirkan itu!”

Sebenarnya, apa definisi berselingkuh? Apakah hanya jika mereka telah bercinta baru bisa disebut Hyun Bin berselingkuh terhadapku? Apakah dengan takut ada perasaan yang mungkin bisa berkembang seperti itu, berarti dia belum berselingkuh? Apakah sesuatu disebut perselingkuhan, hanya jika ada kontak fisik saja? Bagaimana dengan perselingkuhan melalui pikiran? Aku sama sekali tidak sepakat, jika perselingkuhan itu hanya diartikan dalam bentuk kontak fisik. Bagiku, Hyun Bin sudah berselingkuh!

Minggu pagi ini hujan gerimis, ketika aku benar-benar memutuskan untuk membuka mata. Rasanya sudah mulai sejak subuh tadi dan sekarang belum juga reda. Dingin yang sejuk, membuatku betah menjajah kasur. Hari Minggu, pagi, gerimis, dingin.... Ah, jika ada di rumah bersama Hyun Bin dan semuanya dalam keadaan normal tanpa pertengkaran apa pun, tentu akan menyenangkan sekali. Tapi, sekarang sedang abnormal!

Gook Ji Yun menyambutku di dapur dengan senyum, sambil menunjuk ke arah semangkuk Ramyeon. (mie ramen khas Korea, yg dimasak dengan kuah yang sangat pedas dan biasanya ditambah sayuran, daging atau kimchi) panas mengepul. Di dekatnya ada Yoona sedang membuat Kimbab (nasi rumput laut Terbuat dari nasi yang dibalut rumput laut kering berisi sayur-sayuran, telur goreng, ikan, daging, dan sosis). Baunya menggiurkan.

“Aku dapat jatah itu, ’kan?” selorohku pada Yoona.

“Tentu saja, Kak.”

Yoona itu perawat yang bekerja di rumah sakit swasta dekat sini. Dialah orang pertama yang datang, ketika Ibu mulai membuka rumah ini menjadi tempat kos, dua bulan setelah Ayah meninggal. Ibu butuh teman. Jadi, membuat rumah kos adalah penyelesaian yang cukup baik, karena Ibu menolak untuk tinggal di rumahku, Kak Song Hye Gyo, ataupun Kak Rain Bi. Yoona menempati bekas kamarku. Sedangkan Gook Ji Yun, satu anggota kos yang lain, menempati bekas kamar Kak Rain Bi. Bekas kamar Kak Song Hye Gyo sengaja dikosongkan, karena ukurannya lebih besar dari kamarku ataupun kamar Kak Rain Bi. Jadi, tetap ada kamar untuk kami, jika pulang dan menginap. Sekarang malah ada dua kamar kosong sejak Ibu meninggal.

Yoona tinggal sendirian. Suaminya sedang ke Jepang, katanya menjadi buruh pabrik. Berangkat tiga tahun yang lalu dan baru sekali pulang. Mereka belum sempat mempunyai anak, karena Gong Yoo, suaminya, berangkat ke Jepang hanya dua bulan setelah pernikahan mereka. Mencari uang cepat, itu alasannya.

Karena uang, alasan itu tentu masuk akal. Gaji menjadi Buruh pabrik di Jepang tentu lebih besar daripada di sini. Tapi, bagaimana dengan mereka sendiri? Maksudku, pernikahan macam apa, jika sepasang suami-istri terpisah jarak yang begitu jauh. Apakah masih ada yang namanya kesetiaan?

Terus terang, aku lebih meragukan Gong Yoo daripada Yoona. Sebagian karena Yoona wanita. Wanita cenderung lebih setia. Apalagi, dia bukan tipe yang banyak tingkah, pemalu, juga pendiam. Sedangkan Gong Yoo itu pria. Pria lebih gampang berselingkuh! Huh! Apalagi, istrinya jauh dari pandangan seperti itu! Aku ingin sekali bertanya pada Yoona, apakah dia percaya suaminya setia padanya di sana? Percayakah dia bahwa suaminya tidak menyentuh wanita lain selama tiga tahun berpisah dengannya?

Telepon berdering. Perasaanku mengatakan Hyun Bin yang menelepon. Aku langsung masuk ke kamar mandi. Perasaanku benar. Kudengar Gook Ji Yun beralasan aku sedang mandi.
Goo Ji Yun mengetuk pintu kamar mandi. “Kak Yoon Eun Hye, Pak Hyun Bin telepon. Aku bilang Kakak sedang mandi. Sebentar lagi telepon lagi.”

“Okay.”

Tapi, aku berlama-lama di kamar mandi, sehingga aku belum juga selesai, ketika Hyun Bin kembali menelepon.

Gook Ji Yun lagi-lagi mengetuk pintu, minta aku membukanya. Dia mengulurkan telepon wireless padaku.

Suara Hyun Bin langsung terdengar. “Yoon Eun Hye, lama sekali mandimu?”

Ah....

“Iya, sekalian keramas, dan berendam.”

“Kau pulang hari ini, ’kan?”

“Belum.”

“Jadi kapan?” desaknya.

“Hyun Bin, tolong beri waktu.... Beri aku jeda. Aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa jeda sementara.”

Sunyi sejenak di seberang sana.

“Yoon Eun Hye, jangan menganggap ini hal yang sangat besar. Tidak terjadi apa-apa. Percayalah! Semuanya masih baik seperti dulu.”

“Jangan menganggap ini hal yang sangat remeh juga. Pikirkan bagaimana jika kejadiannya dibalik, aku yang datang padamu dengan cerita bahwa aku mungkin tertarik pada pria lain. Apakah kau akan sama sekali tidak terganggu?”

“Yoon Eun Hye, jangan begitu...!”

“Aku perlu jeda sebentar. Aku janji akan pulang, begitu semuanya bisa kutanggung dan bisa kembali bersikap normal terhadapmu. Tolong jangan terlalu memaksa. Kita sama-sama ingin semuanya selesai dengan baik. Tapi, ini perlu proses. Tidak bisa dihapus begitu saja, seperti kau menghapus tulisan kapur di papan tulis.”

“Yoon Eun Hye, aku sangat merindukanmu. Aku menyesal.”

Aku mencari-cari dalam hatiku, apakah aku merindukannya juga, setelah empat hari di sini. Tapi, tak kutemukan apa-apa. Kupikir tidak ada salahnya berbasa-basi dengan mengatakan jika aku juga merindukannya.

Lega rasanya, ketika akhirnya Hyun Bin mau menutup telepon.

Keluar dari kamar mandi, kulihat Kim Tae Hee duduk di sofa ruang tamu. Posisi duduknya merosot, kakinya menyelip di bawah coffee table. Matanya terpejam.

“Hai, mau pindah tidur di sini? Ada kamar kosong, kok.”

Dia langsung membuka matanya, tersenyum. Wajahnya agak layu, walau rambut panjangnya agak basah dan terlihat segar.

“Aku mau ke Rumah Sakit KangSan, lewat sini, dan teringat flash disk-ku. Jadi mampir sekalian.”

Gook Ji Yun datang membawa nampan berisi teh. Kim Tae Hee langsung meminum teh itu tanpa menunggu kupersilakan.

Kusodorkan flash disk-nya. ”Aku belum selesai membaca novelmu. Baru sampai halaman dua puluhan.”

Dia mengangguk-angguk. ”Tidak apa-apa. Santai saja. Tenggatnya masih jauh, kok. Rasa tehnya pas.”

”Ada urusan apa di Rumah Sakit KangSan?”

”Ada teman yang melahirkan. Semalam aku ikut menungguinya. Bayinya perempuan. Beratnya tiga koma satu. Merah sekali.”

“Karena itu wajahmu layu?”

“Benarkah? Apa kau mau ikut denganku? Atau, sudah ada acara barangkali?”

“Tidak ada. Aku ikut denganmu saja. Aku ganti baju sebentar.”

Ternyata, yang disebut Kim Tae Hee sebagai ’teman’ adalah seorang gadis belia. Sangat belia. Perkiraanku masih seusia SMA. Wajahnya tampak letih. Persalinan yang berat, kata nenek si gadis yang menunggui. Aku bertanya dalam hati, di mana ibu gadis itu. Bayinya sempat terbelit tali pusarnya. Gadis itu nyaris kehabisan napas dan tenaga. Untung si bayi akhirnya mau keluar dengan sukarela, tepat saat azan subuh. Jika tidak, pisau operasi tentu sudah membelah perut si gadis.

Aku mengikuti Kim Tae Hee ke ruang bayi. Suster telah mendekatkannya di kaca, sehingga kami bisa melihatnya dengan jelas. Memang bayinya merah sekali. Kata orang, jika merah begitu, berarti kulitnya akan jadi putih nantinya. Pipinya montok, rambutnya tebal.

“Cantik, ya, dia?” Kim Tae Hee tak lepas menatapnya. “Aku belum berhasil menemukan nama yang bagus untuknya. Nama adalah doa. Jadi, aku tidak mau sembarangan.”

Dahiku berkerut. “Kau yang memberinya nama?”

“Ya. Ibunya, juga neneknya, meminta aku saja yang memberikan nama untuknya.”

“Kenapa?”

“Karena dia sudah diplot menjadi anakku begitu dia menghirup udara dunia.” Senyumnya mengembang. “Kenapa? Heran?”

Tentu saja!

“Kau tahu umur berapa ibunya? Lima belas tahun! Bayangkan, apa yang kita lakukan di umur itu? Rasanya aku sibuk bermain dan baru bisa mengarang, sementara kau sibuk melukis dan memotret. Iya, ’kan? Zaman sudah jauh berubah, Yoon Eun Hye. Mereka tidak lagi cukup hanya dengan mengarang, melukis, ataupun memotret.”

Aku menangkap maksudnya. “Dia hamil di luar nikah, lalu kau yang akan mengadopsinya. Begitukah?”

Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...