Silahkan Mencari!!!
I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...
GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!
Jumat, 05 November 2010
Keinginan Sederhana (Chapter 2)
Jadi, aku mampir ke rumah Kim Tae Hee. Rumah itu tampak asri, sama seperti belasan tahun yang lalu, ketika aku dan Kim Tae Hee masih SMA. Dulu rumah ini selalu menyenangkan untuk dijadikan base camp. Karena itu, hampir selalu ramai oleh teman-teman Kim Tae Hee ataupun kakak-adiknya.
“Sepi sekali, Kim Tae Hee.”
“Ya, hanya ada tiga gelintir manusia yang menghuninya: aku, Ibu, dan Bibi Son Ye Jin. Kakak-kakakku paling-paling sebulan atau dua bulan sekali datang berkunjung. Itu pun bergantian. Hanya di hari-hari libur besar kami bisa berkumpul lengkap bersama. Itu pun paling-paling hanya sehari dua hari saja. Selebihnya, ya, hanya kami bertiga.”
Ibu Kim Tae Hee rasanya hampir sebaya dengan mendiang ibuku. Sebenarnya tampak cukup sehat. Tapi, menurut Kim Tae Hee, tidak lagi mau aktif keluar rumah sepeninggal ayahnya. Beliau langsung dapat mengingatku dan memberi sambutan hangat, persis seperti dulu, walau hanya menemaniku beberapa menit saja.
Kim Tae Hee mengangsurkan flash disk padaku. “Kau copy di notebook-mu, besok atau lusa aku ambil flash disk-nya, sembari mengunjungimu. Rumahmu tetap di Bougenville Residence, ’kan?”
Aku mengangguk.
“Kau tinggal sendirian?”
“Ada dua anak kos dan satu penjaga.”
Malam itu juga aku langsung berkonsentrasi penuh pada novel Kim Tae Hee. Sebuah cerita tentang homoseksual. Sebenarnya bukan isu baru, karena aku tahu banyak pengarang muda sekarang mengangkat tema tersebut. Tapi, karena berhadapan langsung dengan pengarangnya dan mengenalnya secara personal, isu itu jadi terasa segar di kepalaku.
Kim Tae Hee menciptakan tokoh bernama Jung Jin Ho, yang menjadi homoseksual bukan karena pengaruh lingkungan, tapi karena memang sejak kecil menemui dirinya seperti itu.
Sewaktu kecil, ketika teman-temannya mulai menggoda gadis-gadis kecil sebaya mereka, dia lebih tertarik mengamati tubuh teman-teman main bolanya.
Ketika beranjak remaja, dia dibingungkan oleh ketertarikan terhadap sejenisnya yang terasa makin kuat dan tidak cukup dia mengerti. Begitu beranjak dewasa dan mengerti arti homoseksualitas, dia begitu sibuk menyembunyikan identitas tersebut, sekaligus melawannya.
Aku tengah tenggelam membayangkan tokoh Jung Jin Ho yang terus-menerus bergulat melawan dirinya sendiri dan seorang diri, ketika telepon di ruang tengah berbunyi. Pikiranku langsung bisa bergerak menebak. Dan memang, kepala Gook Ji Yun (Anak kost di rumah Yoon Eun Hye) muncul di ambang pintu kamar yang kubiarkan terbuka.
“Ada telepon dari Pak Hyun Bin.”
Benar kan, memang Hyun Bin yang telepon. Gook Ji Yun selalu memanggilku ’Kakak’, tapi selalu tidak mau menyebut Hyun Bin dengan ’Kakak’. Dia selalu menggunakan ’Pak’.
“Ya?”
Hyun Bin tidak langsung menyahuti sapaanku. Mungkin dia menelepon sambil merokok dan sedang mengisap rokoknya, ketika aku mengangkat teleponnya. Atau, mungkin juga dia merasa aneh dengan caraku menjawab telepon, karena memang aku tidak pernah menjawab teleponnya dengan ’ya?’ seperti itu.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja. Kau?”
Aku nyaris tertawa karena nada canggung di suaranya dan suaraku sendiri. Aku merasa kami bukan dua orang yang telah lebih dari lima tahun tinggal seatap dan tidur di kasur yang sama.
“Aku tidak baik-baik saja, tentunya.”
Kalau saja semuanya dalam kondisi normal tanpa masalah, tentu aku sudah kebingungan dengan jawaban seperti itu. Aku akan sibuk menanyakan apakah dia masuk angin, diare, atau pusing, lalu sibuk mencarikan obat atau mengerik punggungnya. Tapi, tidak untuk kali ini.
“Kau pulanglah besok, aku mohon. Atau, kau mau aku menjemputmu besok?”
“Maaf, aku belum bisa.”
“Apa yang kau lakukan di sana, Yoon Eun Hye? Masalahnya ada di sini. Kita selesaikan di sini.”
Satu hal yang aku sangat sukai dari Hyun Bin adalah nada bicaranya yang hampir tidak pernah meledak-ledak. Emosinya selalu redam.
“Aku bertemu teman lama hari ini.”
“Seorang pria?”
Dalam kondisi normal aku pasti sudah tertawa karena pertanyaan yang begitu cepat keluar dari mulutnya tadi.
“Kim Tae Hee. Teman SMA dulu. Pengarang terkenal itu.”
“Dan?”
“Dia memintaku membuat desain sampul novel barunya. Aku sedang membaca naskah novelnya sekarang.”
“Kan bisa dikerjakan di sini? Kau tidak perlu berada di sana karena pekerjaan itu, ’kan?”
“Ya. Tapi, memang aku belum ingin kembali. Tolong beri aku waktu.”
“Berapa lama, Yoon Eun Hye? Pulanglah, kita selesaikan di sini, aku mohon.”
“Kita pasti selesaikan ini, Hyun Bin. Hanya saja aku perlu waktu untuk sendirian sebentar. Tidak akan terlalu lama.”
“Apa artinya ini, Yoon Eun Hye? Aku sungguh-sungguh dengan permintaan maafku dan tidak akan terulang lagi. Tidak percayakah kau?”
Tidak percaya? Berapa banyak istri yang bisa dengan mudah memercayai permintaan maaf dari suami yang dengan enteng mengaku merasa tertarik pada wanita lain? Berapa banyak istri yang dengan mudah melupakan pengakuan itu dan kembali percaya bahwa cinta suaminya seutuh dulu?
“Biarkan aku di sini dulu. Aku janji akan pulang secepatnya.”
“Aku ke sana Jumat besok sepulang kantor.”
“Tidak perlu. Biar seperti ini dulu sementara ini.”
“Yoon Eun Hye....”
“Aku mohon, Hyun Bin, mengertilah, aku benar-benar butuh ini.”
Kudengar dia menelan ludah sebelum menyerah.
“Aku telepon kau setiap hari. Tolong telepon aku kapan pun kau mau atau ingin membicarakan ini semua.”
“Okay.”
Sebenarnya aku ingin mengingatkan bahwa dia sering kali mematikan handphone-nya jika ada rapat penting. Jadi, bukankah sebenarnya aku tidak bisa meneleponnya kapan saja?
“I love you, Yoon Eun Hye.”
Aku tercenung. Apakah suami yang bersalah selalu melakukan ini? Aku merasa seperti sedang melakukan satu adegan di film Hollywood.
“Yoon Eun Hye? Kau belum menjawabku.”
“I love you too, Hyun Bin.”
Aku berusaha mengucapkannya dengan setulus-tulusnya.
Susah mengembalikan konsentrasiku ke Jung Jin Ho, setelah Hyun Bin menutup telepon. Justru aku jadi memikirkan Lee Hyori. Mulai mereka-reka sosoknya. Menurutku, dia seharusnya langsing, putih, dengan panjang rambut yang tidak melebihi bahu, karena setahuku, seperti itulah sosok yang disukai Hyun Bin. Dia juga sangat senang pada wanita yang cerdas. Dulu dia pernah bilang bahwa wanita berwajah biasa saja tapi berotak cerdas, jauh lebih menarik baginya daripada wanita cantik dengan otak kosong.
Jadi, seperti apakah kau, Lee Hyori? Pasti paduan sempurna antara cantik dan cerdas, sehingga mampu membuat Hyun Bin-ku datang padaku dan mengaku ”Yoon Eun Hye, aku takut aku menyukai Lee Hyori.” Sebenarnya, Hyun Bin tidak langsung mengatakan padaku soal itu. Awalnya, dia hanya bilang mendapat tawaran kerja dari suatu perusahaan asing. Temannya yang sudah terlebih dahulu ada di sana, merekomendasikannya untuk posisi manajer marketing.
Menurutnya, itu sangat menarik terutama dari segi gajinya. Tapi, entah mengapa, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu tentang hal itu. Setelah kukorek pelan-pelan, ternyata masalahnya adalah Lee Hyori. Rasanya seperti terngiang kembali di telingaku suara lirih Hyun Bin, ketika berkata dia takut jatuh hati pada Lee Hyori, partner barunya di kantor. Dia bilang, gadis itu menarik. Cerdas, itu intinya. Sebagai partner, mereka dekat satu sama lain. Hyun Bin merasa takut dengan kedekatan itu, takut akan menjadi sesuatu yang lebih.
“Kau jatuh cinta padanya?”
Tentu aku sangat meradang dengan pengakuan itu.
Hyun Bin menggeleng. Tapi, aku tidak suka gelengan yang lemah. Bagiku, itu gelengan orang yang bersalah.
Bersambung…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar