Laman

Silahkan Mencari!!!

I'M COMEBACK...SIBUK CUY...KERJAAN DI KANTOR GI BANYAK BANGET...JD G BISA POSTING DEH...

AKHIRX OTAK Q PRODUKTIF LAGI BUAT FF BARU...

GOMAWOYO BWT YG DAH MAMPIR & COMMENT
HWAITING!!!

Sabtu, 27 Agustus 2011

Crazy Love (Chapter 7)



“Kenapa aku menstruasi lagi?!"

Suara Kim So Eun begitu kecewa. Seolah-olah kedatangan tamu tak diundang di tengah-tengah kemesraan bulan madu kedua mereka itu melenyapkan sebagian kebahagiaan yang tengah mereka reguk.

"Tidak apa-apa," sahut Kim Bum santai. Meskipun dalam hati dia juga agak kecewa. Masih terbayang jelas kemesraan yang telah mereka nikmati dalam dua malam terakhir ini. Rasanya masih belum puas. Masih ingin menikmati malam-malam selanjutnya. Tapi dia tidak ingin menambah kekecewaan istrinya. "Masih untung bukan kemarin, kan."

"Apa kau tidak merasa kecewa?" desak Kim So Eun dari dalam kamar mandi di kamar hotel mereka di Macau.

"Tidak," Kim Bum melemparkan koran pagi yang sedang dibacanya di ruang duduk. "Yang penting kan kita selalu bersama. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik. Kecuali..." senyum mengembang di bibirnya, "kalau kau sedang shopping."

"Atau kau sedang berjudi." Kim So Eun menyeringai masam.

Kim Bum menghampiri istrinya di kamar mandi. Tepat pada saat Kim So Eun sedang melepaskan bajunya hendak mandi. Dan melihat kemolekan tubuh istrinya, gairah Kim Bum meledak lagi. Diraihnya tubuh Kim So Eun ke dalam pelukannya. Diciuminya lehernya dari belakang. Dan dalam sekejap mereka sama-sama terbakar api yang panas menggelegak.

"Katanya tadi tidak apa-apa," keluh Kim So Eun penuh penyesalan. Menyesal karena tidak dapat menikmati kebersamaan yang begitu mereka dambakan. Tapi lebih menyesal lagi karena tidak dapat memuaskan suaminya.

"Memang tidak apa-apa," Kim Bum memutar tubuh istrinya dalam pelukannya. Lalu mengecup dan mengulum bibirnya dengan mesra. "Begini juga boleh kan."

"Sudah, jangan diteruskan Kim Bum," Kim So Eun berusaha melepaskan dirinya. "Nanti tidak selesai tidak enak."

“Siapa bilang tidak enak?" Kim Bum mencium istrinya sekali lagi. "Berani bilang yang ini tidak enak?"

"Enak," Kim So Eun membalas ciuman suaminya dengan hangat. "Tapi jangan kebanyakan. Sampai sini dulu. Aku mau mandi."

"Aku juga mau mandi."

"Aku mau keramas, Kim Bum!"

"Kebetulan." Kim Bum membawa istrinya ke bawah pancuran. Dibukanya keran air sebesar-besarnya tanpa menghiraukan protes-protes Kim So Eun. Sesudah basah kuyup Kim Bum baru ingat, dia masih memakai baju.

* * *

Kim Bum sudah biasa mengeramasi rambut istrinya. Tetapi entah mengapa, kali ini rasanya, dia tidak ingin menyudahinya. Sampai Kim So Eun yang memintanya.

"Sudah cukup, Kim Bum? Rasanya sebentar lagi aku bersin."

"Kedinginan?" Kim Bum tertawa geli, "Atau takut semua rambutmu rontok di tanganku?"

Kim Bum membelai rambut istrinya yang basah kuyup. Meremas-remasnya dengan penuh kekaguman.

"Rambutmu indah sekali, Sayang," bisiknya sambil mengecup leher istrinya. Tidak peduli busa shampoo bercampur air yang membasahi leher Kim So Eun melekat di bibirnya. "Rasanya aku begitu mencintai rambutmu. Mahkotamu."

"Cuma rambutku?" Kim So Eun pura-pura merajuk. "Kalau aku botak, kasih sayangmu juga ikut luntur?"

"Aku mencintai setiap inci tubuhmu, Kim So Eun," Kim Bum memeluk istrinya dengan mesra. "Setiap inci tubuhmu adalah milikku."

Ketika Kim Bum semakin bergairah mencumbunya, Kim So Eun mengelak sambil tertawa lembut.

"Kim Bum, aku boleh minta time-out?"

Tiba-tiba saja Kim Bum sadar. Mereka sedang di kamar mandi. Bukan di kamar tidur.

"Dingin?" bisiknya lembut.

Kim So Eun mengangguk. Karena dia tidak mampu lagi membuka mulutnya. Bibir Kim Bum telah melekat erat di bibirnya. Sementara air masih mengucur deras ke atas kepala mereka.

* * *

Selesai keramas, Kim Bum juga yang mengeringkan rambut Kim So Eun. Bahkan menyisirinya. Dan menggunting beberapa helai rambut yang mencelat keluar.

Sudah sepuluh tahun mereka melakukannya. Dan mereka sangat menikmatinya. Tetapi pada saat-saat bulan madu seperti ini, saat-saat itu terasa lebih indah.

"Katanya kalau lagi menstruasi tidak boleh keramas ya?" cetus Kim So Eun ketika suaminya sedang menyisiri rambutnya dengan penuh perasaan, seperti pelukis yang sedang menggoreskan kuasnya di atas kanvas.

"Ah, siapa bilang?"

"Nenekku."

"Yang benar saja!" Kim Bum tertawa geli. "Dokter gigi masih percaya yang seperti itu! Belajar fisiologi tidak?"

*) Fisiologi adalah turunan biologi yang mempelajari bagaimana kehidupan berfungsi secara fisik dan kimiawi. Istilah ini dibentuk dari kata Yunani Kuna φύσις, physis, "asal-usul" atau "hakikat", dan λογία, logia, "kajian". Fisiologi menggunakan berbagai metode ilmiah untuk mempelajari biomolekul, sel, jaringan, organ, sistem organ, dan organisme secara keseluruhan menjalankan fungsi fisik dan kimiawinya untuk mendukung kehidupan.

Berdasarkan objek kajiannya dikenal fisiologi manusia, fisiologi tumbuhan, dan fisiologi hewan, meskipun prinsip fisiologi bersifat universal, tidak bergantung pada jenis organisme yang dipelajari. Sebagai contoh, apa yang dipelajari pada fisiologi sel khamir dapat pula diterapkan sebagian atau seluruhnya pada sel manusia.

Fisiologi hewan bermula dari metode dan peralatan yang digunakan dalam pembelajaran fisiologi manusia yang kemudian meluas pada spesies hewan selain manusia. Fisiologi tumbuhan banyak menggunakan teknik dari kedua bidang ini.

Cakupan subjek dari fisiologi hewan adalah semua makhluk hidup. Banyaknya subjek menyebabkan penelitian di bidang fisiologi hewan lebih terkonsentrasi pada pemahaman bagaimana ciri fisiologis berubah sepanjang sejarah evolusi hewan.

Ilmu-ilmu lain telah berkembang dari fisiologi mengingat ilmu ini sudah cukup tua. Beberapa turunan yang penting adalah biokimia, biofisika, biomekanika, genetika sel, farmakologi, dan ekofisiologi. Perkembangan biologi molekuler memengaruhi arah kajian fisiologi.

"Dulu aku paling benci pelajaran itu."

"Kenapa? Dosennya killer? Ngomongnya cadel jadi kuliahnya tidak jelas?"

"Aku paling takut disuruh memotong kodok. Kelinci. Kera."

Kim Bum tertawa geli.

"Seharusnya dari dulu kau kenal aku! Biar aku yang-jadi tukang jagalnya!"

"Tapi belum terlambat mengenalmu sekarang juga, kan?" Kim So Eun memutar kepalanya dan menengadah. Matanya yang bersinar-sinar memancarkan kebahagiaan menatap suaminya dengan penuh kasih sayang.

"Tidak ada kata terlambat," Kim Bum menunduk dan mengecup bibir istrinya. "Karena waktu sekarang milik kita."

Ketika Kim So Eun merasa kecupan suaminya semakin kerap dan panas, disingkirkannya bibirnya sambil tertawa lembut. Teruskan menyisirnya saja ya," pintanya separuh bergurau. "Atau aku harus cari kapster lain. Karena yang ini ganas sekali!"

* * *

Ketika tegak di antara bumi dan langit di tepi tebing terjal Grand Canyon of Twilight, Kim So Eun kelihatan begitu terbius oleh kemegahan alam yang tengah disaksikannya. Meskipun bukan baru pertama kali berada di sana, dia Selalu terpesona menikmati panorama yang demikian menggetarkan sukma.

"Mahabesar Tuhan yang menciptakan suguhan alam yang sedahsyat ini," bisiknya dalam balutan kekaguman yang khidmat.

Kim Bum tidak menanggapi cetusan kekaguman istrinya. Tidak menyangkal. Tidak juga mengiyakan.

Meskipun dalam hati dia berujar sendiri, Yang mengikis tebing sampai terbentuk jurang yang begini mengagumkan adalah Sungai Twilight yang mengalir di bawah sana, Kim So Eun! Kepada sungai itulah kekagumanmu harus kau tumpahkan! Dialah ahli pahat yang mengagumkan itu. Yang selama jutaan tahun memahat dinding jurang ini.

Tetapi Kim Bum memang tidak pernah membantah kepercayaan Kim So Eun yang demikian dalam kepada Tuhan-nya. Sejak sebelum menikah pun dia sudah tahu, Kim So Eun teramat religius. "Dia bukan gadis yang cocok untukmu!" kata Jung So Min dulu. "Dia alim. Religius. Tempatnya bukan di tong sampah dunia seperti kau, Kim Bum!"

Tentu saja Jung So Min kenal sekali akhlak sahabatnya. Dibesarkan dalam keluarga yang berantakan, ibunya kabur dengan lelaki lain, ayahnya seperti menikah lagi dengan pekerjaannya, Kim Bum tumbuh menjadi pemuda yang liar. Dia mengecap kebebasan seperti mengecap rokoknya yang pertama, yang diisapnya waktu berumur dua belas tahun.

Seperti ayahnya yang tidak pernah awet dengan seorang wanita pun, Kim Bum juga tidak betah dengan seorang gadis saja. Seperti kumbang, dia terbang dari satu kelopak bunga ke kelopak yang lain.

Bedanya, Kim Bum mendadak jadi jinak setelah bertemu dengan Kim So Eun. Sementara ayahnya masih sibuk keluar-masuk hutan. Tidak peduli usianya sudah merambah ke kepala lima. Dia masih tetap seliar tiga puluh tahun yang lalu. Memangsa semua yang lewat di depannya. Dan meninggalkannya untuk memburu yang lain.

Tidak heran kalau Kim Bum tidak percaya pada apa yang disebut Kim So Eun "Tuhan". Semenjak kecil tidak ada yang mengajarinya agama. Tidak ada yang menyuruhnya berdoa.

Buat apa bicara dengan sesuatu yang tidak kelihatan, katanya waktu itu. Waktu Kim So Eun mengajarinya berdoa.

Sepuluh tahun menikah, Kim So Eun selalu berusaha mendidik suaminya untuk lebih mengenal Tuhan. Tetapi meskipun tidak pernah membantah, Kim Bum tahu, dia belum berubah.

Jauh di dalam hatinya, masih bertengger sebaris tanya, benarkah Tuhan ada? Benarkah Dia bukan cuma ilusi manusia yang selalu mencari jawab atas semua misteri yang belum diketahuinya? Benarkah Tuhan bukan sekadar kotak ajaib tempat semua surat permohonan diposkan?

"Suatu hari nanti aku ingin melayang seperti burung, Kim Bum," desah Kim So Eun sambil menatap jauh ke dasar jurang. "Terbang di antara celah-celah tebing yang curam, melayang menyusun sungai yang mengalir berkelok-kelok..."

"Tidak usah menunggu lama-lama," potong Kim Bum. Entah mengapa secercah perasaan tidak enak mendadak menerpa hatinya. Rasanya dia tidak ingin mendengar lagi kelanjutan kata-kata Kim So Eun "Sekarang juga kubawa kau terbang."

Hari itu Kim Bum memang membawa istrinya terbang dengan pesawat kecil yang melayang-layang bagai burung di atas Grand Canyon of Twilight. Dia juga membawa Kim So Eun menonton film tiga dimensi yang menyuguhkan kemegahan alam yang demikian mempesona. Menonton film itu seperti membiarkan diri mereka ikut merasakan ganasnya Sungai Twilight tatkala rafting dalam sebuah sampan. Ikut melayang seperti burung ketika pesawat mereka berkelok-kelok tajam terbang menyusuri lekuk sempit di antara terjalnya tebing. Bahkan turut mencicipi nuansa menegangkan ketika mereka serasa ikut mendaki jalan setapak yang licin dan curam menuju ke bibir jurang.

Beberapa kali karena ngerinya Kim So Eun mendesah sambil memeluk suaminya. Kim Bum merangkul bahu istrinya sambil sekali-sekali mengelus dan meremas punggungnya. Sementara tangannya yang lain menggenggam tangan Kim So Eun. Tangan itu terasa dingin dan basah berkeringat.

"Menyeramkan, kan?" ejek Kim Bum setengah bergurau ketika mereka keluar dari teater yang menyuguhkan film itu. "Siapa suruh mau jadi burung!"

Hari yang melelahkan itu menjadi hari yang sangat berkesan bagi mereka. Begitu banyak kenangan indah yang melekat di sanubari. Duduk-duduk di tepi tebing sambil menunggu matahari terbenam. Bercanda sambil saling colek. Berpelukan sambil melangkah. Kadang-kadang berhenti untuk saling melekatkan bibir.

"Sekalian minta lipgios-mu supaya bibirku tidak kering," gurau Kim Bum setiap kali dia mencium istrinya.

"Dasar!" Kim So Eun pura-pura mengeluh. "Disuruh pakai sendiri tidak mau!"

"Untuk apa?" Kim Bum tersenyum lebar. "Aku tahu cara yang lebih asyik!"

Ketika sedang melangkah sambil bergandengan tangan di jalan setapak di bibir tebing, tiba-tiba Kim So Eun membungkuk. Memungut sebuah batu hitam sebesar kelereng. Dibersihkannya batu itu dengan bajunya. Digosoknya sampai mengkilat.

"Lihat, Kim Bum," cetusnya gembira. Seperti anak kecil menemukan mainan baru. "Batu ini bagus ya! Mungkin umurnya sudah ribuan tahun."

"Aku tahu batu yang lebih bagus," sahur Kim Bum sambil tersenyum, "Umurnya juga sudah ribuan tahun."

Keesokan harinya di Macau, Kim Bum membelikan istrinya seuntai kalung emas dengan bandul berlian. Dikenakannya kalung itu di leher istrinya. Kemudian dikecupnya lehernya dengan penuh kasih sayang..

"Benar kan kataku," gurau Kim Bum di telinga istrinya. "Aku bisa memberimu batu yang jauh lebih bagus?"

"Terima kasih, Kim Bun." Kim So Eun menggeliat sambil memutar tubuhnya. Dan membalas ciuman suaminya yang tegak di belakangnya. "Kalung ini sangat bagus. Tapi aku boleh menyimpan batu hitam itu, ya? Kenang-kenangan kalau salah seorang dari kita sudah tidak ada."

"Kau ini bicara apa!" tukas Kim Bum sambil mencubit pipi istrinya dengan gemas. "Awas kalau berani bicara seperti itu lagi! Ku-cubit pantatmu!"

Kim So Eun tertawa geli menyambuti kelakar suaminya.

"Maaf, aku kelepasan! Seperti ada yang menggoyangkan lidahku! Kata-katanya meluncur begitu saja!"

"Bohong! Kau cari alasan saja supaya boleh menyimpan batu kali itu!"

Mereka masih bergurau terus. Tetapi sampai mereka masuk ke kamar pun, perasaan tidak enak itu masih juga tersisa di sudut hati Kim Bum. Dari Macau Kim Bum membawa istrinya ke Guang Zhou. Mereka bisa naik pesawat terbang. Tetapi Kim Bum memilih naik bus umum. Karena alat transportasi itulah yang mereka pilih sepuluh tahun yang lalu. Mereka begitu gembira ketika setelah berpanas-panas menunggu bus di halaman sebuah hotel, mereka dapat duduk berduaan di dalam bus yang sejuk ber-AC. Hampir lima jam terguncang-guncang di jalanan membuat perjalanan mereka semakin mengasyikkan.

Lebih-lebih ketika bus itu berhenti di kedai cepat saji dan Kim Bum membeli sebuah hotdog yang mereka santap berdua. Persis seperti dulu. Nikmat. Hangat. Mesra.

"Aku ingin menikmati saat-saat seperti ini sepuluh tahun lagi," desah Kim So Eun ketika Kim Bum menyeka sisa-sisa mustard yang menodai sudut bibirnya.

"Baiklah," Kim Bum menyeringai lebar sambil menjilati sisa mustard di ujung jarinya. "Begitu pulang aku pesan tiket perjalanan untuk sepuluh tahun yang akan datang! Sekalian bayar lunas. Siapa tahu sepuluh tahun lagi sudah tidak ada orang sakit!"

"Kau janji kita akan ke sini lagi pada ulang tahun perkawinan kita yang kedua puluh?"

"Aku janji kita akan kemari setiap tahun!"

"Benarkah?" Kim So Eun menatap suaminya sambil tersenyum.

Kim Bum membalas tatapan istrinya dengan hangat. Bukan main indahnya mata wanita yang sudah sepuluh tahun menjadi belahan jiwanya ini. Setiap kali menatap mata itu, Kim Bum begitu mengaguminya seperti menatap indahnya bintang-bintang di langit. Mata itu bening dan teduh menyejukkan seperti air kolam yang baru dikuras. Memang. Dalam usia tiga puluh lima tahun, Kim So Eun masih menyuguhkan kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang terasa abadi biarpun dua belas tahun telah berlalu sejak Kim Bum pertama kali melihatnya.

Hidungnya masih sebagus dulu. Pipinya masih semulus bayi. Bahkan bibirnya yang melekuk manis masih membangkitkan keinginan Kim Bum untuk memagutnya setiap ada kesempatan.

“Aku mencintaimu, Sayang," bisik Kim Bum sambil memeluk dan mencium bibir istrinya, “Rasanya… rasa cintaku semakin bertambah setiap detik. Setiap menit. Setiap jam. Setiap hari...." Dan mereka hampir ketinggalan bus.

* * *

Cyanblue Land sudah jauh berubah dibandingkan ketika mereka pertama kali ke sana sepuluh tahun yang lalu. Hampir tak ada tempat yang membangkitkan nostalgia. Semuanya sudah berubah. Tempat-tempatnya. Atraksi-atraksinya.

Mula-mula tentu saja mereka kecewa. Tetapi semakin siang, kekecewaan itu semakin pupus. Begitu banyak atraksi baru yang lucu dan menegangkan. Rasanya tidak bosan-bosannya mereka keluar-masuk studio. Bahkan ketika sore itu mereka basah kuyup disemprot slang air tatkala menikmati pertunjukan air, semua kekecewaan itu lenyap seketika.

Kim Bum dan Kim So Eun dapat menikmati wisata yang sangat berkesan sehari penuh walaupun mereka terpaksa membeli T-shirt karena baju mereka basah kuyup.

"Kim Bum, yang basah bukan cuma bajuku saja..." keluh Kim So Eun setelah mengenakan Tshirt barunya. "Basahnya sampai ke dalam...."

"Buka saja," sahut Kim Bum seenaknya. "Di sini tidak ada yang peduli kau pakai Bra atau tidak."

"Kau rela orang-orang melihat..."

"Tidak apa," potong Kim Bum sambil menyeringai bangga. "Masih bagus kan. Tidak membuat malu yang punya."

"Dasar kau ini!" Kim So Eun memukul bahu suaminya dengan gemas. "Porno!"

"Siapa yang porno?" Kim Bum tertawa geli. "Siapa yang..."

"Sudah! Jangan mengejek terus!"

"Kau semakin cantik kalau ngambek seperti itu!" Kim Bum mencolek pipi istrinya. "Sering-sering ngambek ya? Agar suamimu ini semakin saying padamu!"

Kim So Eun pura-pura menampar pipi suaminya sambil tersenyum manis.

"Kalau aku tahu kau jahat seperti ini..."

"Kau mau mencari penggantinya?"

"Boleh?"

"Pernah lihat rahang patah?”

"Kau lupa aku dokter gigi?"

"Kau lupa aku karateka ban hitam?"

Mereka sama-sama tertawa renyah. Udara yang panas menyengat tak terasa menyiksa. Lebih-lebih ketika percikan air membasahi mereka di sana-sini.

"Rasanya aku ingin semuanya ini tidak pernah berakhir, Kim Bum," desah Kim So Eun manja.

"Aku janji cinta kita tidak pernah berakhir, Kim So Eun," sahut Kim Bum mantap. "Dia hadir di setiap helaan napas kita."

Bersambung…

Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6

Rabu, 24 Agustus 2011

Winter Love (FF)



Title : Winter Love
Genre : Romance, Friendship, Family
Author : Sweety Qliquers
Episode : Prolog + 23 Chapter + Epilog
Story :
Kim So Eun senang sekali karena dapat tetangga baru lagi di apartemennya. Meskipun kesan pertama Kim So Eun setelah melihat Kim Bum adalah seorang pria yang cukup berantakan, namun kebaikan hati Kim Bum mampu menyentuh hati Kim So Eun dalam jangka waktu pendek, karena Kim Bum ternyata seorang pria yang perhatian, baik hati, menyenangkan dan bisa diandalkan.

Kim So Eun bertanya-tanya mengenai alasan Kim Bum pindah ke Seoul, padahal ia sudah memiliki pekerjaan yang cukup mapan di New York, yaitu sebagai fotografer profesional. Meskipun Kim Bum mengaku ia ingin mencari objek foto baru di Korea, Kim So Eun yang yakin ada alasan lain di balik semua itu memutuskan untuk tetap diam hingga Kim Bum sendiri yang bersedia menceritakannya, karena Kim So Eun tidak ingin merusak atmosfer baik di antara mereka berdua.

Di sisi lain, Kim So Eun yang sejak kecil masih dibayang-bayangi oleh cinta pertamanya, seorang bocah laki-laki bertopi Putih yang menolongnya mencarikan kalung di hari bersalju, nampaknya kurang bisa membuka hati ke pria lain walaupun Kim Bum sedekat itu dengannya. Sampai suatu hari pertemuan tak terduga dengan cinta pertamanya menghampiri dengan tiba-tiba. Ternyata cinta pertama Kim So Eun sewaktu kecil dulu adalah sahabat Kim Bum sejak kecil yang bernama Jung Yong Hwa.

Kim So Eun yang masih berbunga-bunga lantaran bertemu dengan cinta pertamanya harus menghadapi kenyataan pahit yang lain, ketika sesuatu yang berharga yang telah lama di sampingnya seakan menghilang tak berbekas, karena sebuah kecelakaan tak terduga terjadi yang menyebabkan Kim Bum kehilangan ingatannya.

Bagaimanakah kisah Kim So Eun selanjutnya? Apakah kisahnya dengan Jung Yong Hwa akan berjalan dengan lancar? Bagaimana tanggapan Kim Bum melihat Kim So Eun yang semakin akrab dengan Jung Yong Hwa? Apakah Kim Bum berhasil mendapatkan kembali ingatannya?
Production : www.ff-lovers86.blogspot.com
Production Date : 15 Agustus 2011, 09.34 AM
Cast :
Kim So Eun
Kim Bum

Kim So Eun Family :
Baek Suzy (Miss A)

Kim Bum Family :
Song Seung Hun
Kim Tae Hee

Kim Bum Friend :
Jung Yong Hwa (CN Blue)
Kim Soo Hyun
Song Ji Eun (Secret)
Lee Joo Yeon (After School)
Park Shin Hye
Lee Hong Ki (FT Island)

Jung Yong Hwa Family :
Lee Ji Hoon
Bae Yong Jun

Apartment People :
Yoon Eun Hye
Lee Ki Kwang (Beast)
Song Chang Ui
So Yi Hyun
Kim Hyun Joong

Other People :
Go Ah Ra


Winter Love

Karakter
Prolog
Chapter 1 ... Chapter 11 ... Chapter 21
Chapter 2 ... Chapter 12 ... Chapter 22
Chapter 3 ... Chapter 13 ... Chapter 23
Chapter 4 ... Chapter 14 ... Epilog - Tamat
Chapter 5 ... Chapter 15
Chapter 6 ... Chapter 16
Chapter 7 ... Chapter 17
Chapter 8 ... Chapter 18
Chapter 9 ... Chapter 19
Chapter 10
... Chapter 20

Winter Love (Karakter)

Kim So Eun

* Ia bekerja di sebuah perpustakaan umum di St.Ponds dan ia sangat menyukai pekerjaannya. Sejak kecil ia memang sangat gemar membaca buku dan impiannya adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia bisa membaca buku sepuas hatinya, tanpa gangguan, dan tanpa perlu mengeluarkan uang
* Memiliki saudara perempuan bernama Baek Suzy. Walaupun usia mereka hanya berbeda satu tahun, tapi kata orang wajah mereka sangat mirip, seperti saudara kembar. Orang-orang sering salah mengenali dirinya sebagai Baek Suzy


Kim Bum

* Street Fotografer
* Lahir di Korea, tapi menetap lama di Amerika Serikat bersama seluruh keluarganya


Baek Suzy (Miss A)

* Saudara perempuan Kim So Eun
* Seorang model ternama di Korea


Song Seung Hun

* Paman Kim Bum
* Adik laki-laki Ibu Kim Bum


Jung Yong Hwa (CN Blue)

* Mencintai Kim So Eun
* Sahabat sewaktu SMP Kim Bum
* Seorang Dokter


Kim Soo Hyun

* Sahabat sewaktu SMP Kim Bum


Song Ji Eun (Secret)

* Sahabat sewaktu SMP Kim Bum


Lee Joo Yeon (After School)

* Sahabat sewaktu SMP Kim Bum


Yoon Eun Hye

* Tetangga Kim So Eun yang tinggal di apartemen lantai bawah
* Yoon Eun Hye berumur 28 tahun. Tiga tahun lebih tua daripada Kim So Eun dan bekerja sebagai penata rambut di Beauty & Spa Salon
* Memiliki adik laki-laki bernama Lee Ki Kwang


Lee Ki Kwang (Beast)

* Adik laki-laki Yoon Eun Hye
* Mahasiswa jurusan hukum


Song Chang Ui

* Penanggung jawab Apartment dimana Kim So Eun tinggal


So Yi Hyun

* Istri Song Chang Ui


Kim Hyun Joong

* Orang yang dulu menempati Apartment yang Kim Bum tempati sekarang
* Mengajari Kim So Eun Bahasa Perancis


Go Ah Ra

* Teman sekelas Kim So Eun sewaktu SD
* Gadis yang membuang kalung milik Kim So Eun


Kim Tae Hee

* Ibu Kim Bum
* Tinggal di Amerika bersama keluarga Kim Bum yang lainnya


Park Shin Hye

* Gadis yang disukai Kim Bum dan akan segera menikah dengan sahabat dekat Kim Bum di New York


Lee Hong Ki (FT Island)

* Sahabat Kim Bum di New York
* Mantan Tunangan Park Shin Hye


Lee Ji Hoon

* Sepupu Jung Yong Hwa
* Orang yang mencelakai Kim Bum


Bae Yong Jun

* Paman Jung Yong Hwa
* Ayah Lee Ji Hoon

Winter Love (Epilog)



Cahaya matahari yang silau membuat mata Kim Bum menyipit ketika menatap anak perempuan yang sedang berjongkok dan mengorek-ngorek tanah bersalju dengan ranting di samping gedung sekolah. Sepertinya anak itu sedang mencari sesuatu. Sesekali ia meniup tangannya yang tidak bersarung tangan. Dan sepertinya ia juga sedang menangis.

Kim Bum menoleh ke belakang. Teman-temannya belum keluar. Tadi mereka bilang mereka tidak akan lama, hanya akan memberikan hadiah ulang tahun kepada guru SD favorit mereka.

Kim Bum tidak terlalu setuju dengan ide itu. Memang benar, guru itu guru favorit mereka semasa SD, tetapi kini mereka sudah menjadi murid SMP. Menurut Kim Bum mereka tidak pantas lagi bersikap sentimental dan kekanak-kanakan seperti itu. Namun teman-temannya tidak mau mendengar alasannya. Ia ikut ke sini karena terpaksa, tetapi ia menolak untuk masuk dan bertemu dengan guru mereka. Menurutnya laki-laki harus bersikap tegas. Biar saja teman-temannya yang masuk. Ia akan menunggu di luar sini sampai mereka kembali. Walaupun di luar sini dingin sekali.

Kim Bum kembali menatap anak perempuan itu. Teman-temannya belum kembali. Daripada melamun saja, mungkin ia bisa membantu anak itu.

Kim Bum membetulkan letak topi Wol Putihnya dan menghampiri anak itu. “Sedang apa?” tanyanya.

Anak perempuan itu mendongak. Matanya menyipit menatap Kim Bum. Dari dekat, Kim Bum menyadari rambut panjang anak itu yang diikat ekor kuda terlihat agak miring dan ada sedikit noda tanah di pipinya yang kemerahan. Kim Bum juga baru tahu anak itu tidak sedang menangis seperti yang diduganya tadi, tetapi anak itu memang hampir menangis. Matanya terlihat berkaca-kaca.

“Sedang apa?” tanya Kim Bum lagi karena anak itu tidak menjawab.

Setelah ragu sejenak, anak perempuan itu bergumam pelan, “Mencari sesuatu.”

“Mencari apa?”

“Kalung.” Lalu anak perempuan itu kembali menunduk dan mengorek-ngorek tanah.

Kalung? Tanpa bertanya lebih jauh, Kim Bum pun ikut mencari. Ia baru mulai berlutut ketika sudut matanya menangkap sesuatu yang berkilau. Ia memungut benda itu dan mengamatinya.

Kalung itu kalung yang sederhana, tetapi indah, dengan liontin berbentuk tulisan “Kim So Eun”.

Nama anak itukah?

“Namamu Kim So Eun?” tanyanya.

Anak itu menoleh ke arahnya. “Ya.” Nada suaranya terdengar ragu-ragu.

Kim Bum tersenyum puas dan mengacungkan kalung yang dipegangnya itu. “Ketemu!”

“Benarkah?” Wajah anak perempuan itu langsung berubah cerah. Ia berlari menghampiri Kim Bum dengan mata berkilat-kilat senang dan pipinya semakin merah.

Kim Bum berdeham dan menyerahkan kalung itu kepadanya. “Jaga baik-baik. Jangan sampai hilang lagi.”

Tepat pada saat itu ia mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dan melihat teman-temannya ternyata sudah keluar dan melambai-lambai ke arahnya. Kim Bum mendesah. Kenapa mereka memilih sekarang untuk keluar? Ia mendesah pelan sekali lagi dan menoleh kembali kepada anak perempuan yang berdiri di depannya. “Aku pergi dulu,” katanya. “Kau juga lebih baik cepat pulang.”

Setelah itu ia pergi bergabung dengan teman-temannya.

* * *

“Baek Suzy, cepat kemari,” Kim So Eun menarik Baek Suzy yang baru datang. “Dan jangan berbalik! Nanti dia melihat kita.”

“Siapa?”

“Kau kenal anak laki-laki di lapangan itu? Tapi kau jangan berbalik. Nanti dia melihat kita.”

Baek Suzy mendelik ke arah saudara perempuannya. “Kalau tidak berbalik bagaimana aku bisa melihat siapa yang kau maksud?”

“Baiklah, baiklah. Tapi pelan-pelan saja. Jangan sampai ketahuan.”

Baek Suzy menoleh diam-diam dan memandang ke arah lapangan.

* * *

“Kau tadi bicara dengan siapa, Kim Bum?” tanya Kim Soo Hyun sambil menoleh ke belakang.

Kim Bum memutar kepala temannya kembali ke depan. “Bukan siapa-siapa. Kenapa kalian cepat sekali?”

“Cepat?” Mata Song Ji Eun melebar terkejut. “Kami pikir kau pasti sudah uring-uringan karena menunggu begitu lama di luar.”

Kim Bum pura-pura tidak mendengar.

“Sekarang kita mau ke mana?” tanya Lee Joo Yeon sambil melirik jam tangan.

Jung Yong Hwa sambil mengusap-usap kepalanya yang hampir botak. “Bagaimana kalau kita pergi makan?” usulnya.

“Kenapa pikiranmu hanya makanan?” omel Song Ji Eun dan menyikut lengan Jung Yong Hwa.

“Memangnya kalian tidak pernah dengar cuaca dingin membuat orang-orang mudah lapar?” tanya Jung Yong Hwa sambil memandang teman-temannya satu per satu. “Apalagi aku.”

Lee Joo Yeon terkikik. “Maksudmu karena ibumu salah memotong rambutmu sampai hampir botak dan sekarang kepalamu kedinginan?”

“Jangan mengingatkanku pada rambut jelek ini,” erang Jung Yong Hwa. “Aduh, kenapa aku lupa bawa topi hari ini?”

Kim Bum melepaskan topinya dan melemparkannya ke arah Jung Yong Hwa. “Pakai ini saja kalau kau malu rambutmu yang jelek itu dilihat orang.”

Teman-temannya tertawa. Sambil bersungut-sungut, Jung Yong Hwa mengenakan topi Wol Putih itu.

* * *

“Sekarang jam pulang sekolah.” kata Baek Suzy. “Di lapangan banyak orang. Anak laki-laki yang mana maksudmu? Beri aku petunjuk.”

“Tadi dia bersama teman-temannya,” gumam Kim So Eun sambil berpikir. Tiba-tiba ia menjentikkan jari. “Dia memakai topi putih. Topi Wol Putih!”

“Topi putih?” Baek Suzy menyipitkan mata dan mencari-cari. “Ah, itu dia. Topi Putih dan... dia bersama teman-temannya. Yang itu? Bukankah mereka kakak kelas kita?”

“Ya, ya, ya,” sahut Kim So Eun cepat tanpa berbalik. “Kau tahu siapa namanya? Anak laki-laki bertopi putih itu?”

Baek Suzy mengangguk. “Itu Jung Yong Hwa.”

“Jung Yong Hwa,” gumam Kim So Eun sambil tersenyum sendiri.

Baek Suzy menyikut saudara perempuannya. “Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin tahu?”

Kim So Eun tersenyum lebar penuh rahasia. “Akan kuceritakan di rumah. Ayo, kita pulang.”


Tamat
Copyright Sweety Qliquers


Chapter 10 ... Chapter 11 ... Chapter 21
Chapter 9 ... Chapter 12 ... Chapter 22
Chapter 8 ... Chapter 13 ... Chapter 23
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
... Chapter 20
Prolog

Winter Love (Chapter 23)



“Kenapa Kim Bum harus mengadakan pamerannya bertepatan dengan Hari Valentine?” desah Yoon Eun Hye ketika ia dan Kim So Eun sedang berdiri di tepi jalan, menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Suaranya terdengar tidak jelas karena hidung dan mulutnya dibenamkan di balik syal tebal yang melilit lehernya. Angin sore ini memang lebih dingin daripada hari-hari sebelumnya.

“Eonni sendiri juga tidak ada acara, kan, malam ini?” Kim So Eun balas bertanya sambil tersenyum.

“Oh, astaga! Haruskah kau mengingatkanku soal itu?” Yoon Eun Hye melotot, lalu mendesah lagi. “Tapi mungkin aku bisa cuci mata sedikit di pameran itu.”

Lampu lalu lintas berubah warna dan mereka menyeberang dengan cepat, lega karena setidaknya mereka kembali bergerak. Berdiri diam begitu saja membuat mereka semakin kedinginan.

“Ngomong-ngomong, Kim Bum benar-benar sudah tidak apa-apa?” Tanya Yoon Eun Hye, sementara mereka berjalan cepat ke arah galeri tempat pameran Kim Bum diadakan. “Maksudku, baru beberapa hari di rumah sakit, dia sudah memaksa minta pulang.”

“Kurasa dia masih sakit di sana-sini, tapi karena dia laki-laki, dia tidak akan mengakuinya,” jawab Kim So Eun. “Segala persiapan sudah dilakukan untuk pameran ini dan para sponsor tidak akan mau menundanya. Kim Bum sendiri juga pasti tidak mau.”

Begitu mereka tiba di galeri dan menitipkan jaket, Yoon Eun Hye memandang berkeliling dan bergumam, “Wah, banyak juga yang datang. Baiklah, Kim So Eun, sampai juga lagi nanti. Aku harus beredar dulu.”

Kim So Eun mengangkat alis tidak mengerti.

Yoon Eun Hye tersenyum. “Cuci mata,” katanya. “Cuci mata.”

Setelah ditinggal Yoon Eun Hye, Kim So Eun masuk ke ruangan pameran dan mencari-cari Kim Bum. Tidak ada. Kim Bum tidak terlihat. Mungkin sedang sibuk. Ini kan pamerannya.

Pasti banyak orang yang ingin berbicara dengannya. Sambil mendesah pelan, Kim So Eun memutuskan untuk melihat-lihat sendiri dulu.

Tempat ini cukup ramai. Ternyata banyak orang yang tertarik dengan hasil karya Kim Bum. Beberapa orang wartawan juga terlihat. Kim So Eun jadi bertanya-tanya apakah Kim Bum memang sehebat itu? Apakah Kim Bum memang terkenal seperti yang pernah dikatakan Yoon Eun Hye?

Kalau dilihat dari foto-foto yang tergantung di dinding itu, Kim Bum memang hebat.

Bagaimana Kim Bum bisa memotret sesuatu yang begitu biasa dan membuatnya begitu luar biasa? Misalnya foto hitam-putih yang menampilkan tangan seseorang yang terangkat ke arah matahari, seolah-olah ingin menggapai matahari. Entah bagaimana cara Kim Bum memotretnya, tetapi sinar matahari yang menyelinap di antara celah jemari itu terlihat sangat indah dan berkilau.

Kim So Eun terus bergerak dari satu foto ke foto lain, terus berhenti di setiap foto untuk memandanginya dan terus terkagum-kagum. Ia memang tidak mengerti fotografi, tetapi ia tahu foto bagus. Dan Kim Bum sudah jelas memang sangat berbakat seperti yang dikatakan Yoon Eun Hye.

Tiba-tiba sebuah foto menarik perhatiannya. Kim So Eun mengerjap dan menahan napas.

Foto yang tergantung di depannya adalah foto seorang wanita berjaket hijau yang berdiri di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang di jalan raya. Wanita yang menjadi objek utama dalam foto itu berdiri membelakangi kamera. Selain warna hijau dari jaket yang dikenakan wanita itu, segala sesuatu di sekitarnya, termasuk juga kerumunan orang yang berlalu-lalang berwarna hitam-putih dan terlihat kabur, seolah-olah dunia di sekeliling wanita itu memudar di mata sang fotografer.

“Kau sudah datang?”

Sebuah suara pelan menyentakkan Kim So Eun dan ia langsung berputar. “Kim Bum.”

Matanya melebar dan seulas senyum tersungging di bibirnya begitu melihat Kim Bum.

Kim Bum berdiri di sampingnya.

* * *

Sebenarnya Kim Bum sudah melihat Kim So Eun sejak gadis itu memasuki ruangan pameran.

Saat itu ia sedang berbicara dengan beberapa orang penting, sehingga ia tidak bisa langsung menemui gadis itu. Begitu ia bisa menyelinap keluar dari pembicaraan, ia langsung menghampiri Kim So Eun.

“Kau sudah datang?” sapanya.

Kim So Eun berputar dan tersenyum lebar. “Kim Bum.”

Kim Bum balas tersenyum, lalu kembali memandang foto yang tadi sedang diperhatiakn Kim So Eun. “Kau ingat hari itu?” tanyanya.

“Apa?” Kim So Eun tidak mengerti.

Kim Bum menggerakkan dagunya ke arah foto. “Hari ketigaku di Seoul. Kau menemaniku ke Syracuse Street untuk melihat-lihat. Hari itu kau mengenakan jaket hijau.”

Kim So Eun mengerutkan kening, masih tidak mengerti. Lalu perlahan-lahan kerutan di keningnya menghilang dan ia kembali menatap foto yang tergantung di depannya.

“Perempatan Syracuse Street selalu ramai dan saat itu kau hampir jatuh karena ditabrak dari segala arah.” Kim Bum tertawa pelan.

“Itu... Itu karena kau tiba-tiba menghilang,” protes Kim So Eun. “Aku sedang mencarimu. Kukira kau... Maksudku, kau bisa saja tersesat di antara begitu banyak orang.”

“Saat itu aku ada di belakangmu. Aku bisa melihatmu,” kata Kim Bum. “Aku selalu melihatmu.”

Mata Kim So Eun terpaku pada foto itu. “Jadi... itu aku?” tanyanya tidak percaya.

Kim Bum mengangguk. “Aku tahu kau tidak suka difoto, tapi menurutku foto ini sangat bagus untuk pameran. Jadi...”

“Tidak apa-apa,” sahut Kim So Eun sambil tersenyum. “Foto ini memang sangat bagus. Foto-foto yang lain juga.”

Senyum Kim Bum melebar. “Terima kasih.”

Mereka masih berdiri di depan foto itu dan Kim Bum teringat beberapa jam yang lalu ketika Jung Yong Hwa datang ke sini. Jung Yong Hwa juga berdiri di depan foto yang sama dan memandanginya sambil tersenyum kecil.

“Kukatakan padanya bahwa aku ingin melindunginya,” gumam Jung Yong Hwa saat itu.

Alis Kim Bum terangkat dan ia menoleh. “Apa?”

Jung Yong Hwa menggerakkan kepalanya ke arah foto. “Wanita itu. Kukatakan padanya bahwa aku berharap akulah yang melindunginya saat itu.”

Kim Bum langsung tahu mereka sedang membicarakan Kim So Eun. Dan apa kata Jung Yong Hwa tadi? Apakah Jung Yong Hwa sudah menyatakan perasaannya? Tiba-tiba saja Kim Bum merasa tegang dan ia menahan napas.

“Begitukah?” gumam Kim Bum, berharap Jung Yong Hwa meneruskan kata-katanya.

Tetapi Jung Yong Hwa menghela napas panjang dan melirik jam tangannya. “Aku harus kembali ke rumah sakit,” gumamnya. Lalu ia berbalik dan mengulurkan tangan ke arah Kim Bum. “Nah, semoga berhasil, Kim Bum, walaupun aku yakin kau akan berhasil karena karyamu sangat bagus.”

Kim Bum menjabat tangan yang terulur itu dan mengucapkan terima kasih. Ia sangat ingin bertanya kepada Jung Yong Hwa tentang apa yang dikatakannya tadi, tetapi tidak tahu bagaimana harus menanyakannya. Jadi sampai sekarang Kim Bum masih tidak tenang.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah Kim So Eun yang kini berdiri di sampingnya. Jung Yong Hwa sudah meyatakan perasaannya kepada Kim So Eun. Apakah Kim Bum sudah terlambat? Tidak mungkin. Tidak mungkin...

“Ngomong-ngomong,” kata Kim So Eun tanpa mengalihkan matanya dari foto-foto yang terpajang, “apakah Jung Yong Hwa sudah datang ke sini?”

Kenapa gadis itu tiba-tiba bertanya soal Jung Yong Hwa? “Tadi sudah ke sini,” sahut Kim Bum setengah melamun.

Kim So Eun menatapnya dan tersenyum lebar. “Oh, ya? Bagaimana tanggapannya tentang pameran ini?”

Gadis itu masih menyukai Jung Yong Hwa. Itulah yang dipikirkan Kim Bum begitu ia melihat wajah Kim So Eun yang berseri-seri. Saat itu juga ia mendadak merasa tidak bersemangat.

Gadis itu masih menyukai Jung Yong Hwa. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?

Ketika Kim So Eun menoleh ke arahnya dengan tatapan heran, barulah ia menyadari ia sudah mengucapkan apa yang dipikirkannya tadi.

* * *

Kim So Eun mengira ia salah dengar. “Apa?”

Kim Bum tidak langsung menjawab. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan ekspresi bingung dan murung. Setelah terdiam beberapa saat, Kim Bum menghela napas panjang, menjejalkan kedua tangan di saku celana, dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?”

Untuk sesaat Kim So Eun tidak bisa menemukan suaranya. Ia hanya bisa menatap Kim Bum tanpa berkedip. Napasnya tertahan dan jantungnya mulai berdebar keras.

“Sebenarnya aku sudah pernah bertanya kepadamu,” lanjut Kim Bum sambil tersenyum kecil. “Tapi kau belum menjawabku.”

Oh, ya. Kim So Eun ingat. Kim So Eun mengingatnya dengan jelas, seolah-olah semuanya baru terjadi kemarin. Hari Natal. Stasiun kereta. Ia baru akan naik kereta yang akan membawanya ke Incheon ketika Kim Bum menghentikannya dan menanyakan pertanyaan itu. Apakah kau bisa melupakan Jung Yong Hwa... dan mulai benar-benar melihatku?

“Aku tahu saat itu bukan saat yang tepat,” kata Kim Bum, lalu tertawa kecil. Ia memandang ke sekeliling ruangan pameran yang dipenuhi orang-orang. “Sebenarnya sekarang juga bukan waktu yang tepat. Tempatnya juga tidak tepat. Tapi kurasa aku harus mengatakannya sekarang juga.”

Kim So Eun bahkan tidak menyadari ada orang di sekeliling mereka. Ia tidak bisa melihat apa-apa selain Kim Bum. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain suara Kim Bum. Ia masih belum bisa bernapas dengan normal karena terlalu takjub dan ia masih menahan napas menunggu apa yang akan dikatakan Kim Bum selanjutnya.

Mata Kim Bum yang gelap menatap matanya lurus-lurus dan Kim So Eun hampir yakin ia melihat bayangannya sendiri terpantul di sana.

Kim Bum menarik napas dan berkata dengan nada rendah namun mantap, “Aku menyukaimu, Kim So Eun.” Lalu ia menggeleng pelan. Matanya masih terpaku pada mata Kim So Eun. “Tidak. Kurasa yang benar adalah aku mencintaimu.”

Dunia pun berhenti. Setidaknya Kim So Eun merasa dunianya berhenti berputar tepat pada saat itu. Seluruh jagat raya berhenti. Tidak ada suara yang terdengar selain gema yang tersisa dari kata-kata Kim Bum tadi.

“Apa yang harus kulakukan agar kau bisa menerimaku?” Suara Kim Bum yang lirih dan dalam terdengar lagi.

Tidak ada, batin Kim So Eun. Tidak ada...

Gemuruh tepuk tangan terdengar menembus kabut yang menyelimuti kepala Kim So Eun. Ia mengerjap dan memandang berkeliling. Para pengunjung pameran bertepuk tangan dan menatap Kim Bum sambil tersenyum lebar.

Kim So Eun baru menyadari rupanya saat itu Kim Bum diminta maju ke depan untuk memberikan sedikit kata sambutan dan menjawab pertanyaan dari wartawan. Seorang wanita yang memegang mikrofon dan yang terlihat seperti salah satu orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan acara melambai ke arah Kim Bum.

“Kim Bum, sepertinya dia memanggilmu,” gumam Kim So Eun.

Kim Bum menunduk, menghembuskan napas dengan berat. “Pada saat seperti ini...,” gerutunya pelan. Namun ia dengan cepat mengangkat kepala, menegakkan bahu, dan berbalik. Seulas senyum lebar sudah tersungging di bibirnya ketika ia berjalan. Langkahnya masih agak timpang ke arah si wanita yang memegang mikrofon, diiringi tepuk tangan semua orang.

“Sudah kubilang dia hebat,” kata Yoon Eun Hye yang tiba-tiba sudah berdiri di samping kanan Kim So Eun.

“Aku tahu,” timpal Lee Ki Kwang yang berdiri di samping kiri Kim So Eun. “Aku hanya tidak menyangka dia terkenal seperti ini.”

Kim So Eun menoleh dan menatap kedua kakak-beradik itu bergantian. “Oh, Eonni... Lee Ki Kwang...”

Yoon Eun Hye menyiku pelan lengan Kim So Eun. “Dia keren sekali, bukan?”

Kim So Eun menatap Kim Bum yang berbicara dengan lancar di depan, menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang masalah teknis dan foto-fotonya. “Ya,” gumamnya sambil tersenyum. “Memang.”

Salah seorang wartawan menanyakan sesuatu. “Anda sudah sangat sukses di Amerika Serikat. Apa yang membuat Anda kembali ke Korea?”

Kim Bum tersenyum. “Saya hanya butuh perubahan suasana. Mencari inspirasi.”

“Sepertinya Anda memang sudah berhasil mendapatkan inspirasi kalau melihat hasil karya Anda yang mengagumkan ini,” puji si wartawan.

Kim Bum berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Ya.”

Alis si wartawan terangkat dan ia memperbaiki letak kacamatanya. Ada sesuatu dalam satu patah kata sederhana itu yang menggelitik rasa ingin tahunya. Memang hanya wartawan yang memiliki naluri tajam seperti itu. “Maaf, apakah sumber inspirasi Anda itu... seorang wanita?”

“Ya,” jawab Kim Bum sambil tersenyum.

Yoon Eun Hye melirik Kim So Eun dan berbisik, “Ya, kita semua tahu siapa wanita itu. Bukankah begitu?”

Kim So Eun pura-pura bodoh dan tidak menjawab sementara Lee Ki Kwang tertawa pelan.

“Ceritakanlah sedikit tentang sumber inspirasi Anda itu,” pinta si wartawan yang didukung oleh wartawan-wartawan lain. “Apa yang sudah dilakukannya sampai bisa membuat Anda terinspirasi?”

Saat itu mata Kim Bum bertemu dengan mata Kim So Eun dari seberang ruangan. Kim So Eun langsung menahan napas dan berharap debar jantungnya yang keras tidak terdengar oleh orang-orang yang berdiri di dekatnya.

“Dia tidak melakukan apa-apa,” sahut Kim Bum sambil tersenyum.

“Tidak?” tanya si wartawan tidak percaya.

“Tidak,” Kim Bum menegaskan. “Dia juga tidak perlu melakukan apa-apa. Yang paling penting adalah kenyataan bahwa dia ada dan saya bisa melihatnya.”

“Ya, Tuhan. Ini menegangkan sekali,” bisik Yoon Eun Hye dengan nada mendesak sambil mencengkeram lengan Kim So Eun. Itu bagus juga, karena Kim So Eun merasa kakinya mulai goyah.

“Maksud Anda?” tanya wartawan yang mulai bersemangat. Hubungan pribadi memang selalu menarik untuk dikupas, apalagi hubungan pribadi orang terkenal.

“Yang harus saya lakukan hanyalah melihatnya. Hanya melihatnya,” sahut Kim Bum dan kembali memandang ke arah Kim So Eun, “dan saya akan merasa saya bisa menghadapi segalanya.”

Bernapaslah, pinta Kim So Eun pada diri sendiri. Ia harus bernapas. Kalau tidak ia akan segera pingsan.

Para wartawan berebut mengajukan pertanyaan, tetapi tidak ada yang terdengar jelas karena suara-suara saling tumpang-tindih.

“Saya hanya berharap...” Suara Kim Bum membuat ruangan itu hening. Semua perhatian terpusat kepada sosok Kim Bum dan kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Mata Kim Bum sendiri tetap terpaku pada Kim So Eun. “Saya hanya berharap dia bisa melihat saya.”

Kim So Eun masih tidak bisa mengalihkan matanya dari Kim Bum. Ia tidak bisa mendengar apa-apa selain debar jantungnya sendiri. Tetapi mungkin juga suasana saat itu memang hening. Kim So Eun tidak tahu dan tidak peduli. Ia merasa seolah-olah sedang melayang. Apakah ia sedang bermimpi?

“Hanya itu yang bisa saya katakan.” Kim Bum memecah keheningan. “Terima kasih.”

Suasana kembali riuh dan para wartawan berlomba-lomba ingin bertanya lebih jauh. Tetapi kali ini Kim Bum hanya tersenyum lebar, membungkukkan badan, dan menyerahkan mikrofon kepada si penyelenggara acara, menandakan wawancara sudah selesai. Wanita itu buru-buru mengambil alih situasi, dengan ringkas dan efisien menjawab serta mengalihkan pertanyaan-pertanyaan wawancara kepada masalah yang tidak bersifat pribadi.

“O-oh. Dia ke sini,” kata Yoon Eun Hye ketika Kim Bum keluar dari kerumunan wartawan dan berjalan ke arah mereka. “Lee Ki Kwang, ayo kita pergi.”

“Kenapa?” tanya Lee Ki Kwang sambil mengerutkan kening, sama sekali tidak mengerti maksud kakaknya. “Aku baru datang dan aku belum bertemu dengan Kim Bum Hyung. Aku harus memberikan selamat kepadanya.”

Yoon Eun Hye melotot dan menarik lengan adiknya. “Nanti saja. Sekarang kita harus menyingkir dari sini.”

Kim So Eun hanya bisa menatap kedua kakak-beradik itu berjalan pergi. Lee Ki Kwang masih sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum. KetikaKim So Eun berbalik kembali, Kim Bum sudah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.

Sesaat mereka hanya berpandangan. Kim So Eun tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia bahkan belum bisa bernapas dengan normal dan debar jantungnya belum mereda. Perasaannya masih melayang-layang.

Tiba-tiba Kim So Eun mendapati dirinya bertanya, “Kalau ingatanmu saat ini masih belum kembali, apakah kau akan mengatakan hal yang sama seperti yang kaukatakan tadi?”

Pertanyaan itu membuat Kim Bum agak kaget, tetapi ia tidak membutuhkan waktu lama untuk menjawab. “Sejak sebelum aku hilang ingatan aku sudah menyukaimu. Ketika aku tidak mengingat apa-apa, aku kembali jatuh cinta padamu,” gumamnya yakin. Ia terdiam sejenak, menatap mata Kim So Eun lurus-lurus dan melanjutkan, “Jadi, ya, aku akan tetap mengatakan hal yang sama walaupun seandainya ingatanku belum kembali.”

Mata Kim So Eun terasa panas dan ia menunduk.

“Kim So Eun.” Kim Bum menghela napas sejenak, lalu melanjutkan, “Aku tahu kau menyukai Jung Yong Hwa walaupun dia sama sekali tidak seperti yang kaukira. Dan… aku tidak percaya aku akan mengatakan ini…aku tahu dia menyukaimu. Bukankah dia juga sudah bilang padamu dia ingin melindungimu atau semacamnya? Tapi katakana padaku, apa yang harus kulakukan supaya kau bisa menerimaku. Atau setidaknya memberiku kesempatan. Aku...”

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa,” sela Kim So Eun.

“Aku... Apa?”

“Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Kim Bum,” kata Kim So Eun sekali lagi sambil berusaha mengatur napas dan debar jantungnya, “karena aku memang sudah melihatmu.”

Alis Kim Bum terangkat. Ketegangan yang sejak tadi terlihat di wajahnya mulai menguap. “Kau sudah...? Lalu Jung Yong Hwa?”

Kim So Eun menunduk. “Sudah kukatakan padanya,” gumamnya pelan.

Seulas senyum tersungging di bibir Kim Bum. “Lalu kini kau kembali padaku?”

Kim So Eun berdeham, agak salah tingkah, lalu balik bertanya, “Apakah kau harus bertanya terus? Atau kau ingin aku menerima Jung Yong Hwa?”

“Tentu saja tidak,” sahut Kim Bum cepat. Wajahnya pun berubah cerah. Ia menghembuskan napas dengan lega. “Kim So Eun...”

Tepat pada saat itu tiba-tiba Song Seung Hun muncul dan menepuk punggung Kim Bum dengan keras. “Foto-fotomu hebat, Kim Bum. Selamat,” katanya riang, dan menoleh ke arah Kim So Eun. “Oh, ada Kim So Eun rupanya. Apa kabar?”

Kim So Eun buru-buru membungkuk memberi salam.

“Paman?” Kim Bum mengerjap bingung, seolah ia memerlukan waktu satu-dua detik sebelum menyadari bahwa orang yang berdiri di sampingnya adalah pamannya.

“Paman baru datang?”

“Maaf, aku datang terlambat,” kata pamannya tanpa merasa bersalah. “Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kita pergi makan malam untuk merayakan keberhasilanmu setelah acara ini selesai? Tentu saja Kim So Eun juga harus ikut.”

Kim So Eun cepat-cepat menggeleng. “Tidak, tidak. Paman dan Kim Bum saja yang pergi. Aku...”

Kata-katanya terhenti ketika ia merasakan tangan Kim Bum menggenggam tangannya dan menariknya mendekat. Ia bisa melihat alis paman Kim Bum terangkat heran, lalu senyum kecil mulai terlihat di wajah pria yang lebih tua itu. Kim So Eun merasa pipinya memanas dan ia hampir tidak berani mengangkat wajah.

“Bagaimana kalau kita rayakan lain kali, Paman?” tanya Kim Bum dengan nada meminta maaf. “Hari ini kami punya rencana lain.”

Song Seung Hun menatap mereka berdua, lalu mengangguk-angguk. “Ah, rupanya sudah berhasil.”

* * *

“Kim Bum, kita akan ke mana?” tanya Kim So Eun ketika mereka sudah berada di dalam mobil Kim Bum yang melaju di jalan.

“Karena kau sudah memberiku cokelat,” sahut Kim Bum sambil menepuk kantong kain berisi cokelat buatan Kim So Eun yang diletakkan di dasbor, “aku juga harus menepati janjiku.”

“Janji apa?”

Kim Bum menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Bukankah kau pernah memintaku mengajakmu ke restoran favoritmu itu lagi pada Hari Valentine?”

“Ah, benar!” seru Kim So Eun gembira, baru teringat soal janji itu. “Kim Bum, ternyata kau masih ingat. Jadi kita akan makan malam di sana?”

Kim Bum mengangguk.

“Kau membawa kartu diskonmu?” tanya Kim So Eun.

Kim Bum tertegun. “Kartu diskon?”

“Ya, kartu diskon yang kaubilang hanya bisa dipakai pada hari-hari tertentu,” kata Kim So Eun.

Kim Bum berdeham. “Eh, soal kartu diskon itu...”

“Ya?”

“Sebenarnya tidak ada kartu diskon.”

Kim So Eun tidak mengerti. “Tidak ada? Maksudmu, kau lupa membawanya?”

“Bukan. Aku tidak pernah punya kartu diskon itu.” Melihat Kim So Eun yang kebingungan, Kim Bum cepat-cepat menambahkan, “Sebenarnya itu restoran pamanku, jadi aku selalu mendapatkan diskon khusus kalau aku makan di sana.”

“Oh, begitu?” gumam Kim So Eun heran. “Tapi kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya waktu itu?”

Kim Bum mengangkat bahu. Kalau dipikir-pikir, ia juga tidak mengerti kenapa ia harus berbohong saat itu. “Entahlah,” jawabnya. “Kurasa aku tidak ingin dianggap memamerkan diri.”

“Kau tidak pernah memamerkan diri,” kata Kim So Eun sambil menepuk pundak Kim Bum. “Malah kau salah satu orang paling rendah hati yang pernah kukenal.”

“Karena itu kau menyukaiku?” gurau Kim Bum.

Kim So Eun meringis, lalu tertawa kecil. “Kurasa begitu.”

Kim Bum menggenggam erat tangan Kim So Eun. “Terima kasih, Kim So Eun,” gumamnya pelan. “Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan. Terima kasih karena sudah ada di sini bersamaku.”

Kim So Eun tersenyum menatap laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu, lalu menatap tangannya yang hampir tak terlihat dalam genggaman Kim Bum. Hatinya terasa hangat. Ringan. Bahagia. Ia suka apabila Kim Bum menggenggam tangannya seperti itu, membuatnya merasa laki-laki itu akan selalu bersamanya.

“Ngomong-ngomong, Kim Bum, kenapa kau tadi bilang Jung Yong Hwa tidak seperti yang kukira?” tanya Kim So Eun tiba-tiba. “Ah, dulu sewaktu kau mengantarku ke stasiun kereta, kau juga bilang ada sesuatu yang ingin kaukatakan kepadaku. Sesuatu tentang ingatan masa kecilku. Kau ingat?”

“Oh, itu...” Kim Bum tersenyum penuh misteri.

“Aku sangat penasaran,” kata Kim So Eun. Ia mengubah posisi duduknya dan menghadap Kim Bum. “Sebenarnya apa yang ingin kaukatakan?”

“Tentang cinta pertamamu. Anak laki-laki yang membantu mencarikan kalungmu yang hilang itu...”

“Jung Yong Hwa.”

Kim Bum menggeleng. “Bagaimana kalau anak laki-laki itu bukan Jung Yong Hwa?”

“Apa?”

“Bagaimana kalau kukatakan padamu anak laki-laki itu bukan Jung Yong Hwa?”

Mata Kim So Eun terbelalak. “Bagaimana mungkin? Baek Suzy yang bilang padaku nama anak itu Jung Yong Hwa. Baek Suzy kenal banyak orang dan dia tidak mungkin salah.”

“Tapi Jung Yong Hwa tidak mengingatmu, bukan? Tidak ingat pernah bertemu denganmu, atau membantumu mencari kalung, atau semacamnya?”

“Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Orang-orang bisa saja melupakan beberapa hal pada masa kecilnya,” protes Kim So Eun. “Lagi pula, bagaimana kau bisa begitu yakin anak itu bukan Jung Yong Hwa?”

Kim Bum menatap Kim So Eun sekilas sebelum kembali menatap jalanan di depan. Ia tersenyum. “Karena akulah anak itu.”

Kali ini Kim So Eun terbelalak. “Apa?” Suaranya juga melengking.

“Aku ingat pernah melihat seorang anak perempuan kecil yang sedang berjongkok di samping gedung sekolah menangis tersedu-sedu mencari kalungnya yang hilang,” kata Kim Bum.

“Aku tidak menangis tersedu-sedu,” bantah Kim So Eun.

Kim Bum mengabaikannya. “Waktu itu kau tidak memakai sarung tangan. Kau terus meniup-niup tanganmu. Aku ingat itu karena aku bermaksud meminjamkan sarung tanganku kepadamu. Hanya saja hari itu aku juga tidak membawa sarung tangan.”

Kim So Eun terdiam dan menatap Kim Bum tanpa berkedip.

“Aku masih ingat, Kim So Eun. Sungguh. Semuanya tersimpan di kepalaku seperti foto,” kata Kim Bum sambil mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk.

“Tapi ini benar-benar sulit dipercaya,” kata Kim So Eun. “Apakah itu benar-benar kau, Kim Bum?”

“Begitulah kenyataannya.”

Kim So Eun mengerutkan kening dengan bingung. “Tapi bagaimana mungkin Baek Suzy salah mengenali orang?”

Kim Bum mengangkat bahu. “Entahlah. Yang kutahu adalah cinta pertamamu sudah pasti bukan Jung Yong Hwa,” katanya sambil menatap Kim So Eun, “tapi Kim Bum.”

Sejenak Kim So Eun masih berpikir. Akhirnya ia tersenyum. “Akan kuingat itu,” katanya, lalu memandang ke luar jendela dan melihat butiran salju tipis melayang turun. “Wah, salju mulai turun lagi.”

Bersambung…


Chapter 10 ... Chapter 11 ... Chapter 21
Chapter 9 ... Chapter 12 ... Chapter 22
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
... Chapter 20
Prolog

Winter Love (Chapter 22)



Putih. Hanya itu yang dilihatnya ketika ia membuka mata. Setelah mengerjap beberapa kali, Kim Bum baru sadar yang dilihatnya adalah langit-langit kamar. Kelopak matanya terasa berat, pandangannya masih agak kabur, kepalanya sakit. Di mana dia?

Di rumah sakit? Apa yang...?

Ah, ia ingat. Perkelahian itu. Lee Ji Hoon kembali menyerangnya. Dan Kim So Eun. Di mana gadis itu? Apakah ia baik-baik saja?

“Kau sudah sadar?”

Kim Bum menggerakkan kepalanya ke arah suara. Wajah Song Seung Hun terlihat di samping tempat tidurnya. “Paman?” gumamnya serak.

“Aku senang kau masih mengingatku.” Song Seung Hun tersenyum lega. “Kurasa kau juga sadar bahwa kau berada di rumah sakit.”

“Kim So Eun?” tanya Kim Bum dan berusaha bangkit.

“Tunggu, tunggu,” cegah pamannya dan menahan bahu Kim Bum. “Pelan-pelan saja.”

Kim Bum duduk dibantu pamannya. “Di mana Kim So Eun? Bagaimana keadaannya?”

“Kim So Eun?” kata Song Seung Hun bingung. “Maksudmu gadis yang dibawa ke sini bersamamu itu? Dia baik-baik saja.”

“Di mana dia sekarang?”

“Tadi dia di sini. Perawat baru saja membujuknya kembali ke kamarnya sendiri. Dia harus banyak istirahat,” sahut pamannya ringan. Melihat sorot mata Kim Bum yang tiba-tiba cemas, ia cepat-cepat menambahkan, “Percayalah. Dia tidak apa-apa. Kata dokter dia sudah boleh pulang besok. Sedangkan kau harus tinggal di rumah sakit beberapa hari lagi.”

Merasa tenang mendengar Kim So Eun baik-baik saja, Kim Bum menghembuskan napas perlahan dan tersenyum. Kemudian ia tertegun dan menatap pamannya. “Paman, sudah berapa lama aku di sini?”

Pamannya tersenyum lebar. “Tidak selama yang waktu itu. Kau hanya pingsan beberapa jam. Hebat, kan? Apakah mungkin itu berarti kau sudah kebal dihajar?”

Kim Bum tertawa, dan langsung meringis ketika wajahnya terasa sakit. Ia melirik jam dinding. Belum tengah malam.

“Kenapa Paman masih ada di sini?” tanyanya heran. “Bukankah jam besuk sudah lewat?”

“Tentu saja sudah lewat,” balas pamannya sambil tertawa. “Tapi aku membujuk perawat memperpanjang waktu kunjunganku. Perawat di sini baik-baik.”

Kim Bum tertawa kecil, ingat pamannya bisa sangat mempesona kalau keadaan mengharuskan.

“Untunglah kau segera sadar,” Song Seung Hun menambahkan. “Kalau tidak, aku harus menelepon ibumu dan mengabarkan bahwa kau dikeroyok lagi. Ibumu pasti akan langsung terbang ke sini dan menyeretmu kembali ke New York tanpa banyak bicara.”

Kim Bum meringis. “Tapi Paman belum menelepon Ibu?”

“Kupikir, untuk apa membuat ibumu khawatir sebelum kita tahu hasil yang pasti? Bagaimanapun juga, sekarang kau sudah sadar dan sepertinya kau sangat baik.”

“Ya, tapi badanku sakit semua.” Kim Bum terdiam sejenak, lalu berkata, “Orang-orang itu...”

“Polisi sudah menahan orang-orang yang menyerangmu itu,” sela Song Seung Hun. Nada suaranya berubah serius. “Mereka juga yang menyerangmu pada Hari Natal waktu itu.”

Kim Bum mengangguk.

“Aku tidak ingin kau merisaukan masalah ini...” Pamannya tersenyum menenangkan. “Aku sudah menghubungi pengacaraku dan dia yang akan mengurus semuanya. Yang perlu kaulakukan sekarang hanyalah mengurus dirimu sendiri. Setelah merasa cukup sehat, kau harus memberikan pernyataan kepada polisi.”

Kim Bum mengangguk lagi. “Bagaimana dengan Kim So Eun?”

“Kurasa polisi sudah berbicara padanya.”

Kening Kim Bum berkerut samar. Ia tidak suka Kim So Eun harus menghadapi polisi sendirian.

Seolah-olah bisa membaca pikiran Kim Bum, Song Seung Hun berkata pelan, “Kau tidak perlu khawatir. Aku meminta pengacaraku menemaninya saat itu.”

Kim Bum menarik napas panjang. “Terima kasih, Paman.”

“Gadis itu... Kim So Eun,” Suara pamannya terdengar agak ragu, “... dia gadis yang kubilang mirip Baek Suzy.”

Kim Bum menatap pamannya dengan pandangan bertanya.

“Dia gadis yang pergi ke pertunjukan balet bersamamu pada malam Natal itu,” kata Song Seung Hun.

Kim Bum tersenyum. “Ya. Dia saudara perempuan Baek Suzy. Wajah mereka sangat mirip kan? Hampir terlihat seperti saudara kembar.”

Alis Song Seung Hun terangkat. “Benarkah?”

Kim Bum memejamkan mata, namun ia masih tetap tersenyum. “Dia tidak bercita-cita menjadi model. Dia senang bekerja di perpustakaan, suka membaca buku, suka mengomel dalam bahasa Jepang, dan suka menonton balet. Pikirannya juga suka melantur ke mana-mana. Dia takut gelap dan tidak bisa memasang bola lampu...”

“Dan kau menyukainya,” gumam Song Seung Hun pelan sambil tersenyum mengerti.

Kim Bum menatap pamannya. “Apa?”

Song Seung Hun menggerakkan dagunya ke arah meja kecil di samping tempat tidur. “Aku sudah melihat itu.”

Kim Bum menoleh ke arah yang ditunjuk dan melihat amplop besar. “Apa itu?”

Song Seung Hun meraih amplop itu dan menyerahkannya kepada Kim Bum.

“Mereka menemukan ini di balik swetermu. Amplopnya yang lama sudah basah dan robek, tapi foto-fotonya masih bisa diselamatkan.”

Kim Bum tersenyum memandangi foto-foto yang diberikan Park Shin Hye kepadanya. Foto-foto yang diambilnya ketika ia baru saja tiba di Seoul, termasuk foto-foto Kim So Eun.

“Dan ini Kim So Eun-mu, bukan?” tanya Song Seung Hun sambil menunjuk salah satu foto. “Kau tidak akan memotret seperti itu kalau kau tidak menyukainya.”

* * *

Beberapa jam setelah pamannya pulang, Kim Bum masih terjaga di ranjangnya.

Tubuhnya memang terasa lemah, tetapi ia sangat sadar, otaknya terang benderang, dan ia tidak bisa tidur.

Mungkin sebaiknya ia pergi melihat Kim So Eun. Memastikan gadis itu memang baik-baik saja.

Kim Bum turun dari ranjang dengan perlahan, meringis sedikit ketika kakinya menginjak lantai dan harus menopang tubuhnya. Ia berjalan tertatih-tatih ke pintu, membukanya, dan melongokkan kepala ke luar. Tidak ada siapa-siapa di koridor yang diterangi lampu itu. Kamar Kim So Eun tidak jauh dari kamar Kim Bum sendiri. Ia sudah bertanya kepada pamannya tadi, jadi ia tidak akan kesulitan menemukan kamar Kim So Eun.

Kamar Kim So Eun memang tidak jauh, tetapi Kim Bum membutuhkan waktu lima belas menit untuk berjalan ke sana. Tentu saja karena ia sesekali harus berhenti sejenak untuk menarik napas atau mengistirahatkan ototnya yang sakit. Menjadi orang lemah dan sakit memang menyebalkan.

Perlahan-lahan dan tanpa suara Kim Bum membuka pintu kamar Kim So Eun. Di kamar yang diterangi lampu kecil di meja sudut, Kim Bum melihat Kim So Eun terbaring pulas di ranjang. Gadis itu berbaring menyamping, sebelah pipinya disandarkan ke bantal, dan selimut ditarik sampai ke dagu.

Kim Bum berjingkat-jingkat menghampiri ranjang. Ia berhenti di samping ranjang dan memandangi gadis yang terlelap itu.

Sepertinya tidak ada luka, pikir Kim Bum setelah menatap wajah Kim So Eun dengan saksama. Ia baik-baik saja. Syukurlah.

Kim Bum duduk di kursi di samping ranjang. Ia menarik napas dan menghembuskannya pelan. Kini ia bisa bernapas lebih mudah. Kegelisahan yang tanpa sadar dirasakannya sejak tadi mulai menguap dari tubuhnya. Ia merasa lega. Ya, semuanya akan baik-baik saja.

Ia berkata pada diri sendiri bahwa ia hanya akan duduk di sana sebentar. Hanya sebentar. Namun kenapa waktu terasa begitu cepat berlalu, walaupun ia hanya duduk di sana tanpa melakukan apa-apa selain memandangi wajah Kim So Eun yang sedang tidur?

* * *

Tadinya Jung Yong Hwa bermaksud mampir ke kamar Kim So Eun dan melihat keadaan gadis itu.

Walaupun Kim So Eun dibawa ke rumah sakit dalam keadaan pingsan, tidak lama kemudian gadis itu sadar dan langsung menanyakan keadaan Kim Bum.

“Kim Bum tidak apa-apa,” hibur Jung Yong Hwa saat itu. “Dia memang belum sadarkan diri, tapi keadaannya sudah stabil. Dia pasti bisa bertahan. Jangan khawatir.”

Kim So Eun masih terlihat cemas, tetapi ia tersenyum kecil. “Aku tahu,” gumamnya. Lalu ia mendongak menatap Jung Yong Hwa. “Boleh aku melihatnya?”

Jung Yong Hwa mengantarnya ke kamar rawat Kim Bum. Saat itu paman Kim Bum ada di sana, jadi Jung Yong Hwa memperkenalkan mereka berdua.

“Kukira semua keluarga Kim Bum sudah pindah ke New York,” kata Kim So Eun setelah memberi hormat kepada pria yang lebih tua itu dan acara perkenalan berlalu.

Song Seung Hun tersenyum. “Rupanya dia tidak pernah bercerita tentang aku?”

“Oh, aku tidak bermaksud...”

“Tidak apa-apa. Sudah kuduga pasti begitu,” sela paman Kim Bum ringan.

Kim So Eun beralih menatap Kim Bum yang terbaring di ranjang. Kepala dan kaki kiri Kim Bum dibebat.

“Keadaannya stabil,” gumam Song Seung Hun, menjawab pertanyaan Kim So Eun yang tidak diucapkan. “Dia baik-baik saja.”

Kim So Eun mengangguk.

“Kalau tidak keberatan, maukah kau menemaninya sebentar?” tanya Song Seung Hun. “Aku harus menelepon seseorang.”

Tentu saja Kim So Eun tidak keberatan. Tapi setelah menyatakan kesediaannya, ia baru berpaling ke arah Jung Yong Hwa, baru teringat Jung Yong Hwa masih berdiri di dalam kamar itu juga.

“Kau tidak perlu menemaniku,” katanya perlahan. “Aku tidak apa-apa. Aku hanya akan duduk di sini sebentar. Hanya sebentar.”

“Baiklah,” kata Jung Yong Hwa setelah berpikir sejenak. “Tapi jangan ragu-ragu memanggilku kalau ada apa-apa.”

Kim So Eun tersenyum yakin. “Baiklah.”

Setelah itu Jung Yong Hwa meninggalkan Kim So Eun yang duduk di kursi di samping ranjang Kim Bum.

Kini, Jung Yong Hwa berdiri tertegun di pintu kamar rawat Kim So Eun yang terbuka sedikit.

Matanya menatap sosok Kim Bum yang duduk di kursi di samping ranjang Kim So Eun. Kim Bum hanya duduk di sana, dengan kedua tangan disandarkan ke masing-masing lengan kursi, kakinya yang dibebat diselonjorkan ke depan. Ia tidak melakukan apa-apa.

Hanya duduk di sana memandangi Kim So Eun yang sedang tidur.

Karena tidak ingin mengganggu, Jung Yong Hwa kembali menutup pintu tanpa suara dan berjalan menjauh dari kamar rawat Kim So Eun. Sebenarnya ia sudah merasakannya sebelum ini, hanya saja ia masih belum yakin atau ia tidak mau mengakuinya. Tetapi dari apa yang dilihatnya tadi, semuanya sudah jelas. Ia hanya perlu menerimanya.

* * *

Kim Bum tidak tahu jam berapa ia kembali ke kamarnya sendiri, tetapi ia akhirnya bisa terlelap. Dan ketika ia terbangun keesokan harinya, matahari sudah bersinar cerah walaupun rasa dingin di luar sana tetap menusuk tulang.

Tidak ada siapa-siapa di kamarnya. Mungkin pamannya baru akan datang siang nanti. Apakah Kim So Eun sudah bangun?

Kim Bum bermaksud pergi mencari gadis itu. Tetapi ketika ia sedang berusaha bangkit dari ranjang, pintu kamarnya terbuka. Ia mengangkat wajah, berharap melihat Kim So Eun, tetapi ternyata bukan.

“Park Shin Hye?”

Park Shin Hye menyerbu masuk dan bergegas menghampiri ranjang Kim Bum. “Tadi aku pergi mencarimu ke apartemenmu dan salah seorang tetanggamu memberitahuku tentang penyerangan itu. Jadi aku langsung ke sini,” katanya cemas, sebelum Kim Bum sempat bertanya. “Prince Smile, kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi?”

“Aku tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir,” kata Kim Bum menenangkan. Ia memberi isyarat supaya Park Shin Hye duduk, tetapi wanita itu mengabaikannya karena sepertinya ia terlalu cemas. Lalu Kim Bum menjelaskan secara garis besar apa yang terjadi kemarin malam.

“Mengerikan sekali,” gumam Park Shin Hye di akhir penjelasan Kim Bum.

“Tapi aku akan segera sembuh,” tambah Kim Bum. “Jung Yong Hwa juga bilang yang harus kulakukan hanya istirahat yang cukup. Setelah itu aku akan sembuh total.”

Park Shin Hye masih terlihat cemas.

“Oh ya, kenapa kau mencariku?” tanya Kim Bum, teringat bahwa Park Shin Hye pergi mencarinya ke apartemen.

Akhirnya Park Shin Hye duduk di kursi di samping ranjang. “Oh, aku hanya ingin memberitahumu pelatihanku di Seoul sudah berakhir dan besok aku akan pulang ke New York.”

“Oh, ya? Cepat sekali waktu berlalu.”

“Tapi aku bisa tetap tinggal di sini kalau kau membutuhkanku. Maksudku, karena sekarang kau masih sakit.”

Kim Bum menggeleng. “Sudah kubilang, aku tidak apa-apa. Dan aku tidak mungkin merepotkanmu.”

Park Shin Hye tersenyum kecil. “Sama sekali tidak repot. Itu gunanya teman, bukan?” sahutnya. Ia terdiam sejenak. “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Kim So Eun?”

Wajah Kim Bum melembut. “Dia diizinkan pulang hari ini,” sahutnya sambil tersenyum.

“Senang mendengar dia juga baik-baik saja.”

Kim Bum mendesah dan memandang ke luar jendela. “Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, kurasa aku...”

“Ya?”

Kim Bum menatap Park Shin Hye, baru sadar kalau tadi ia sudah mengucapkan apa yang sedang dipikirkannya. Ia menggeleng dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Lupakan saja.”

“Prince Smile.”

“Mm?”

“Kau yakin dengan perasaanmu terhadap Kim So Eun?”

“Maksudmu?”

Park Shin Hye mengangkat bahu dengan bimbang. “Bukan apa-apa. Maksudku, kau tidak mengenalnya dan kau sama sekali tidak ingat apa pun tentang dia, tapi tiba-tiba kau bilang kau menyukainya. Bukankah kedengarannya gegabah?”

Kim Bum mendongak menatap langit-langit. “Ingatanku bisa saja bermasalah,” gumamnya pelan, “tapi aku tahu apa yang kurasakan.”

“Apa yang kaurasakan?”

“Kau ingat ketika kita menghadiri acara reuni SMP-ku bulan lalu?” Kim Bum menoleh ke arah Park Shin Hye. Ketika yang ditanya mengangguk, ia melanjutkan, “Saat itulah pertama kali aku melihatnya setelah aku hilang ingatan. Dia sedang berdiri di seberang ruangan. Dan ketika dia menatap ke arahku, jantungku serasa berhenti berdegup. Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi saat itu... aku merasa sangat senang melihatnya.”

Kim Bum berhenti sejenak dan mengangkat bahu. “Kedengarannya konyol, bukan?”

Park Shin Hye menarik napas perlahan, lalu tersenyum. “Tidak. Sama sekali tidak konyol.”

“Saat itu aku sangat bingung dengan apa yang kurasakan setiap kali aku melihatnya,” lanjut Kim Bum dengan nada melamun. “Maksudku, aku sama sekali tidak mengenalnya. Tidak ingat apa pun tentang dirinya. Tetapi aku selalu ingin melihatnya.”

“Akhirnya kau berpikir dulu kau mungkin pernah menyukainya,” gumam Park Shin Hye.

“Ya. Saat itu aku memang berpikir begitu,” aku Kim Bum. “Tapi sekarang aku tahu memang begitulah kenyataannya.”

Alis Park Shin Hye terangkat sedikit. Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya ia berkata pelan, “Ingatanmu sudah kembali.”

* * *

“Kim So Eun.”

Kim So Eun yang sedang dalam perjalanan ke kamar Kim Bum berhenti melangkah dan menoleh ketika mendengar suara Jung Yong Hwa. “Jung Yong Hwa,” sapanya sambil tersenyum lebar dan membungkuk. “Selamat pagi.”

Jung Yong Hwa menghampiri Kim So Eun. “Bagaimana keadaanmu pagi ini?”

“Sangat baik. Terima kasih atas bantuannya.”

Jung Yong Hwa tersenyum kecil. “Sudah menjadi kewajibanku untuk menolong orang sakit,” sahutnya ringan. Ia berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Kim So Eun, aku ingin meminta maaf atas semua yang terjadi...”

“Jung Yong Hwa,” sela Kim So Eun cepat, “apa pun yang dilakukan sepupumu tidak ada hubungannya denganmu. Jadi kau tidak perlu meminta maaf untuk apa pun. Aku yakin Kim Bum juga akan mengatakan hal yang sama.”

Jung Yong Hwa menarik napas panjang. “Aku hanya berharap aku bisa membantu.”

“Kau sudah banyak membantu dengan memberikan informasi kepada polisi,” kata Kim So Eun. “Itu tindakan yang sangat berani.”

Jung Yong Hwa menatap lurus ke mata Kim So Eun. “Aku sungguh tidak ingin kau terluka.”

Alis Kim So Eun terangkat sedikit, tetapi ia tetap tersenyum. “Jung Yong Hwa, aku tidak apa-apa. Sungguh. Bukankah kau sendiri yang bilang begitu?”

“Benar. Kau memang benar. Aku hanya berharap...” Jung Yong Hwa ragu sejenak. Ia menatap Kim So Eun dan tersenyum kecil. “Aku hanya berharap akulah yang melindungimu saat itu.”

* * *

“Kau tidak perlu mengantarku!” kata Park Shin Hye ketika Kim Bum bangkit dari ranjang dan ingin mengantarnya ke luar. “Kau masih belum cukup sehat untuk berkeliaran.”

“Tidak apa-apa. Aku juga butuh olahraga,” sahut Kim Bum mantap. “Lagi pula hanya sampai ke lift.”

Begitu tiba di depan lift, Park Shin Hye berbalik menghadap Kim Bum. “Oh, ya, hampir saja lupa,” katanya sambil tersenyum dan merogoh tas tangannya. Ia mengeluarkan kotak kecil yang terbungkus kertas ungu. “Untukmu,” katanya Park Shin Hye dan mengulurkan kotak itu ke arah Kim Bum.

“Apa ini?”

“Cokelat,” sahut Park Shin Hye pendek. “Happy Valentine’s Day.”

Alis Kim Bum terangkat. “Valentine’s Day? Sekarang bukan tanggal 14, bukan?”

Park Shin Hye tersenyum. “Tanggal 14 nanti aku sudah tidak ada di Seoul, jadi kuputuskan untuk memberikannya sekarang,” katanya, lalu masuk ke lift dan melambaikan tangan.

Setelah pintu lift tertutup, Kim Bum berbalik, hendak kembali ke kamarnya, tetapi langkahnya tiba-tiba berhenti dan ia menoleh. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat Kim So Eun, yang saat itu masih mengenakan piyama rumah sakit, berdiri berhadapan dengan Jung Yong Hwa.

Kim Bum melihat tangan Jung Yong Hwa memegang kedua bahu Kim So Eun, sepertinya sedang mengatakan sesuatu. Kim So Eun mendongak menatap laki-laki itu, tersenyum, dan mengangguk. Lalu Jung Yong Hwa melambaikan tangan dan berjalan pergi.

Kim So Eun sendiri berputar dan berjalan ke arah kamar rawat Kim Bum. Sedetik kemudian gadis itu mengangkat wajah dan menatap Kim Bum. Matanya melebar dan senyumnya berubah cerah.

Apakah gadis itu gembira karena melihatnya atau gembira karena baru bertemu dengan Jung Yong Hwa?

“Kim Bum,” seru Kim So Eun dan bergegas menghampiri Kim Bum. “Kau benar-benar sudah sadar.”

Kim Bum menunduk menatap gadis itu dan tersenyum lebar. Setiap kali melihat gadis itu tersenyum, ia tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. “Aku sduah sadar sejak kemarin malam,” katanya, “tapi tentu saja kau tidak tahu karena kau tidur seperti bayi.”

Kim So Eun balas menatapnya dengan mata yang juga disipitkan. “Apa maksudmu aku tidur seperti bayi?” katanya, terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Ngomong-ngomong, kenapa kau jalan-jalan sendirian? Ayo, kembali ke kamar.”

Kim Bum membiarkan dirinya dituntun Kim So Eun kembali ke kamar rawatnya. “Aku bosan,” gerutunya. “Dan aku benci rumah sakit.”

Mereka masuk ke kamar dan Kim So Eun mendorong Kim Bum ke ranjang. “Kalau kau mau cepat-cepat keluar dari sini, kau harus istirahat. Luka-lukamu masih belum sembuh benar. Memangnya kau mau lukamu bertambah parah dan tinggal di sini lebih lama lagi?”

Kim Bum duduk di tepi ranjang dengan patuh, lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. “Kau juga duduk di sini.”

Kim So Eun menurut. Ia duduk di samping Kim Bum di ranjang dan menatap laki-laki itu.

“Kim Bum... Terima kasih.”

“Terima kasih? Untuk apa?”

Kim So Eun menggeleng. “Karena aku, kau jadi terluka seperti ini. Bagaimana kepalamu? Sakit sekali?”

“Kau tidak perlu mencemaskanku,” kata Kim Bum. Ia mengangkat sebelah tangannya dan menyentuh luka memar di pipi Kim So Eun.

Sentuhannya ringan, tetapi Kim So Eun meringis karena kulitnya masih terasa nyeri.

“Masih sakit?” tanya Kim Bum dengan nada khawatir.

Setelah menahan napas sesaat, Kim So Eun memaksa dirinya menghirup napas dengan normal dan menggeleng. “Sepertinya kau lebih kesakitan daripada aku.”

Kim Bum menurunkan tangannya dan tersenyum. “Aku tidak apa-apa. Aku kuat. Luka begini saja sama sekali bukan masalah.”

Alis Kim So Eun terangkat. “Bukan masalah? Kau tahu betapa takutnya aku sewaktu orang-orang itu tidak mau berhenti memukulimu? Dan aku tidak bisa membantumu. Tidak bisa melakukan apa-apa. Dan ketika polisi datang, kau tidak bergerak. Kukira kau... Kukira...” Mata Kim So Eun berkaca-kaca. Ia mengerjap, lalu mengalihkan pandangannya ke depan, dan menarik napas panjang.

Kim Bum tertegun. Ia menatap Kim So Eun sesaat, lalu mengulurkan tangan meraih tangan Kim So Eun dan meremasnya. “Maafkan aku,” gumamnya. “Aku berjanji tidak akan membuatmu khawatir lagi.”

* * *

Kim So Eun sendiri tidak menyangka ia akan mengucapkan kata-kata itu. Tetapi semua itu benar. Saat itu ia memang sangat ketakutan. Bukan takut pada orang-orang kasar itu, tetapi takut mereka akan melukai Kim Bum. Yang dipikirkannya saat itu adalah bagaimana kalau Kim Bum celaka? Bagaimana kalau Kim Bum tidak bisa bangun lagi? Selama-lamanya? Apa yang akan terjadi padanya kalau orang-orang itu benar-benar membunuh Kim Bum? Kim So Eun menggigil memikirkan kemungkinan itu.

Saat itu Kim Bum menggenggam tangannya dan berkata pelan, “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membuatmu khawatir lagi.”

Kim So Eun menahan napas, mengangkat wajah, dan menatap Kim Bum. Laki-laki itu tersenyum kepadanya dan meremas tangannya, meyakinkannya bahwa ia tidak perlu cemas. Benar, pikir Kim So Eun. Aku tidak perlu cemas. Semuanya baik-baik saja. Kim Bum baik-baik saja. Laki-laki ini kini ada di sampingnya. Dan itulah yang terpenting.

“Ngomong-ngomong, apa itu?” tanya Kim So Eun sambil mengalihkan perhatian ke arah kotak kecil di ranjang Kim Bum.

“Oh, cokelat. Hadiah Valentine dari Park Shin Hye,” sahut Kim Bum ringan.

Alis Kim So Eun terangkat. “Park Shin Hye? Tadi dia ke sini?” tanyanya.

Kim Bum mengangguk. “Dia hanya sebentar di sini.”

“Oh.” Hanya itu yang bisa dikatakan Kim So Eun. Ia tidak ingin bertanya untuk apa Park Shin Hye datang ke sini. Walaupun Kim Bum pernah berkata ia tidak punya hubungan istimewa dengan Park Shin Hye, tetap saja itu bukan urusan Kim So Eun.

“Dia datang untuk mengatakan dia akan pulang ke New York,” kata Kim Bum tanpa ditanya. “Masa pelatihannya sudah selesai.”

“Oh?” Kim So Eun agak kaget mendengarnya. Tanpa bisa mencegah dirinya, ia bertanya, “Apakah kau juga...?”

“Aku akan tetap di sini. Bersamamu,” kata Kim Bum sambil menatap lurus ke arah Kim So Eun. Seulas senyum kecil tersungging di bibirnya. “Apakah kau mau menerimaku?”

Kenapa Kim So Eun tidak bisa bernapas? Kenapa ia tidak bisa bergerak? Ia balas menatap Kim Bum dan ia bisa merasakan jantungnya berdebar keras. Akhirnya, ia memutuskan untuk menganggapinya sebagai gurauan. “Karena hanya aku yang mau memasak untukmu?” tanyanya sambil tersenyum lebar.

Kim Bum terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Tiba-tiba ia bertanya, “Ngomong-ngomong, aku melihatmu bersama Jung Yong Hwa tadi.”

Agak kaget dengan perubahan arah pembicaraan yang tiba-tiba ini, Kim So Eun mengerjap, lalu bertanya heran, “Ya. Kenapa?”

“Apa yang kalian bicarakan?”

Kim So Eun tidak langsung menjawab. Lalu ia menunduk dan berkata, “Tidak ada yang penting.”

Kim Bum berdeham. “Kau... berencana memberinya cokelat? Pada Hari Valentine nanti, maksudku.”

Kim So Eun mengerutkan kening, lalu tertawa kecil mendengar pertanyaan aneh itu.

Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk memberikan cokelat kepada Jung Yong Hwa pada Hari Valentine.

“Kau akan memberikan cokelat kepadanya?” Suara Kim Bum terdengar lagi.

Kim So Eun tersenyum sendiri dan menggeleng. “Tidak.”

“Kalau untukku?”

“Apa?” Kim So Eun mengerjap dan menatap Kim Bum.

Kim Bum tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kau membuat biskuit yang sama seperti yang pernah kauberikan kepadaku Hari Natal lalu? Enak sekali.”

Mata Kim So Eun melebar. Apa? Biskuit? Hari Natal lalu? Tunggu... Jadi...? Ia tidak berani berharap, tapi...

“Aku sudah ingat,” kata Kim Bum, seolah-olah menegaskan apa yang dipikirkan Kim So Eun.

“Kau sudah ingat?” ulang Kim So Eun tidak percaya. “Semuanya?”

Kim Bum mengangguk. “Semuanya.”

Sejenak Kim So Eun tidak berkata apa-apa, hanya menatap Kim Bum tanpa berkedip. Ia ingin mencerna apa yang baru saja dikatakan Kim Bum kepadanya. Ia ingin merasa yakin ini bukan mimpi.

Kim Bum menatapnya dengan alis terangkat. “Kim So Eun, kenapa diam saja? Aku benar-benar sudah ingat semuanya. Tidak percaya?” Ia memiringkan kepala dan mengerutkan kening, seolah-olah sedang berpikir. “Aku ingat kau mengendap-endap di depan pintu apartemenku pada hari pertama aku tiba di Seoul. Aku ingat kau pernah bermalam di apartemenku karena lampu di apartemenmu tidak bisa menyala. Oh, jangan menatapku seperti itu. Kau memang bermalam di apartemenku walaupun kau tidak suka dengan istilah itu. Aku ingat kencan kita pada malam Natal, pertunjukan balet, lalu kita pergi ke arena seluncur es...”

Tiba-tiba saja, tanpa berpikir dua kali, tanpa benar-benar berpikir, Kim So Eun melingkarkan kedua lengannya di leher Kim Bum dan memeluknya erat-erat.

Sekujur tubuh Kim Bum masih sakit dan ia harus menahan diri untuk tidak meringis atau mengaduh ketika Kim So Eun tiba-tiba memeluknya dan hampir membuatnya terjungkal ke belakang. Tetapi bagaimanapun juga, ada saatnya ketika rasa sakit sama sekali tidak penting. Misalnya sekarang, ketika Kim So Eun memeluknya untuk pertama kali.

“Kau sudah kembali,” gumam Kim So Eun di bahu Kim Bum. “Kau sudah kembali.”

Kim Bum tersenyum, menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya dengan pelan. Ia merasa lega. Sangat lega. “Aku sudah kembali,” gumamnya lirih. “Apakah kau juga akan kembali kepadaku?”

Kim So Eun tertegun. Lalu ia mundur sedikit dan menatap Kim Bum.

Tiba-tiba pintu kamar rawat Kim Bum terbuka dan langsung disusul oleh suara Yoon Eun Hye. “Dia pasti ada di kamar Kim Bum. Nah, kubilang juga... Hmm, kalian sedang apa?”

Kim So Eun tersentak dan buru-buru menjauh dari Kim Bum. Wajahnya terasa panas.

“Eonni, kau sudah datang. Oh, Song Chang Ui Oppa dan So Yi Hyun Eonni juga.”

“Aku juga datang!” seru Lee Ki Kwang yang masuk belakangan. “Wah, Kim Bum Hyung sudah sadar?”

“Ingatan Kim Bum sudah kembali,” kata Kim So Eun.

Dan kamar yang tadinya terasa agak sepi itu pun berubah ramai.

“Benarkah? Itu berita yang sangat bagus, Kim So Eun?”

“Kita harus merayakannya begitu Kim Bum keluar dari rumah sakit.”

“Hyung, apakah ingatanmu kembali gara-gara kejadian kemarin? Maksudku, karena kepalamu dipukul sekali lagi... Aduh! Noona, kenapa kepalaku dipukul?”

“Karena kau tidak peka. Siapa suruh kau mengungkit-ungkit masalah itu? Ngomong-ngomong, kalian berdua, tentunya kalian sudah tahu mataku tajam dan aku selalu yakin dengan apa yang kulihat. Jadi mulailah menjelaskan apa yang kulihat tadi ketika aku baru masuk.”

Bersambung…

Chapter 10 ... Chapter 11 ... Chapter 21
Chapter 9 ... Chapter 12
Chapter 8 ... Chapter 13
Chapter 7 ... Chapter 14
Chapter 6 ... Chapter 15
Chapter 5 ... Chapter 16
Chapter 4 ... Chapter 17
Chapter 3 ... Chapter 18
Chapter 2 ... Chapter 19
Chapter 1
... Chapter 20
Prolog
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...